Running is the only life that Lilly has ever known. She along with her Mother, Aunt and Cousin are in grave danger. They are hiding a secret and are being hunted. If they are found, it would mean certain death for all of them. Running out of options, Lilly and her family are forced to return to the town that her mother and aunt were raised in. This town should ensure their safety but at what cost? This town is not all that it seems and secrets are lurking everywhere even in Lilly's own family. The most dangerous secret may lay in the heart of certain dark haired boy that can't seem to leave Lilly alone. Will Lilly finally find a home for her family or will she be forced to run again?
View MorePagi yang cerah dirumah yang begitu mewah, memperlihatkan halaman luas dengan berbagai tanaman bermekaran didepannya.
"Sabrinaaaaaaa," teriak Syan dari balkon kamarnya.
Sabrina Titian Saputra, anak angkat dari keluarga Taulin. Gadis periang yang begitu malang selalu ditindas oleh keluarganya.
Sedang yang berteriak adalah Syan, anak dari keluarga Taulin. Satu-satunya ahli waris keluarga.
Ia begitu membenci Sabrina, ia menganggap Sabrina selalu merebut apapun yang diinginkannya.Sabrina yang polos dan apa adanya selalu lebih menarik perhatian dari pada dirinya yang selalu tampil glamor juga seksi.
Keluarga Taulin terkenal dengan keangkuhannya, namun bisnis mereka mememang sukses dimana-mana. Max Taulin juga Carisa Melian merupakan pasangan pengusaha, mereka mengelola usaha masing-masing hingga sukses dalam bidangnya.
"Ada apa teriak-teriak," sahut Sabrina mendongakkan kepalanya.
"Kesini loe! Baju gue mau kekampus nggak ada," teriaknya.
Sabrina hanya bisa menghela nafasnya, ia bergegas menemui saudarinya itu agar tak dapat masalah nantinya.
"Mau kemana kamu?" tanya Carisa ketus saat berpapasan dengan Sabrina.
"Mah, aku mau ke kamar kakak dulu. "
"Sana-sana."
Sabrina menaiki anak tangga dengan sedikit berlari, dan ketika ia memasuki kamar tiba-tiba saja Syan melemparkan tumpukan pakaian padanya.
"Astaga kak," kaget Sabrina.
"Loe beresin semuanya ya, terus loe cari baju bunga-bunga yang baru gue beli kemarin," perintahnya.
"Kenapa harus bunga-bunga sih kak, kan bisa pakai yang lainnya?" ucapnya sambil memunguti pakain kakaknya.
"Kalau gue bilang itu ya harus itu!"
"Yaudah gue cari dulu kalau gitu."
Sabrina mencari disemua almari namun tak menemukan baju yang kakaknya cari. Ia yang lelah memandangi Syan yang sedang merias diri didepan cerminnya.
"Kak, nggak ada nih," serunya.
"Yaudahlah, cariin gue baju yang bagus."
Sabrina mengambil satu mini dres diatas paha berwarna pastel. Namun saat memberikan pada Syan, ia justru dimakinya.
"Loe pikir gue apaan pakai baju ginian!! Loe mau bikin reputasi gue sebagai wanita tercantik dikampus hancur ya!!" bentaknya melemparkan baju itu tepat kewajah adiknya.
"Terus mau pakai yang mana kak?" sedihnya.
"Minggir loe!!" Mendorong Sabrina hingga hampir terjatuh.
"Emang dasar nggak ada gunanya, ngapain dulu nyokap sama bokap mungut loe yang nggak guna ini," oceh Syan terus-terusan.
Sabrina hanya diam tak berekspresi, baginya hinaan itu adalah sarapan paginya setiap hari. Namun tak bisa dipungkiri jika ia juga merasa sakit hati tiap kali mendengarnya.
"Yaudah kalau gitu gue keluar dulu ya kak."
"Keluar sana loe! Bikin mata gue sakit aja."
