Seminggu kepulangannya dari rumah sakit, Arbia istirahat total dirumah. Pekerjaannya diambil alih oleh rekan satu divisinya. Membutuhkan waktu berhari-hari bahkan bisa berminggu-minggu untuk memulihkan kondisinya.
Seorang diri di rumah sebesar itu, hal yang sudah biasa oleh seorang Arbia. Semenjak 4 tahun yang lalu dia memutuskan pindah ke rumah peninggalan neneknya. Setelah hampir tujuh tahun hidupnya ia jalani tinggal di rumah sakit. Persembunyian yang sudah tidak asing.
Baginya rumah sakit adalah rumah utamanya waktu itu. 3 hari selang orang tua dan neneknya meninggal, Arbia dirawat khusus di rumah sakit oleh seorang pksikiater khusus gangguan saraf. Di sana dia dititipkan oleh mendiang neneknya.
Kondisi psikis Arbia waktu itu tidak begitu bagus. Karena bertubi-tubi dia mengalami musibah dan mala petaka. Kehilangan-demi kehilangan membuat mental anak umur 8 tahun kala itu down. Sempat kehilangan ingatannya waktu itu, Arbia menjalani perawatan khusus dengan berbagai cara.
Ketika menginjak remaja, perlahan-lahan kondisi Arbia mulai pulih dan membaik. Sampai pada akhirnya dia bisa menamatkan gelar S1-nya jurusan jurnalistik. Meneruskan cita-cita ayahnya. Membongkar setiap organisasi yang melanggar hukum.
Baginya menjadi seorang jurnalis atau repoter itu adalah pekerjaan yang meyenangkan dan menantang. Dia bisa berpetualang kemana pun dia mau. Dia berjanji sama ayah dan ibunya, akan menguak misteri pembunuhan berantai itu. Sudah cukup lama Arbia menunggu waktu itu. 15 tahun, dia menunggu dirinya menjadi seorang repoter besar yang akan mengungkap pembunuh ayah dan ibunya yang sesungguhnya.
Arbia menggeliatkan badan ketika mendengar bel pintu tiba-tiba berbunyi. Masih dengan meringis , gadis itu bangkit dari pembaringannya. Berjalan ke arah pintu dan membukanya. Kepalanya celingukan mencari-cari seseorang yang sudah membunyikan bel pintu di rumahnya.
"Heran, siapa sich yang iseng?" Mulutnya ngedumel nggak jelas. Sekilas dia melihat amplop berwarna coklat. Lumayan lebar benda itu. Sengaja di taruh di lantai depan pintu rumahnya.
Agak ragu, Arbia memungut amplop besar itu. Sebelum dia menutup pintu dan kembali ke dalam rumah, kembali kepalanya celingak-celinguk. Memastikan tidak ada siapa-siapa dirumahnya.
Dengan hati-hati, Arbia membuka amplop coklat itu. Sebuah surat kabar bertuliskan tahun 21 juni 2005 terpampang di sana. Hati Arbia tergetar melihat head line di tahun itu. Terlihat senyum sumringah orang-orang itu. Tepat ketika ayah dan ibunya dibunuh. Dengan tangan gemetar Arbia mencampakkan surat kabar itu ke meja. Tidak luput dari pandangannya, di sebelah foto orang-orang itu terlihat jelas ada gambar sang kapten Axelle. Jelas-jelas itu di edit. Tapi apa maksudnya?
Arbia berusaha menenangkan diri sebisa mungkin. Rangkaian masalalu tiba-tiba muncul di memorinya.
"Drrrrrr ...
Agak terhenyak dia mendengar suara ponselnya berbunyi.
"Hallo, siapa di sana?" Dengan suara bergetar Arbia mengangkat ponselnya.
"Sudah terima kiriman, Saya? Bagaimana, kamu terkejut? Kamu sudah mengerti maksud dari amplop yang Saya kirimkan,?" suara seseorang di seberang telpon cukup lantang. Beberapa detik nafas Arbia berhenti.
