Aryasena melanjutkan, kini suaranya lebih pelan, tapi intonasinya tetap lugas, “Aku nggak nyangka kamu segila itu. Dari mulai jadi orang yang biayain kuliah dia tanpa nama, seolah beasiswa jatuh dari langit. Terus kamu jadiin dia guru les Elvio supaya dia dekat sama kamu. Dan sekarang, begitu kamu merasa dia sudah matang, kamu datang dan–”“Arya.” Arvendra memotong, suaranya rendah, tajam, dan jelas sebuah peringatan.Aryasena mengangkat tangan, tapi tetap menyelesaikan kalimatnya, “–dan kamu nidurin dia. Coba bayangin kalau dia tahu semua ini?”Arvendra menyandarkan tubuh, mengusap rahang yang mengeras. “Yang terakhir itu bukan bagian dari rencana. Itu murni kecelakaan.”“Kecelakaan yang nggak kamu tolak, Mas,” ejek Aryasena sambil meneguk kopinya pelan.Arvendra menutup mulutnya sesaat, menahan komentar. Tidak marah, tapi jelas tidak nyaman. Rahangnya menegang. Matanya memerah ringan, ciri khas ketika dia sedang menahan sesuatu yang terlalu personal untuk didengar umum.Hingga akhirn
Last Updated : 2025-11-23 Read more