Sesampainya dikamar miliknya, Sabrina segera mengganti pakaian dan juga bersiap untuk pergi kekampus.
Sikap keluarga Taulin memanglah sangat kejam kepada Sabrina, Max tak pernah menegur ataupun memarahi istri juga anaknya saat menindas Sabrina didepannya. Ia hanya diam seakan acuh dengan keadaan disekitarnya.
"Kak, boleh nggak gue nebeng loe ke kampus?" tanya Sabrina berdiri disamping Syan yang sedang menyantap sarapannya.
Carisa tiba-tiba saja berdiri dan menyiramkan jus jeruknya pada Sabrina. Ia berdiri menatap tajam Sabrina yang terkejut dengan sikapnya.
"Mah, kenapa menyiramku?" paniknya membersihkan bajunya yang basah oleh jus jeruk.
"Itu karena kamu berani mau satu mobil dengan anak saya! Kamu itu ya pantasnya jalan kaki saja."
Sabrina tak lagi membalasnya, ia memundurkan langkah dan berbalik menuju kamarnya. Sabrina tak pernah menitikan air matanya saat menerima perlakuan buruk keluarganya. Terakhir kali ia menangis adalah saat ia kelas satu SMA, kala itu ia yang mendapat piala perlombaan dimaki bahkan pialanya dihancurkan oleh Carisa.
"Loe bisa, loe udah biasa diperlakukan kayak gini," serunya didepan cermin setelah mengganti pakaiannya.
Sesampainya dikampus, Syan yang sudah lebih dulu datang menunggu Sabrina. Bersama ketiga temannya, Syan menyusun rencana untuk mengerjai Sabrina.
Dikampus tidak ada yang tahu jika Syan dan Sabrina adalah saudara. Nama marga mereka yang berbeda membuat tak satupun mencurigai keduanya, dan itu membuat Syan begitu lega.
"Tuh si lumut datang," seru salah seorang teman Syan.
"Lumut datang nih, naik apa mut tadi?" ledek ketiga teman Syan.
Syan hanya diam bersandar pada depan mobilnya, menatap mentertawakan Sabrina yang terus menerus dihina oleh teman-temannya.
"Stop guys, nanti ada yang cabut dari kampus loh."
"Lah cabut ya cabut aja lah Syan, toh si lumut bisa kuliah disini juga gara-gara beasiswa kan," hinanya.
"Iya juga sih, orang miskin mana mampu bayar uang gedung disini," tersenyum didepan wajah Sabrina.
"Cabut guys, sebelum kita kena sial karena anak sialan ini," lanjut Syan sebelum berlalu pergi bersama teman-temannya.
"Sabar Sabrina," serunya pada diri sendiri.
**
Sore hari selesai dari kampus, Sabrina bergegas menuju cafe coffee tempatnya bekerja. Disana ia sebagai waiters penyaji kopi yang bekerja part time. Baginya ia bersyukur diterima kerja disana, sebab gajinya mampu untuk ia memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Sabrina, loe antar kopi ini kemeja depan no. 10 ya," ucap barista ditempat kerjanya.
"Siap kak," semangatnya.
Namun siapa sangka jika ia akan bertemu dengan Max yang sedang melakukan sebuah meeting disana.
Hal yang tak didugapun terjadi, seorang anak kecil tanpa sengaja menyenggol Sabrina hingga kopi yang dibawanya terjatuh mengenai berkas-berkas penting milik Max.
"Astaga," seru rekan bisnis Max yang terkejut.
"Maaf, maafkan saya," Sabrina yang ketakutan segera membersihkan meja tersebut.
Max diam dan berdiri dari bangkunya. Ia menatap tajam Sabrina yang juga sedang menatapnya penuh sesal.
Plak..
Tamparan keras mengenai pipi Sabrina hingga meninggalkan bekas merah juga luka dibibirnya. Semua orang tekejut melihat Max yang menampar seorang waiters disana.
"Pak Max, " seru rekan bisnis Max.