"Kamu siapa? Apa maksud dari semua ini? Kamu menerorku? Bhulshit!" suara mentah Arbia tak kalah menggema. Terdengar suara seseorang di seberang terkekeh.
"Kalau kamu butuh bantuanku untuk menjelaskan semua, kamu bisa panggil aku kapanpun kamu mau! Seharusnya kamu terkejut, atau setidaknya kamu penasaran dengan foto super heromu itu. Kenapa terpampang bersama dengan manusia-manusia rakus yang tak bermoral itu!" Tiba-tiba suara di seberang berubah intonasinya. Lebih ketus dan penuh kebencian. Belum juga Arbia membuka mulutnya telfon sudah,
Tut ..., mati! Arbia menghembuskan nafas dalam-dalam. "Sudah biasa begini! Resiko! Namanya juga repoter! Pasti semua akan mengalami hal seperti ini." Mulut Arbia menyemangati dirinya sendiri.
Mata Arbia menyipit, terus menatap ke layar laptop. Mencari profil sosok sang kapten. Ada beberapa postingan tentang dirinya yang sukses dan mendapat penghargaan dalam membantu pemerintah memberantas mafia dan koruptor. Juga postingan masa kecilnya dengan postur tubuh yang imut dan menggemaskan. Arbia terus menaik turunkan cursor laptopnya. Dan ketika matanya terbentur pada sosok yang dia kenal. Foto bersama sang kapten, dia menghentikan sesaat aktivitasnya.
"Soepomo Hardiningrat!" Arbia menggumamkan nama itu begitu jelas. Sosok laki-laki yang sudah berumur itu berpose sumringah memeluk putra semata wayangnya, Narendra Axelle.
Nafas Arbia tersengal. Seakan tidak percaya. Bergegas menuju lemari brankasnya. Mencari sesuatu yang teramat penting. Ketika tangannya menemukan benda itu, Arbia membandingkan dengan gambar yang ada di layar laptopnya. Foto itu benar adanya. Sang ayah dari super hero yang menolongnya seminggu yang lalu.
"Manusia terkutuk!" Makinya tajam. Lembar demi lembar surat kabar itu dibacanya. Jelas, ditahun itu ayahnya mencoba mengungkap kasus korupsi sebagian pejabat tinggi yang melibatkan sekelompok geng mafia. Jelas tertulis disitu nama "Soepomo Hardiningrat" dicatut sebagai salah satu pejabat yang terlibat.
Saat itu ayah Arbia berusaha mengungkap satu persatu koruptor itu. Bahkan liputan-liputanya mengenai Soepomo Hardiningrat sempat menjadi trending topik. Ketika hampir terungkap boroknya di depan masyarakat, ayahnya sudah tewas terbunuh. Bahkan ibunya ikut menjadi korban. Dan jelas di surat wasiat itu, ayah Arbia menyebutkan nama Soepomo Hardiningrat. Harus dihukum seadil-adilnya.
Mata Arbia menukik tajam. Menatap gambar dua manusia yang sedang bahagia itu. Ada sebersit kebencian menyeruak masuk di relung hatinya.
"Narendra Axelle! Ternyata kamu datang sendiri sebelum aku mencarimu!" Gemeletuk gigi Arbia menahan amarah. Diremasnya surat kabar yang ada di tangannya. Rasanya sudah tidak sabar dia menunggu pagi.
Masih dengan kemarahan memuncak. Arbia mengotak atik laptopnya. Mencari nomor penting yang dicantumkan. Tidak mungkin seorang kapten Axelle tidak terdetek nomor ponselnya. Secara, beberapa tahun belakangan ini namanya mencuat ke ranah nusantara bahkan go internasional, atas prestasinya yang gemilang dalam kariernya.
******
Tidak terlalu sulit bagi Arbia Siquilla mencari alamat sang kapten. Dengan gaya khas tomboinya, dia memasuki gecung kepolisian itu. Sebelum masuk bertemu dengan si empunya nama, dia harus mengurus beberapa prosedur.
