Langit sore itu seperti kanvas tua yang pernah menangis.Awan menggantung rendah di atas kota, membawa cahaya yang pudar, seperti sisa ingatan yang enggan padam. Aira berdiri di ambang jalan, memandangi horizon yang perlahan kabur. Di dadanya, angin membawa bisikan nama yang dulu hanya terdengar dalam mimpi—nama yang pernah mengisi setiap sudut ruang dan jeda di hidupnya: Rendra.Ia menggenggam kunci kecil di tangannya, kunci dari rumah yang telah memudar, tapi masih terasa berdenyut di bawah kulitnya. Setiap langkah yang ia ambil di jalan Nirvata terasa seperti menulis ulang takdir di udara—tak lagi menuju ke suatu tempat, tapi menuju pada pemahaman yang belum ia kenali sepenuhnya.Hari itu, hujan turun tanpa suara.Tidak deras, hanya seperti napas yang menetes dari langit. Aira menengadahkan wajahnya, membiarkan butir air jatuh di pipi, bercampur dengan air matanya sendiri. Dalam setiap tetes, ia seolah mendengar gema langkah Rendra di kejauhan. Ia tahu, mungkin it
Last Updated : 2025-11-21 Read more