"Dimana matamu saat bekerja! Kau tau berkas apa yang kau hancurkan hari ini!" bentaknya pada Sabrina yang tertunduk penuh sesal.
"Ma maaf tuan," cicitnya.
"Maaf tidak akan bisa mengganti kerja keras saya dalam berkas yang kau hancurkan! Dasar bodoh!" Didorongnya tubuh Sabrina hingga terjatuh ketanah dengan kerasnya.
"Ada apa ini ?" tanya manager yang tiba-tiba datang.
Seorang manager cafe keluar setelah mendapat laporan mengenai keribuatan. Ia tak ingin membela karyawannya yang salah, namun ia juga tak bisa menghakimi tanpa tau persoalannya.
"Maaf pak, tadi anak saya nggak sengaja menabrak karyawan bapak," sesal ibu dari anak yang sudah menabrak tubuh Sabrina.
"Bisa didengar sendiri, bukan karyawan saya yang lalai pada kejadian ini. Dan anda tidak seharusnya berlaku kasar pada karyawan saya," tegas manager pada Max didepannya.
Sabrina hanya diam ketakutan menundukkan kepalanya. Ia sangat ketakutan setiap kali melihat kemarahan dari Max si papa tirinya.
"Sebaiknya kita pergi saja pak, " ajak rekan bisnis Max.
Max tak menyahutinya, tapi ia segera membereskan semua barangnya dan pergi meninggalkan cafe tanpa sepatah kata.
"Pergilah kebelakang, obati dulu lukanya," seru manager.
"Makasih pak."
Namun Sabrina yang tau betul dengan papanya itu merasa tak tenang. Ia segera meminta ijin pada manager untuk pulang terlebih dahulu.
Setelah menerima ijin manager, Sabrina bergegas pulang kerumahnya.
Namun sesampainya dirumah ia malah mendapat sebuah kejutan tak terduga. Carisa juga Syan dengan teganya menyiram Sabrina dengan air tepat didepan pintu masuk.
Tak hanya itu, mereka juga menarik paksa Sabrina dan melemparnya hingga bersimpuh dibawah dikaki Max.
"Ambilkan cambuk papa," seru Max.
"Nggak pah, ampun pah. Maafin Sabrina pah," mohonnya dengan penuh ketakutan.
"Cepat!!" teriak Max saat Carisa tak kunjung kembali.
"Ini pah cambuknya."
"Menyingkir kalian."
"Pah, ampun. Jangan pah."
Max dengan brutalnya mencambuk Sabrina walaupun Sabrina terus memohon ampun juga meraung kesakitan. Hanya ada sorot mata kemarahan pada diri Max saat ini, bahkan Carisa juga Syan pun tak berani bertindak.
"Syan, kemasi semua barang-barang anak sial ini!" perintahnya setelah membuang cambuknya kesembarang arah.
"Nggak pah, tolong jangan usir aku," pintanya memeluk kedua kaki papanya.
"Lepas!" Menendang tubuh Sabrina menjauh.
Syan datang membawa koper berisikan semua pakaian milik Sabrina. Namun Max bertindak lain, ia pergi mengambil sebuah gunting dan merusak semua pakaian milik Sabrina tepat dihadapannya.
"Papa cukup pa, pakaian ku," serunya dalam tangis.
Setelah merusaknya, Max menarik paksa Sabrina keluar dari dalam rumah. Malam yang dingin membuat Sabrina terus memohon juga meminta pengampunan, namun hati nurani Max sudah mati nampaknya.
Sabrina keluar hanya membawa jaket yang sempat ia selamatkan dari amukan Max, sebab malam yang semakin larut membuat udara dingin semakin menusuk disekujur tulangnya.
"Kemana aku harus pergi, aku nggak punya siapa-siapa," tangisnya berjalan mengikuti langkah kakinya.
Sabrina berhenti dan duduk disebuah bangku taman, ia terdiam sambil menangis meratapi nasib hidupnya.