"Mbak Arbi tunggu disini, ya! Saya akan panggilkan kapten Axelle." Loy, recepsionist yang energik itu bergegas menuju ruangan sang kapten.
Arbia menyapukan pandangannya ke sekeliling gedung. Hatinya berdecak kagum, melihat gedung yang berdiri tinggi menjulang itu kelihatan megah sekali.
"Sungguh tak diragukan lagi kemampuanmu menjadi repoter! Tanpa aku kasih alamatku pun kamu sudah datang mencariku." Suara orang itu tegas. Arbia membalikkan badan. Menghadap ke arah lawan bicaranya.Mengamati betapa elegannya pria ini dengan seragam kebesarannya. Gagah, tampan, dan menghanyutkan.
"Akhh...!" Segera ditepisnya pikirannya yang ngaco."Aku ada perlu sama kamu! Bisa ikut aku sebentar?" Mimik mukanya terlihat serius. Kapten Axelle sedikit mengerutkan dahi. Beberapa hari yang lalu tepatnya satu minggu sebelumnya, kondisi gadis di depannya ini sangat lembut dan sopan. Tapi sekarang kenapa bisa sekasar ini? Dengan gelengan kepala kapten Axelle menatap Arbia.
"Ini masih jam kerja Nona! Aku yakin kamu datang ke sini bukan urusan pekerjaan, karena seingat Aku, kamu masih cuti." jelasnya.
"Aku hanya butuh 5 menit berbicara denganmu! Aku tunggu di taman sebelah!" tandas Arbia kasar dan segera berlalu. Kapten Axelle semakin mengerutkan dahi. Ada yang sudah terjadi dengan gadis itu.
Di taman sebelah gedung tempat kapten Axelle bekerja, gadis itu mondar-mandir tidak sabar. Sesekali dilihatnya jalan setapak yang menghubungkan gedung kepolisian dengan taman.
"Belum datang juga, dia," gumamnya tidak sabar. Ada gemuruh di dadanya yang ingin segera ia lampiaskan.
"Sebenarnya, ada masalah serius apa, sampai kamu datang jauh-jauh ke sini mencariku?" Mendengar suara itu secepat kilat Arbia melempar kertas yang sudah sedari tadi digenggamnya.
"Prak-k!"
Dengan gerakan reflek kapten Axelle menangkap surat kabar yang sudah usang itu.
"Baca baik-baik Kapten!" dengus Arbia dengan api kemarahan.Kapten Axelle terkejut melihat reaksi gadis ini. Belum reda dia dari kebingungan, matanya melotot terpana. Bait demi bait dibacanya koran era 2000-an itu. Di sana! Terpampang jelas foto ayahnya yang tengah diselidiki karena kepemilikanya senjata tajam dan kasus korupsi. Diliput oleh reporter terkenal di eranya Raja Pandawa, sang ayah dari Arbia Siquilla.
Tercekat hati Axelle. Belum sempat dia menelan salivanya, Arbia sudah melempar selembar kertas. Kertas wasiat. Kapten Axelle menatap Arbia sesaat sebelum dia membuka lembar kertas itu. Masih dengan gambar yang sama tertuliskan caption, hukum Soepomo Hardiningrat seadil-adilnya.
"Sudah jelaskan, kenapa aku mencarimu! Karena ayahmu membunuh kedua orang tuaku!" bergetar suara Arbia menahan sesuatu yang bergemuruh di dadanya.
Kapten Axelle lagi-lagi tercekat."Jadi ini anak yang menjadi korban pembunuhan berantai 15 tahun yang lalu?" Hati Axelle bergumam.
"Kamu tidak mungkin tidak tahukan, kasus ayah kamu dan juga ayahku? Media sosial manapun itu mengulasnya! Berita itu jadi topik utama waktu itu!" Masih dengan suara berapi-api, Arbia melanjutkan kalimatnya.
