Di kamar mandi, Avelinne berdiri diam di hadapan cermin. Uap air menempel di kaca, menyamarkan wajahnya seperti potret yang memudar. Rambutnya masih basah, menetes di bahu; air menuruni pipi dan dagu, menyatu dengan sisa air mata yang tak sempat kering. Ia menatap pantulan itu lama — wajah yang dulu begitu ia kenal kini tampak asing, seperti milik seseorang yang telah menyeberang ke sisi lain dari dirinya. Ingatan semalam menempel di kulitnya, seperti bayangan yang enggan pergi. Hangat, lembut, dan memabukkan. Tapi di balik itu, rasa bersalah tumbuh pelan-pelan, merayap dari dada ke tenggorokan, membuat napasnya terasa berat. “Bodoh,” bisiknya pada bayangan di kaca. “Itu bukan cinta… itu kelemahan.” Tangannya naik, menepuk pipinya sendiri — sekali, lalu dua kali, hingga kulitnya memerah. Tapi rasa sakit tak menghapus apa pun. Yang tersisa hanya hampa yang sunyi dan dingin, seperti air yang terus menetes di lantai tanpa henti. “Kenapa aku biarkan?” suaranya serak, gemetar. “K
Last Updated : 2025-11-11 Read more