LOGINDi kamar berhias lampu kristal, Sylvette berdiri di depan cermin. Jemarinya menyusuri kain gaun, matanya berbinar penuh keyakinan. Sebentar lagi aku yang berdaulat di pesta itu.
Lucianne, duduk di kursi belakang, tersenyum samar. “Ya… pastikan saat itu tiba, kitalah pemenangnya.” Tekanan halus pada kata kita membuat Sylvette menoleh sekilas, senyum tak luntur, tapi matanya menyipit. “Tentu, saudaraku yang baik. Meski nanti, hanya satu nama yang disebut di sisi Sebastian.” Lucianne menyilangkan kaki, jemarinya mengetuk kursi seolah menghitung langkah bidak. “Benar, hanya satu nama. Tapi panggung yang indah… tak tercipta sendiri.” Cahaya lilin bergetar, memantulkan dua wajah di cermin: satu penuh mimpi, satu penuh kendali. Dari balik pintu, Lady Verenne mengamati. Senyumnya tipis, nyaris tanpa ekspresi, tapi matanya mencatat setiap kPerjalanan membawa Finn ke sebuah kota kecil yang seolah berhenti di antara abad lalu dan hari ini. Jalanan berbatu masih menyimpan sisa hujan semalam, dan papan pengumuman di alun-alun dipenuhi selebaran lusuh tentang barang hilang, pesta rakyat, juga berita pajak. Dengan percaya diri aneh, Finn menempelkan coretannya: dua sosok gadis dan seekor kucing abu-abu—yang dalam kenyataan lebih mirip kentang, wortel, dan gumpalan awan. “Kalau ada yang bisa mengenali ini, aku resmi menyebut diriku jenius,” gumamnya, setengah yakin, setengah putus asa. Orang-orang lewat hanya melirik sambil tertawa kecil. Ada yang menggeleng, ada yang berbisik satu sama lain, seolah papan itu baru saja kedatangan iklan paling absurd abad ini. Namun seorang pria tua berjubah lusuh tiba-tiba berhenti. Ia memandangi gambar itu lama, matanya keriput tapi tajam, seolah benar-benar membaca sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain. “Y
Di kamar berhias lampu kristal, Sylvette berdiri di depan cermin. Jemarinya menyusuri kain gaun, matanya berbinar penuh keyakinan. Sebentar lagi aku yang berdaulat di pesta itu. Lucianne, duduk di kursi belakang, tersenyum samar. “Ya… pastikan saat itu tiba, kitalah pemenangnya.” Tekanan halus pada kata kita membuat Sylvette menoleh sekilas, senyum tak luntur, tapi matanya menyipit. “Tentu, saudaraku yang baik. Meski nanti, hanya satu nama yang disebut di sisi Sebastian.” Lucianne menyilangkan kaki, jemarinya mengetuk kursi seolah menghitung langkah bidak. “Benar, hanya satu nama. Tapi panggung yang indah… tak tercipta sendiri.” Cahaya lilin bergetar, memantulkan dua wajah di cermin: satu penuh mimpi, satu penuh kendali. Dari balik pintu, Lady Verenne mengamati. Senyumnya tipis, nyaris tanpa ekspresi, tapi matanya mencatat setiap k
Di lorong menuju dapur kastil, langkah tergesa Finn bergema di lantai batu. Jantungnya berdegup kencang; perintah langsung dari Sebastian terasa seperti beban berat yang menekan pundaknya. Ia memasuki dapur dengan hati-hati. Aroma sup dan sayur rebus bercampur asap tungku, tapi Finn nyaris tak merasakannya. Matanya tertuju pada Martha, yang tengah memotong kentang. “Finn, kau bahkan belum menyelesaikan tugasmu,” kata Martha, suara tajam tapi terhenti di tenggorokannya saat melihat wajah pucat Finn. Finn menunduk, hampir berbisik. “Aku… baru saja bertemu Tuan Sebastian. Dia memerintahkan aku mencari Nona Rosse.” Pisau di tangan Martha berhenti di udara. Mata wanita itu melebar, menoleh kanan-kiri, seolah kata-kata itu adalah ancaman yang bisa menyerang siapa pun di sekitarnya. “Kau yakin? Kenapa seorang bangsawan… menanyakannya?” Finn menelan ludah, suaranya serak. “Aku… ak
Malam pekat menelan hutan pinus. Roda kereta berderak di jalan berbatu, setiap benturan menggaung tajam, seperti peringatan. Angin dingin menyapu pepohonan, ranting-ranting berayun liar, menaburkan bayangan yang menari-nari di tanah basah. Lolongan serigala memecah sunyi, jauh di kejauhan, seperti alarm yang hanya bisa didengar oleh mereka yang waspada. Tiba-tiba… kereta berhenti mendadak. Hening. Bahkan detak jantung terdengar menembus kesunyian. Pria di depan merogoh ikat pinggangnya, belati berkilat tersingkap sekejap di bawah cahaya bulan. Langkahnya lambat, pasti—setiap gerakan mengumumkan niatnya. Bruakkk!! Pintu kereta terbanting. Tendangan Avelinne mendarat tepat di perut pria itu, tubuhnya terpental, menjerit, debu beterbangan ke udara dingin. “Elowen! Lari!” teriak Avelinne, tangan menggenggam erat adiknya dan menariknya keluar dari kereta. Pr
Sore itu, halaman kastil terbungkus cahaya tembaga yang memudar. Kereta kuda menunggu di depan, hitam berkilap, roda besinya berkilau dingin. Dua pria asing berdiri di samping, postur tegap, wajah nyaris tanpa ekspresi—seakan bagian dari mesin yang telah dipersiapkan jauh sebelum hari ini. Elowen berlari melintasi halaman, langkahnya terburu, napasnya terputus. “Avelinne!” serunya, suara pecah di antara derit tali kekang. Avelinne menoleh, senyum tipis tergambar, lebih sebagai penenang daripada jawaban. “Benarkah Lady Verenne akan mengirimmu jauh?” Elowen menahan napas. “Katanya begitu. Untuk belajar menjadi wanita yang anggun,” ucap Avelinne. Nada suaranya datar, namun tatapannya menembus cakrawala seolah mencari sesuatu di balik kabut sore. Elowen mengangkat gendongan mochi di tangannya. “Kalau begitu, aku ikut.” Sebelum ia naik, Avelinne menahan pundakny
Di kamar utama, cahaya pagi menembus tirai tipis, menari di atas lantai marmer dingin. Lady Vareen berdiri di depan jendela, memeluk dirinya sendiri. Pikirannya tak bisa lepas dari suara Avelinne—tajam, berani, seolah menghantam kebanggaan keluarga yang dibangunnya bertahun-tahun. Pintu berderit. Henry masuk, langkahnya ringan tapi penuh penguasaan. Ia mendekat dari belakang, melingkarkan lengannya ke pinggang Lady Vareen, dagunya bersandar manja di pundaknya. “Wajahmu penuh resah,” bisiknya, nada manisnya menyembunyikan racun. Lady Vareen tetap menatap taman, napasnya berat. “Gudang menarik anggur dari pasar. Sebelum sempat kuatasi, nama Devereux nyaris runtuh.” Henry menekankan genggamannya di pinggangnya. “Kalau Sebastian gagal, bukankah Marcus bisa melangkah ke depan? Itu jalan yang lebih… aman.” Lady Vareen menggeleng tipis, tapi tak be