"Tapi 15 tahun sudah berlalu, hukum manapun belum bisa membuktikan kalau ayahku lah yang melakukan tindak kejahatan itu, Nona! Sampai detik ini belum ada bukti satupun kalau ayahku yang merencanakan pembunuhan berantai itu!" Dengan pembelaan yang ia ucapkan, menambah kemarahan di dada Arbia. Gadis tomboy itu semakin beringas.
"Dasar licik!" Kamu sekarang seperti cuci tangan dengan perbuatam ayahmu. Pencintraan dengan menjadi abdi negara, hah ...!"
"Nona! Jangan bawa-bawa pekerjaan Saya! Itu pilihan Saya! Tidak ada hubungannya dengan masa lalu orang tua kita! Kalau toh ayah Saya memang benar terbukti bersalah, dia pasti sudah dihukum yang seberat-betatnya. Kenyataanya 15 tahun sudah dari kejadian itu, tidak ada satupun bukti bahwa ayahku bersalah melakukan pembunuhan berantai itu!." Bertubi-tubi Axelle melanjutkan kalimat demi kalimatnya.
"Saat itu banyak kasus yang ditangani ayah kamu, tidak menutup kemungkinan salah satu dari merekalah yang bertindak keji itu,Nona,!"
Mata Arbia membulat mendengar kelanjutan kalimat Axelle.
"Jadi, kamu mengkambing hitamkan orang lain untuk menutupi kesalahan ayah kamu -!" Dengan histeris Arbia teriak. Dipukul-pukulnya dada sang kapten untuk melampiaskan segala emosinya. Air matanya sudah tidak bisa dibendungnya lagi.
Kapten Axelle sedikit terhenyak melihat reaksi gadis muda itu. Didekapnya erat tubuh gadis itu. Arbia meronta-ronta di dalam dekapan sang kapten. Tangisnya berubah jadi isak. Pertahanannya bobol. Dia melemah di dalam pelukan Axelle.
Tubuh kecilnya terlalu ringkih menerima beban berat itu.Kapten Axelle mengelus rambut Arbia dengan lembut. Mencoba menenangkan gadis itu.
Ada perasaan yang berbeda ketika dia memeluk gadis ini. Rasa ingin melindunginya dan menjaganya terlalu kuat. Ada rasa semacam iba dan tidak rela melihat gadis ini terluka. Entah perasaan itu muncul semenjak kapan.
BERSAMBUNG
Silahkan buat pembaca yang budiman
Arbia kembali menyibakkan selimut yang ada di badannya. Ini sudah yang ke-3 kalinya. Wajahnya terlihat lebih dingin dan angkuh. Ada kemarahan yang begitu besar di bola matanya. Tatapannya tajam ke arah laki-laki yang ada di hadapannya. Tanpa berkedip dia terus memperhatikan laki-laki itu. Sedangkan pria itu, masih sibuk merapikan selimut yang menempel di badan Arbia. Ada senyum tipis di sudut bibirnya, melihat raut muka gadis itu. Bahkan dia menggelengkan kepala menyadari betapa kerasnya sifat Arbia. "Seharusnya, kamu sudah pergi dari rumahku!" desis Arbia dengan bibir sinis. Laki-laki yang tak lain, kapten Axelle itu kembali mengumbar pesonanya. Dia tersenyum sambil menatap gadis itu. "Sudah seharusnya kan, kamu berterima kasih sebelum mengusirku!" timpalnya enteng. Arbia merasa diremehkan mendengar ucapan kapten Axelle. "Berterima kasih kamu bilang! Untuk apa? Seharusnya aku sudah membunuhmu ketika pertama kali bertemu!" serunya beringas, menahan lu
Mendengar suara tembakan, kapten Axelle bergegas masuk ke rumah Arbia. Tidak lupa sinyal GPS ponsel nya dinyalakan. Dia mengirim pembaruan informasi pada timnya. Di bukanya pintu rumah Arbia dengan hati-hati. Dengan sikap tenangnya inilah seorang Narendra Axelle, selalu berhasil menjalankan tugas. Dia bersama timnya selalu sukses. Dilihatnya Arbia meringkuk ketakutan di samping tangga rumahnya. Seluruh tubuhnya gemetaran. Sedangkan seseorang yang menembakkan pistol dengan peluru kematian itu, masih berjalan dengan tenang mendekati gadis muda itu. Dia belum menyadari kedatangan kapten Axelle. " Kenapa kamu harus ketakutan seperti ini, Arbi?" Mendengar nama kecilnya dipanggil, Arbia menoleh sesaat ke arah laki-laki itu. Ditatapnya dalam-dalam sosok mafia itu. Ada yang dia cari di sana. Dan dia merasa begitu familiar dengan nama panggilan itu. "Sebenarnya kamu ini siapa, kenapa kamu bisa tahu nama panggilanku waktu kecil?" Arka Abianta, sang mafi
3 minggu dari masa cutinya, Arbia sudah beraktivitas kembali. Tampak wajah cantiknya sudah memenuhi meja kerjanya hari ini. "Selamat datang kembali kak Arbi," sapa teman-temannya yang diiringi lambain tangannya, juga senyum manisnya. Memang agak berbeda penampilan baru Arbia hari ini. Lebih fresh dan sedikit feminim dengan berat badan Arbia yang sedikit menurun. Menambah gadis muda itu lebih cantik dan menarik. "Kak, Headline hari ini. Oh ya, kak Arbi dipanggil bos!" Suasana sibuk hari ini. Padahal baru pertama dia masuk. Baru saja pantatnya menyentuh kursi duduknya tapi sudah ada panggilan mendesak. Dia harus menghadap pimpinan direksi. "Ok! Aku segera datang." jawabnya sambil mengedipkan sebelah matanya dengan riang. Arbia Siquilla, terkenal reporter yang kritis dan keras kepala. Punya prinsip dan komit sesuai dengan pekerjaanya. Sekaligus gadis yang supel dan periang. Mudah bergaul dan membaur dengan teman-teman satu liftingnya. Tak heran kalau dia
Arbia mempercepat langkahnya ketika memasuki kawasan komplek di rumahnya. Setumpuk berkas yang di pondongnya hampir jatuh berserakan. Dia menengok ke arah kanan dan kiri. Ada kecemasan di raut mukanya yang cantik. Dia berjalan dengan tergesa. Tak sengaja dia menabrak seseorang yang bersinggungan jalannya. "Eh maaf, Saya tidak sengaja!" ucap Arbia sambil tangannya disatukan di depan dada. Tapi ketika dilihatnya orang yang ada di depannya, secepat kilat Arbia berlari sambil memeluk erat-erat berkas yang ada di tangannya. Dengan terengah Arbia terus berlari menyusuri jalan sepi itu. Satu tanganya merogoh tas kerjanya. Mecari-cari ponselnya. Agak susah dia menemukan posel di tasnya. Di belakang sosok itu mulai mendekat. Arbia dengan sekuat tenaga berusaha berlari menjauh dari orang itu. Orang yang seharian ini menerornya lewat telpon dan pesan. Pagi tadi, Arbia mendapatkam bukti berupa surat kabar tahun 2005 silam. Dia mengejar deadline nya untuk Headline y
Arbia tak menyangka, kalau dia benar-benar jatuh di pelukkan sang kapten. Begitu mudahkah? Rasanya baru kemarin dia sangat membenci laki-laki tampan itu. Terus bagaimana dengan ambisinya, mengungkap kasus pembunuhan kedua orang tuanya? Itu beda cerita. Kebenaran tetap harus diungkap. Kecupan itu mendarat mulus di kening Arbia. Pagi itu dengan gagahnya Axelle membukakan pintu buat tuan putrinya. Hari ini, hari pertama dia mengantar kekasihnya. Dari dalam ruangan kerja, karyawan riuh rendah bergosip. Pemandangan indah pagi ini, menjadi bahan gosipan mereka. Dengan langkah ringan Arbia memasuki tempat kerjanya. "Hemm-hem!" Mereka berdehem meledek Arbia. Arbia bukannya tidak tahu, tapi sengaja bersikap cuek bebek. "Udah ada yang move-on ni dari sang editor." Ledek mereka kompak. Ada senyum simpul di bibir sensual Arbia. Gadis itu menghenyakkan tubuhnya di kursi kerjanya. Dia kembali membuka Headline kemarin. Setidaknya hari ini dia sudah bisa meng