"Apa salahku hingga harus hidup seperti ini. Apa aku begitu tak pantas hidup?" tangisnya.
Tiba-tiba datanglah seorang anak kecil menyentuh tangannya dan menatapnya dengan teduh.
"Are you oke mama?" tanya anak tersebut.
POV LillyI groaned as I woke up and looked around to see Griffin smiling down at me. All the memories from the night before came back and I blushed as he smirked and chuckled."How are you feeling?" he drawled and I glared at him."Sore?" he guessed and I nodded.I looked down to see that I had Griffin's boxers and tank on since we had run to the bathroom before sleeping. He quickly slipped on his pants."Let's go eat." I suggested."Okay but you should at least put on your bra." he recommended and I realized that he was right.
POV LillyI woke up to see Griffin sleeping soundly next to me, arms wrapped protectively around my waist. I smiled at him, admiring his handsome features. I knew he was awake when a moment later, he made a ugly face at me and pulled me into my chest."You sleep okay, baby?" he whispered into my hair and I nodded."Good." He looked at me and sighed."I know today is going to be difficult. Just please know that I will always be here for you. You and your family are not alone." He said."Thanks, Griff." I whispered and he grinned.I unwrapped his arms an
POV GriffinAfter we changed and got ready, Dad, Dolph, Nik, Theo, Penny and I piled into the limo. We picked up Cedric and Ember at the coven house and then stopped to get Lance at his house. Chance and Evan weren't going to make it to the dinner but they said would be joining us in the morning. As we headed to pick up Lilly, Jasmine and Rose, we looked at each other."So we need to watch over these three at all times this weekend. This is a lot for them to deal with along with so many coming to mourn with them. It's bound to be overwhelming. I know that we are all grieving but they are feeling so much more than any of us. We have to be there for them and for each other, agreed?" Dad began and we all nodded."I'm going to be honest, I have no idea what to expect during the ceremony or celebration. It's their ritual and we must honor and respect it. It's fine if we don't want to participate but we must be respectful no matter what" h
POV LillyAfter dinner, we packed up and left. Hugging all our new and old friends good bye even though we would see them all in less than a week. The trip home was uneventful and the rest of the week passed quickly.Jasmine and I were excused from school due to the death in our family. The other's went and were busy the rest of the time with preparations for Iris's funeral. Despite all that needed to be done, Griffin, Cedric and Skol spent every night at our house. They also provided bodyguards for us at all times, whether we wanted them or not. We had one vamp and two werewolves with us always. It was annoying but they did their best not to bother us.We spent the first part of the week making the potions needed for Iris's ceremony and gathering the pr
POV GriffinI was beyond pissed, I was livid. How dare this mutt try to take my mate! I loved Lilly and no one could stand between us. I was already enraged with Chance over Lilly almost dying for him but now? Now, I was going to tear him apart. I might let him live for Lilly's sake but you better believe that he was in for a world of hurt.I looked over at Lilly as Chance approached and felt sorry for her. This was a terrible situation for her. I was sorry that it had come to this but I also knew that it needed to be done. In a way, I was relieved when Chance challenged me. At least now we could get it all out in the open.I knew that he wanted my mate. I knew from the second I saw him look at her. The fact that she saved him just made him want her more, especia
POV LillyI was surprised to hear that we needed to discuss the Blood Venom pack. I had assumed that the pack was completely wiped out. Unfortunately, I was out voted and we had to go have lunch before it could be discussed. I sighed, knowing that Griffin was going to be a pain in my ass about eating something.I wasn't trying to be difficult, I just wasn't in the mood to eat. Could you blame me with everything I had gone through? I knew that Griffin was right, though. I didn't need to get weak or sick, especially now. I sighed as I sat next between Griffin and Dolph. Dolph. That was another issue. What was that all about? Why was he so attached to me? Why did I feel safer and calmer around him? It was all too much. Lunch was a quiet and tension filled event. As
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments