Matahari kian meninggi, panas menusuk kulit, membuat napas terasa berat. Waktu memilih sudah habis. Satu per satu mereka kembali ke depan, menenteng keranjang masing-masing. Barisan itu kini seperti para terdakwa yang menunggu vonis. Sylvette tampak letih, wajahnya merah padam karena terik, tapi bibirnya masih memaksa sebuah senyum anggun—palsu dan rapuh. Sebastian menatap keranjang Lady Vareen, Marcus, dan Lucianne. Marcus menegakkan bahu, suaranya penuh tantangan. “Anggur yang kupetik tentu kualitas terbaik.” Lady Vareen menyusul dengan nada dingin, halus namun menusuk. “Kau tak perlu meragukan darah Devereux, Sebastian.” Lucianne hanya tersenyum tipis, seolah senyumnya cukup untuk menutupi kebingungan yang tak ia pahami. Sebastian tidak menjawab. Ia berbalik, melangkah perlahan di sepanjang barisan. Suara sepatunya menghantam tanah kering, detak demi detak, membua
Last Updated : 2025-10-25 Read more