Semua Bab Pelayan Lima Tuan Muda Perkasa: Bab 61 - Bab 70

Tanpa sadar, Moza melamun memikirkan status barunya sebagai pelayan pribadi Dastan. Status tersebut terdengar lebih seperti hukuman di dalam menara emas, mengingat betapa berbahayanya kedekatan dengan pria itu.Lamunan Moza begitu dalam, hingga ia baru tersadar saat Abigail meletakkan kepala di bahunya dengan manja. "Tante Moza, aku mau tidur di sini bersama Tante."Moza meneguk ludah kasar, menoleh ke arah pintu seolah mencari jalan keluar yang tidak ada. "Tapi... Tante akan kembali ke kamar Tante sendiri, Nona Kecil."Abigail langsung menggeleng keras, "Nggak mau! Aku mau tidur sama Tante dan Papa," pinta Abigail, mata besarnya memancarkan harapan.​Moza bingung harus menjawab apa. Bagaimana mungkin ia bisa tidur semalaman dengan Dastan?​Tepat pada momen genting itu, pintu kamar terbuka.Moza terbelalak. Napasnya tercekat seperti melihat hantu, saat Dastan berjalan masuk dengan langkah percaya diri. Melihat Dastan dalam jarak dekat, membuat suhu tubuhnya mendadak panas-dingin.

Moza merasakan genggaman tangan Dastan di bahunya. Tubuhnya terasa seperti es yang bertemu api, tegang dan dingin, tetapi punggungnya terbakar oleh kehangatan pria itu.“Saya tidak perlu bantuan, Tuan Muda. Saya bisa sendiri,” tolak Moza datar. Ia tidak ingin dirinya menjadi ketergantungan pada Dastan.Tangan Dastan tidak bergerak. Justru genggamannya sedikit mengencang, pertanda ia tidak menerima penolakan.Ia membungkuk sedikit, napasnya menyentuh kulit Moza."Kalau bisa sendiri, mengapa kau berjalan lambat seperti siput?” tanyanya, dengan nada sarkastik."Memangnya kau tahu bagaimana cara menyalakan lampu kamar mandi?"Moza terdiam, semua argumennya runtuh.Benar. Ia tidak tahu. Ia hanya mengenal paviliun belakang, tempat yang sederhana dan jauh dari teknologi kelas atas.Tiba-tiba, Dastan mengangkat tangan kanannya ke dinding di samping pintu. Di sana, bukan sakelar konvensional yang biasa Moza lihat, melainkan sebuah panel sentuh hitam yang tampak menyatu dengan dinding.Dastan me

Duduk berdua dengan Dastan di meja makan justru membuat Moza tidak nyaman. Ia memang belum terbiasa dengan kondisi ini, di mana ia harus makan di meja yang sama dengan sang Tuan Muda.Rasa canggung membuat setiap makanan terasa bagai pasir kering yang sulit ditelan. Meskipun sandwich yang ia makan dibuat dari roti artisan paling lembut, tetapi justru terasa mengganjal di tenggorokan.Terpaksa, Moza harus meminum air putih berulang kali supaya bisa menelan dengan sempurna.Seakan mengerti suasana hati Moza, Dastan menyelesaikan sarapannya lebih cepat. Ia membersihkan tangannya dengan serbet linen hitam, lalu bangkit berdiri.Postur tinggi Dastan membuat Moza langsung menegakkan punggung, siap menerima perintah berikutnya."Habiskan sarapannya. Aku pergi dulu," kata Dastan, suaranya dingin dan mutlak.Sebelum Moza sempat mengatakan apa-apa, Dastan sudah berlalu dengan langkah panjang menuju pintu utama. Meninggalkan Moza sendirian di tengah kemewahan ruang makan.Moza langsung menghela

Di sepanjang jalan, Moza menggenggam erat kotak makan siang yang ia bawa, seolah itu adalah tamengnya. Matanya menatap cermat setiap sudut jalan menuju Golden Triangle Business District, kawasan perkantoran paling elit di pusat kota.Kurang lebih empat puluh menit kemudian, mobil yang dikemudikan Pak Nata akhirnya memasuki kompleks perkantoran yang dijaga ketat.Pak Nata mengeluarkan kartu akses khusus berchip emas dan menempelkannya ke alat pendeteksi.Setelah palang pintu terbuka, mobil itu meluncur ke arah gedung Elan Medical Tech. Gedung tersebut menjulang setinggi sepuluh lantai, dengan arsitektur berdesain futuristik.Moza terpukau untuk sejenak. Meski ia sering melihat gambar gedung ini selama penyelidikannya terhadap keluarga Limantara, tetapi melihat langsung ternyata sangat berbeda. Gedung itu bukan hanya tinggi, setiap detailnya menggambarkan kekayaan dan kekuasaan keluarga Limantara yang sesungguhnya.Tanpa kesulitan, Pak Nata menghentikan mobil di depan pintu kaca lobi ya

Moza merasa seperti boneka yang baru saja dipermainkan. Tubuhnya masih sedikit bergetar, dan kulit di kedua bahunya terasa panas di tempat yang baru saja dihisap Dastan. Tanda merah keunguan kini tersembunyi di balik blazer, sebuah rahasia yang hanya ia dan Dastan yang tahu.Sambil menarik napas dalam-dalam, Moza berusaha keras menenangkan detak jantungnya yang menggila.Lebih baik, ia menjalankan perintah pria arogan ini, lalu lekas pergi dari kantornya yang terasa semakin pengap. Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, Moza akhirnya membuka kotak makan siang berlapis empat yang ia bawa. Ia menatanya di atas meja kerja Dastan dengan hati-hati.Tak lupa, Moza juga menyiapkan peralatan makan dan mengeluarkan sebuah botol teh hijau dingin dari tas.Dastan tampak melirik sejenak menu yang dibuat Moza, matanya berhenti sebentar pada ayam panggang madu.Namun, alih-alih bersiap untuk makan, Dastan justru mengambil setumpuk berkas tebal di sisi meja. Ia membacanya, seolah makanan lezat d