Kelir Getih (Layar Berdarah)의 모든 챕터: 챕터 41 - 챕터 50

Di bawah kalimat peringatan itu, terdapat daftar inisial tokoh-tokoh Pandawa: A (Arjuna), Y (Yudhistira), W (Werkudara). Dan di samping inisial Arjuna, ada inisial yang sama persis dengan yang terukir di gunungan mini yang ditemukan di TKP. P. “Raka Permadi,” bisik Kirana, suaranya tercekat. “Dia sudah menuliskanmu di naskah itu sejak lama. Bukan sebagai dalang, tapi sebagai target.”Raka tidak bisa berkata-kata. Ia meraih buku itu dan memeluknya erat, seolah mencoba menyerap semua energi dan rahasia yang terkandung di dalamnya. Ia kini sadar, obsesi Banyu atau siapa pun Sang Dalang, bukan hanya pada nama Ki Anom, tetapi pada posisi Raka sebagai penerus yang sah—sebagai Arjuna dalam lakon berdarah ini.Kirana mendekat, meletakkan tangan bersarung di bahu Raka. “Kita harus segera memecahkan sandi ini, Dok. Ini bukan lagi soal membersihkan nama ayahmu. Ini soal menyelamatkan dirimu.”

Potongan robek itu jatuh ke lantai kayu yang dingin, tampak tak berharga, tetapi membawa bobot kekalahan yang jauh lebih berat daripada semua pembunuhan yang terjadi sejauh ini.Raka menatap serat kertas yang rapuh itu, lalu beralih menatap ruang hampa di balik penutup kayu Ki Anom.Kompol Kirana membungkuk, tidak menyentuh, hanya menganalisis retakan pada kayu. “Pelaku sudah tahu keberadaan naskah rahasia ini. Dan dia tahu kita sedang mencarinya. Dia membiarkan sisa sandi itu kita pecahkan, tapi mencuri kuncinya.”“Tepat. Dia tahu kita akan panik, dan kita akan mulai bermain dalam irama yang dia tetapkan.” Raka menyeka peluh di dahinya. Rasa takut yang dulu memaksanya mundur kini berganti menjadi kemarahan yang jernih.“Lalu, bagaimana?” tanya Kirana, kini suara dinginnya sedikit bergetar karena rasa terhina. Bagi seorang detektif, kegagalan dalam mengamankan TKP mental Raka ini terasa seperti tamparan telak. “Dia selangkah di depan. Kita hanya punya setengah peta dan dia tahu siapa

“Kita fokus pada bukti yang Sang Dalang yakini tidak akan kita kaitkan dengan Yudha,” ujar Raka, tatapannya dingin. “Rekaman suluk. Suara itu.”Kirana mengerutkan dahi. “Suara yang kau yakini suara terlarang ayahmu?”“Ya. Suara misterius yang dikirimkan berbulan-bulan lalu,” Raka mengangguk. “Saat itu, kita hanya mencari asal sinyal. Kita berasumsi itu suara yang dipalsukan atau direkayasa. Tapi sekarang, dengan semakin jelasnya keterlibatan lingkaran ayahku, kita harus kembali pada data forensik yang kita abaikan.”“Kau mau membandingkan suara itu dengan rekaman arsip Ki Anom?” tanya Kirana, suaranya mulai stabil. Tugas telah mengalahkan emosinya.“Lebih dari itu,” Raka menekankan. “Ki Anom pernah berurusan dengan para dalang di lingkungan Yogya dan Solo, tetapi yang punya akses pada naskah terlarang, kode suluk spesifik, dan sejarah

Mangkudipraja mengambil secangkir teh panas dan menyeruputnya perlahan, ekspresi sinisnya tersamar di balik ritual minum. “Yayasan. Tentu. Kami semua di sini memahami betapa rumitnya urusan dana penelitian. Apakah ada bukti yang menghubungkan dana tersebut dengan motif pembunuhan? Selain tafsiran wayang yang… subjektif dari Saudara Raka?”Raka yang sedari tadi diam, merasa seolah dilemparkan kembali ke momen pertemuan awal mereka. Ia hanya dianggap sebagai kamus budaya yang membingungkan.“Saya yakin Jenderal sudah tahu bahwa wayang bukan hanya subjektif, melainkan sebuah cetak biru,” potong Raka, suaranya pelan tetapi tajam. “Wijaya adalah simbol pengkhianatan nalar. Pembunuhan ini bukan kebetulan. Ini menunjukkan Sang Dalang mengetahui siapa yang memfasilitasi cuci uang.”Jenderal Mangkudipraja mencondongkan tubuhnya ke depan, kini menatap Raka secara langsung, tatapan itu terasa seperti radiasi din

Dua jam kemudian, Raka telah dikawal kembali ke rumah joglonya di Kotagede oleh dua anggota polisi berpakaian preman yang diposisikan sebagai "pengawal" dan "penjaga keamanan." Penjagaan ini terasa lebih menegangkan daripada pengawasan langsung.Saat matahari mulai merangkak turun, Raka duduk di teras joglo, tangannya memegang cempala (alat pukul dalang) milik Ki Anom. Alat itu terasa hangat di tangan Raka. Ia hanya diam mematung, menatap entah apa yang dituju mata.Sudah beberapa menit berlalu, ia tidak berani menyalakan ponsel. Kirana telah mengingatkannya bahwa setiap gerak-gerik dan komunikasinya kini akan dianalisis, bahkan bisa saja dipelintir oleh Jenderal Mangkudipraja.Mereka memaksaku menjadi Drestarata—duduk di istana dan pura-pura buta, pikir Raka. Tapi mereka salah. Jika aku tidak bisa mencari Sang Dalang, Sang Dalang pasti akan mencari panggungnya.Tepat pada pukul sembilan malam, saat penjaga di depan joglo sibuk menyesap kopi, sebuah pesan muncul di laptop Raka—sebuah