All Chapters of Permaisuri Gila! Kaisar Tak Bisa Melepaskanmu: Chapter 81 - Chapter 90

Galangan Kapal Kerajaan – Sektor TertutupSuara di sini bukan lagi deburan ombak, tapi jeritan logam.Di bawah tenda raksasa yang didirikan tergesa-gesa, kerangka "Proyek Leviathan" mulai terbentuk. Itu tidak terlihat seperti kapal. Itu terlihat seperti monster kerangka paus yang terbuat dari balok baja hitam.Aku berdiri di platform pengawas, memegang cetak biru yang baru saja direvisi oleh tim insinyur Distrik Pengecoran. Di sampingku, Laksamana Gherman, panglima tertinggi Angkatan Laut Arethian, wajahnya merah padam menahan amarah."Ini penghinaan, Bendahara Perang!" bentak Gherman, menunjuk ke kerangka baja di bawah. "Anda melelehkan meriam perunggu kami untuk membuat... peti mati ini? Besi tidak mengapung! Ini hukum alam!""Besi mengapung jika volume air yang dipindahkannya lebih berat daripada massanya, Laksamana," jawabku tenang tanpa mengalihkan pandangan dari para pekerja. "Hukum Archimedes. Fisika dasar.""Fisika?" cemooh Gherman. "Saya bicara tentang pengalaman laut selama

Ibu Kota Kekaisaran Arethian – Hari ke-5 KonstruksiIbu kota tidak lagi mengenal malam.Langit di atas Distrik Pelabuhan dan Pengecoran bersinar oranye abadi, dipantulkan oleh ribuan tungku peleburan dan lampu sorot sihir. Asap tebal mengepul, bukan sebagai tanda kebakaran, melainkan tanda produktivitas yang gila.Aku berdiri di balkon istana yang menghadap ke pelabuhan, memegang cangkir kopi yang mungkin sudah yang kelima hari ini. Mataku perih, tapi pemandangan di bawah sana membuatku tetap terjaga.Itu menakjubkan.Ribuan warga sipil bekerja bahu-membahu dengan tentara. Para pandai besi memukul pelat baja dengan irama yang memekakkan telinga. Penyihir Es dari akademi Magus Valerius berdiri dalam barisan, mendinginkan logam panas secara instan agar bisa segera dipasang.Lima kerangka raksasa Leviathan sudah berdiri tegak di dermaga kering (dry dock). Mereka tampak seperti binatang buas yang sedang menunggu kulit bajanya."Kau menciptakan monster, Rania," suara Darrius terdengar di b

Leviathan One – Hari ke-3 di Lautan LepasDunia di luar jendela kabin bajaku telah kehilangan warnanya.Langit bukan biru, melainkan abu-abu pucat yang sakit-sakitan. Laut bukan lagi biru tua atau hijau, melainkan hitam pekat dan tenang seperti minyak. Tidak ada ombak, kecuali yang kami buat sendiri. Tidak ada angin, kecuali asap yang kami muntahkan.Kami telah memasuki Arus Mati.Ini adalah sabuk laut yang terkutuk, jalur ekspres magis yang digunakan kapal-kapal Ashvellan untuk bergerak tanpa angin. Tapi bagi manusia yang masih hidup, tempat ini adalah siksaan.Aku duduk di ruang peta anjungan, mencoba memeriksa buku besar konsumsi batu bara. Angka-angkanya menari di depan mataku. Kepalaku berdenyut, bukan karena mabuk laut—stabilisator lambung bekerja sempurna—tapi karena keheningan di luar sana."Laporan status mental kru, Kapten Kael?" tanyaku tanpa mendongak.Kael berdiri di pintu, wajahnya tampak kurang tidur. Lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas."Buruk, Bendahara Pe

Dermaga Utama Necropolis – Menit Nol InvasiLima Leviathan besi itu mengapung di pelabuhan dalam, mesin uapnya bergemuruh rendah seperti detak jantung binatang buas yang sedang istirahat. Asap hitam dari cerobong kami mengepul ke langit merah Ashvellan, menodai kesempurnaan mengerikan kota itu.Necropolis adalah pemandangan yang memukau sekaligus menjijikkan. Menara-menaranya dibangun dari tulang rusuk raksasa yang diputihkan dan batu obsidian hitam. Jalan-jalannya diterangi oleh lentera hijau yang berisi jiwa-jiwa yang terperangkap.Dan di dermaga, puluhan ribu Pasukan Abadi (The Deathless Legion) berdiri dalam formasi diam. Mereka tidak bernapas. Mereka tidak berkedip. Mereka hanya menunggu.Di balkon tertinggi Istana Tulang, aku melihat Malakor. Dia mengenakan jubah yang terbuat dari bayangan yang dijahit, mahkota tulang naga di kepalanya. Cordelia berdiri di belakangnya, kecil dan ketakutan.Darrius berdiri di haluan Leviathan One, suaranya diperkuat oleh sihir aura emasnya."Mala

Aula Utama Istana TulangPintu gerbang raksasa yang terbuat dari tulang rusuk naga itu terbuka lebar, mengundang kami masuk ke dalam kegelapan.Tidak ada penjaga yang menyambut kami di lobi. Tidak ada jebakan fisik.Yang ada hanyalah keheningan yang menekan, dan kemewahan yang membuat perut mual.Lantainya terbuat dari kaca kristal hitam yang bening. Di bawahnya, bukan tanah atau batu, melainkan aliran sungai jiwa yang berputar-putar dalam penderitaan abadi, wajah-wajah mereka tertekan ke kaca, mulut terbuka dalam jeritan tanpa suara.Kami berjalan di atas penderitaan mereka."Jangan lihat ke bawah," perintah Darrius pada pasukannya. Suaranya bergema di aula yang luas itu. "Itu dirancang untuk mematahkan semangat kalian."Aku menatap sekeliling. Dinding aula dilapisi dengan "patung-patung" prajurit. Tapi saat aku mendekat, aku menyadari itu bukan patung. Itu adalah mayat yang diawetkan dalam damar bening, mengenakan baju zirah dari berbagai zaman dan kerajaan."Dia tidak mengubur musu