All Chapters of Mantan Jadi Tetangga : Chapter 41 - Chapter 50

Piring-piring sarapan kini telah tersusun rapi di atas meja. Kenzo duduk di samping Dastan dengan menempel seperti perangko. Oreo duduk di bawah kursi pria itu sambil menatap penuh harapan, menunggu remah-remah makanan jatuh. Marvella duduk di seberang mereka seraya menyilangkan lengan, memandangi dua mahluk hidup plus satu anjing, yang terlihat terlalu bahagia. Ada sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya. Namun bukan cemburu atau amarah, tapi semacam alarm halus yang berkata, "jangan terlalu nyaman, Marvella." Jangan sampai hati kamu terluka lagi. Namun ketidaknyamanan itu kontras dengan kenyataan yang terpampang di depan mata, tentang betapa semuanya terlihat begitu... pas. Kenzo sedang asyik berceloteh menceritakan mimpinya semalam, entah tentang robot dinosaurus, alien, atau sesuatu yang menurutnya “keren banget”. Sementara Dastan mendengarkan dengan tenang dan penuh perhatian, sesekali ia mengangguk serius seperti sedang mengikuti presentasi proyek bernilai juta

Keesokan paginya, Marvella baru saja membuka mata ketika terdengar suara bel yang ditekan berulang-ulang, cepat dan tanpa ampun, seperti seseorang yang memang berniat membangunkan seisi rumah. Marvella mengerang sambil meraih bantal untuk menutup telinga. “Siapa sih… pagi-pagi ganggu aja…” Tapi bel itu berbunyi lagi, dan kali ini malah ditambah oleh ketukan di pintunya. Tok tok tok. “Vel.” TOK TOK TOK. “Marvella...” Tentu saja itu dia. Siapa lagi yang datang pagi begini kalau bukan sumber kekacauan utama dalam hidupnya akhir-akhir ini? Dengan rambut acak-acakan, wajah kusut, dan kaus kebesaran, Marvella membuka pintu dengan satu mata memicing dan satu mata masih tertutup. “Apa mau kamu?!" Lalu sedetik kemudian Marvella pun terdiam membeku, melihat Dastan yang berdiri tegak di depan pintu rumahnya. Bukannya ini masih terlalu pagi?? Tapi pria itu sudah tampak rapi, segar, dan wangi. Setelan kerjanya gelap dan terlihat mahal, dasi terikat sempurna, serta rambut hi

Pagi itu, Reyhan baru saja masuk ke ruang kerja Dastan sambil membawa berkas. Namun bukannya langsung membahas pekerjaan, pria itu malah menyandarkan diri pada pintu dan menyipitkan mata penuh selidik. “Jadi…” Reyhan membuka percakapan dengan nada sengaja dibuat dramatis. “Bagaimana kabar orang yang kemarin demam itu, Pak? Sudah sembuh? Atau jangan-jangan malah kecanduan dirawat oleh seorang CEO?” Dastan tidak mengangkat wajahnya dari layar laptop. “Hati-hati, Rey. Kalau kamu terlalu kepo, nanti aku pikir kamu yang demam dan butuh diperiksa.” Reyhan pun cemberut. “Saya hanya penasaran, Pak. Soalnya… jarang-jarang melihat Bapak ninggalin rapat penting cuma untuk seseorang yang menggigil kedinginan. Waktu saya sakit tipes aja, Bapak cuma bilang: ‘minum paracetamol, Rey. Dan tolong jangan mati di jam kerja. Ngerepotin soalnya’” Dastan menghentikan ketikannya dan mengangkat kepala serta menatap Reyhan dengan sorot datar. “Pertama,” Dastan berucap dengan tenang, “orang itu b

Sambil menggamit lengan suaminya, Miranda melangkah keluar dari lift yang membawa mereka menuju area lobby. Begitu pintu terbuka, pandangannya langsung tersapu oleh ruangan luas dengan langit-langit tinggi, marmer gelap berkilau, dan pencahayaan hangat yang elegan. Di sisi kanan, area front office berdiri megah. Ada meja resepsionis panjang dengan finishing metal hitam matte, sementara di belakangnya terpampang logo besar bertuliskan STRUKTURA DESIGN. Huruf-huruf timbul berwarna silver gelap itu terpasang pada dinding batu hitam yang bertekstur, memberi kesan tegas dan eksklusif. Di sisi kiri, terlihat beberapa karyawan berkumpul di area lounge yang terdiri dari sofa modular abu-abu, tanaman indoor besar, dan rak display maket proyek. Ada yang sedang berdiskusi sambil membuka laptop, ada yang sedang menyesap kopi dari mesin automatic bar di pojok ruangan. Atmosfernya profesional, dinamis, tapi tetap aesthetic. Struktura Design, adalah perusahaan jasa konsultasi a

Dastan tidak menutup pintu kamar dengan tergesa. Ia melakukannya perlahan, seolah memberi Marvella kesempatan terakhir untuk mundur... atau justru menyadari bahwa ia sedang melangkah dengan sadar kepada sesuatu yang ia inginkan. Begitu pintu tertutup, hening pun seketika menyergap. Hening yang hanya dipenuhi desah napas, detak jantung, dan perasaan yang sudah terlalu lama dipendam. Dastan lalu menurunkan Marvella dari gendongannya dengan hati-hati, tapi belum sempat kaki Marvella sepenuhnya menapak lantai, wanita itu sudah menatapnya galak. Namun kemudian Marvella mendesah. “Kamu bikin aku lupa kenapa aku marah.” Dastan terkekeh rendah.“Itu bukan taktikku." “Terus apa?” “Efek samping kalau dua orang yang terlalu lama pura-pura nggak saling kangen.” Marvella mendelik namun bibirnya berusaha keras agar tidak melengkungkan senyuman. “Nggak! Kata siapa?” “Tapi kamu senyum, artinya bener kan?" Marvella terdiam. Sial. Ia memang tersenyum. Ia menoleh dan mencoba unt