Baru saja Arbia menghenyakkan tubuhnya di kursi kerjanya, ponselnya bergetar. "Arbi!" Sang editor di jaringan telpon. "Iya, Pak!" jawabnya tegas. Semenjak kejadian kemarin yang di hotel Buana Arbia merasa canggung dan tidak nyaman dekat dengan bosnya. "Deadline, siaran langsung di Jl. Cempaka, pusat perbelanjaan mall, terjadi penyanderaan oleh teroris. Kamu cepat kesini, bawa camera perekam!" Secepat kilat Arbia menyambar cameranya. Tanpa menghiraukan pertanyaan teman-temannya. Tugas dari bosnya langsung merupakan tantangan tersendiri buat Arbia. Apalagi kalau sudah menyangkut perampokkan dan teroris itu adalah tantangan buat adrenalinnya. Tidak sampai 15 menit, Arbia sudah memarkirkan motor kebesarannya. Dengan tergesa dia berlari ke arah keramaian. Yang ternyata sudah banyak banget pihak polisi dan wartawan di sana. Matanya mengerjap nggak percaya melihat siapa yang ditodongkan pistol di pelipisnya. "Kapte
Dari peristiwa itu, kapten Axelle menyempatkan diri, menjenguk Arka Abianta. Kali ini, dia bukan untuk menangkap seorang pimpinan mafia atau sejenisnya, tapi dia akan menjenguk karena sifat manusiawinya masih berjalan normal. Setidaknya, seandainya, waktu itu tidak ada Arka, mungkin dirinya sudah tak bisa bertemu dengan orang yang baru beberapa hari dipacarinya. Saat ini, Arbia Squilla, sedang memandangi wajah tirus yang mulai pias itu. Sudah hampir setengah jam dia duduk di sisi pembaringan rumah sakit itu. Tapi si empunya tempat tidur, belum juga sadar dari tidur panjangnya. Ada perasaan sedih yang tiba-tiba menyeruak ke hati gadis muda ini. Dicobanya, mengingat kenangan masa kecilnya, yang benar-benar hilang dari memorinya. Padahal, sebagian masa lalunya waktu Sekolah Menengah Pertama, masih jelas terbayang dibenaknya. Ketika pertama kalinya, dia merasa suka pada kakak kelasnya, dan dari semenjak itu, Arbia tidak pernah ingin merasakan pacaran itu se
Pelukan itu seketika terlepas, tatkala terlihat seseorang itu berada tepat di depan pintu ruang rawat Arka Abianta. Baik Arka dan Arbi sama-sama terkejut mengetahui ada orang yang sudah berdiri diujung pintu. Dengan gugup, Arbi beranjak berdiri menyambut kedatangan orang yang sudah sangat dikenalnya itu. Sedangkan Arka sudah kembali bersikap normal setelah beberapa saat menguasai dirinya. Kapten Axelle, berjalan tegap ke arah Arka Abianta, pandangannya lurus ke depan tanpa menghiraukan keberadaan sang kekasih. Wajahnya terlihat begitu angkuh dan dingin. Arbia menelan salivanya, menyadari perubahan sikap sang kekasih. Dia yakin perubahan sikap Axelle dipicu rasa cemburu melihat dirinya berpelukan dengan Arka sang mafia. Tepat di depan pembaringan Arka, sang kapten berhenti, menatap wajah yang terlihat pias itu. Dengan masih bergeming, laki-laki bertubuh six-pack itu mengamati setiap pergerakkan yang dilakukan oleh sang mafia. Seorang mafia yang masih b