All Chapters of Kaisar, Jangan Meminta Lebih : Chapter 121 - Chapter 130

Kabut tipis menyelimuti tepi Danau Bulan. Cailin masih berlutut dipeluk Yue, air mata membasahi wajahnya. Lian sudah hilang, diculik oleh Pemburu.Ren berdiri di tepi air, matanya merah, tangannya bergetar, masih dilingkupi api Vermilion yang tak mau padam.“Aku harus pergi! Aku akan cari dia!” serunya.Tetapi sebelum ia melangkah, Xun sudah menahan pundaknya dengan kekuatan Qi.“Ke mana, Ren? Kau bahkan tidak tahu siapa yang menyerangnya!”Ren menepis tangan itu dengan kasar, api di tubuhnya menyambar singkat. “Aku tidak peduli! Aku akan cari sampai langit runtuh!”Cailin menatapnya, napasnya masih terengah. Qi bulannya bergetar tidak stabil, bercampur dengan kemarahannya yang membuat Vermilionnya mendesak untuk keluar. “Ini salahku … Aku yang memutuskan untuk keluar ….”Pengawal bayangan dengan sigap memeriksa area, kemudian melaporkan. “Mereka profesional. Tidak ada jejak.”“Tapi dia belum jauh,” katanya keras, seperti

Udara bergetar hebat. Belati ritual berkilat di bawah cahaya kristal hijau. Dengan gerakan cepat, bilah tajam itu mengiris telapak tangan Lian. Darah segar mengalir deras, menetes tepat di atas simbol ritual. Lian mengerang kesakitan melalui sumpalannya, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Dengan darah angin murni, bukalah jalan bagi takdir baru!” teriak Pemimpin Naga Hitam, kedua tangan terangkat tinggi. Nada suaranya serak dan bergetar, setiap mantra kuno bergema di ruang bawah tanah yang pengap, energi gelap berputar semakin kencang, membuat semua yang berada di ruangan itu merasakan sesuatu yang menekan dada mereka.Selir Ibu berdiri tegang di pinggir lingkaran ritual, matanya berbinar. “Akhirnya … setelah semua rencana yang gagal …”Tetua Wen berdiri paling jauh dari lingkaran, hanya memandangi ritual itu dengan sorot mata penuh keraguan.Di tengah lingkaran ritual, Daiyu terlihat pucat, tubuhnya gemetar. “Aku harus berada di sini,” bisiknya pada diri sendiri, mencoba meyakinka

Di Istana Vermilion, malam terasa tidak wajar sejak angin berhenti. Tetua He berdiri di bawah kubah kaca pengamatan langit, matanya tak berkedip. Guru Fen ikut berdiri di sampingnya, wajahnya menegang.Bintang-bintang seakan menari dalam kegelisahan.“Lihat!” seru Tetua He, menunjuk ke rasi bintang Vermilion. “Cahaya Bintang Putih menjauh dari Bintang Kaisar!”Guru Fen mengerutkan kening. “Bukan hanya menjauh … dia seperti tertarik paksa.”Cahaya putih yang tadinya bersinar stabil di samping cahaya Bintang Kaisar mulai bergeser, seperti ditarik paksa oleh pusaran energi gelap yang muncul dari arah selatan.Tiba-tiba, langit bergemuruh pelan, meski tanpa petir.

Angin malam di menara pengamatan membawa hawa dingin yang aneh, seolah langit belum selesai bergolak. Bintang Putih yang bergeser pada malam ritual masih berada di posisi baru. Diam namun memancarkan cahaya lembut yang terasa menekan dada siapa pun yang memandanginya.Tetua He menatap bintang itu lama, lalu menghela napas berat.“Kita tidak tahu,” katanya jujur. “Tapi yang pasti, keseimbangan sudah terganggu. Dan kedua jalur itu … terikat padamu, Yang Mulia.”Ia menunjuk Bintang Putih. “Satu milik Putri Bulan. Satunya lagi … belum muncul.”Shangkara memandangi langit dengan tatapan kosong. Cahaya merah dan putih itu tampak seperti dua garis takdir yang belum bersentuhan. Ia mengepalkan tangan. “Kalau begitu …” Shangkara menarik napas perlahan, “siapa pemilik takdir kedua

Malam itu, hening memenuhi kamar Kaisar, hanya diterangi cahaya kristal spiritual yang meredup. Cailin tertidur di sisi Shangkara, kepalanya bersandar lembut di bahunya. Nafasnya pelan dan teratur, membuat dada Shangkara sedikit menghangat.Namun meski tampaknya tenang, Shangkara tidak bisa tidur. Matanya menatap langit-langit kamar, tapi pikirannya jauh.Denyutan yang ia rasakan bukanlah imajinasi.Ada sensasi aneh yang sejak tadi menusuk-nusuk kesadarannya. Tarikan halus yang datang dari suatu arah di istana. Bukan serangan, bukan gangguan Qi. Lebih seperti… panggilan.Sebuah tarikan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.Ia menunduk melihat Cailin. Gadis itu tertidur dalam, wajahnya yang lelah akhirnya sedikit rileks.Dengan hati-hati, ia perlahan melepaskan lengannya dari balik bahu Cailin dan menyelimutinya lebih rapat. Ia berdiri mematung, gerakannya nyaris tanpa suara. Ada bagian dari dirinya yang enggan pergi, seperti j