All Chapters of Jadilah Pedangku, Sayang!: Chapter 11 - Chapter 20

Agratampa, wilayah kekuasaan Damarteja, berada di balik Gunung Harja. Tempat itu tak jauh dari perbatasan antara Badra dan Sumbur. Dan rombongan Pangeran Adipati harus berjalan melewati hutan lebat selama tiga hari dua malam untuk sampai ke sana.“Paduka! Tenda sudah siap!” lapor seorang prajurit pada Damarteja.Sang Pangeran mengangguk, menandakan bahwa dia menerima laporan prajurit tersebut. Ia kemudian mengibaskan tangan, menyuruh lelaki itu pergi.Damarteja menepuk bahu Muniratri secara pelan. “Putri ... Putri ....”Tak ada jawaban dari wanita itu. Ia masih tak sadarkan diri karena pukulan yang diberikan oleh Damarteja di carotis sinus, sisi leher samping.Efek obat di arak pernikahan mereka memang sudah diencerkan oleh Damarteja. Namun karena kadar alkohol pada arak yang digunakan lumayan kuat, minuman itu tetap berhasil membuat Muniratri menggila.Demi meredakan kegilaan istrinya, Damarteja terpaksa memukul sisi leher samping wanita tersebut. Hasilnya, yang bersangkutan jatuh pin

Endra begitu risi menjadi bahan tontonan Muniratri di dalam kereta. Jika bukan karena Pangeran Adipati memberi perintah di bawah Lencana Komando Wisesapati, ia pasti sudah turun dari sana.“Mas Endra ...,” panggil Muniratri. Suaranya tipis dan pelan, bak gadis naif.Tak ada respons positif dari Lelaki tersebut, karena ia sedang sibuk membangun tembok di hatinya. Beton yang ia gunakan berbahan tebal dan keras. Tembok itu dijamin kokoh, tak seperti milik Damarteja yang roboh hanya karena sentuhan manja.“Mas Endra?” seru Muniratri lagi, dengan suara yang lebih keras.Kali ini ... lelaki tersebut terperanjat. “Ya! Kanjeng Putri.”Muniratri tersenyum cerah, membuat Endra terpana untuk sesaat.“Terima ini!” Muniratri memberikan kue wajik pada ajudan Damarteja.Wajik bukan hanya sekadar kudapan, tetapi juga sebagai simbol doa dan harapan agar hubungan langgeng dan juga hidup rukun.Dalam filosofi Kerajaan Badra, sifat lengket wajik melambangkan kerukunan dan keterikatan hubungan, terutama da

Lencana Niriti merupakan benda pusaka sakti. Ia bisa membuat pemiliknya kebal terhadap segala malapetaka. Dan satu-satunya orang yang pernah dianugerahi pusaka ini ialah Senapati Kusumayudha, kakek Muniratri.Masih dalam posisi berlutut, Endra mendongak, menghadap ke arah Damarteja. “Memangnya kenapa jika putri si koruptor memiliki Lencana Nitiri? Kalau dia mati ... bukankah tidak ada ruginya untuk Paduka?”Damarteja menghunus pedangnya ke leher Endra. “Sudah kubilang ... kamu belum mengerti situasi.”Hati si ajudan bergejolak. Ia tak terima dengan kalimat yang dilontarkan Pangeran. Menurutnya, ia sangat memahami situasi yang sedang berlaku.Lencana Niriti memiliki kemampuan melindungi pemiliknya dari segala macam hukuman, selama tidak memenuhi unsur pemberontakan maupun pengkhianatan terhadap Badra.Di mata Endra, Muniratri merupakan awan hitam yang menutupi cahaya majikannya. Jika wanita itu tiada, maka jalan sang Pangeran untuk meraih prestasi gemilang akan terbuka lebar.“Apa di ma

Gaya berpakaian Kasmirah dan Muniratri benar-benar bertolak belakang. Bisa dibilang seperti bumi dan langit.Kasmirah tampil sederhana, mengenakan kain biasa tanpa banyak perhiasan. Sementara Muniratri, ia justru mengenakan kain sutra berkualitas tinggi. Emas dan permata menghiasi tubuhnya, dari ujung kepala hingga pergelangan kaki.“Mbakyu dandan sangat cantik. Apa tidak takut kalau nanti ada perhiasan yang jatuh di ladang?” ucap Kasmirah pada Muniratri, dengan maksud agar yang bersangkutan mengganti gaya.Kasmirah tak tahan melihat penampilan Muniratri yang mencolok. Hatinya panas, ia tak ingin jika nanti Muniratri yang menjadi pusat perhatian dan bukan dirinya. Tidak ... tidak! Hal itu tidak boleh terjadi.“Paduka ....” Muniratri meraih lengan Damarteja.“Apa penampilan saya tidak cocok untuk pergi ke ladang?” Wanita itu mengerucutkan bibir dan bersikap manja dengan bergelayut di lengan sang Pangeran.Aduh! Kepala Damarteja cenat-cenut saat disuguhi pertanyaan tersebut.“Apa pertany

Damarteja berulang kali menutup mata sambil memukul-mukul dadanya sendiri, sebagai upaya agar jantungnya tetap berdetak secara normal.Di samping itu, ia juga melakukan latihan pernapasan, seperti praktisi yoga sedang menekuni pranayama. Semua dia lakukan supaya kepalanya tak terbakar amarah.“Kamu bilang Putri membeli apa? Coba ulangi lagi!” ucap sang Pangeran dengan suara pelan, hampir seperti gumaman.Gigi Damarteja bergemeletak. Ia juga mengepalkan lengannya, bersiap memberi bogem mentah pada siapa pun atau apa pun, untuk melampiaskan geram yang berkecamuk dalam dada.Ningsih berlutut, ia tak berani melihat ke arah sang Pangeran. “Kanjeng Putri membeli Balai Geliat Merah Muda, Paduka. Dan beliau ... memerlukan dua ratus keping emas lagi untuk melunasinya.”Balai Geliat Merah Muda merupakan rumah bordir paling bergengsi di Agratampa, bahkan di Kerajaan Badra. Selain menawarkan kebahagiaan malam, tempat itu juga menyajikan pemandangan alam yang indah.“Dia sungguh-sungguh menghabiska