Share

Dia orangnya

Apa yang dilakukan Mas Alvan di belakangku.

Siapa yang berbicara di telepon dengan suamiku?

Aku termenung beberapa saat. Tak tahu harus bagaimana? Duniaku seakan runtuh seketika. Ingin rasanya ku maki dan tampar Mas Alvan. Namun urung ku lakukan. Aku harus mencari kebenaran di balik paket baju bayi itu.

Sejujurnya aku masih tak percaya jika suami yang kubanggakan begitu tega. Aku masih berharap jika ini mimpi dan saat terbangun semua akan kembali baik-baik saja. Namun sayang ini adalah sebuah kenyataan. Telingaku masih berfungsi dengan baik. Tak mungkin aku salah dengar. Suami yang kupuja ternyata menusuk dari belakang.

Remuk redam hatiku. Kalau saja bukan suamiku pasti rasanya tak sesakit ini.

Aku masih bersandar di dinding. Sekuat tenaga aku berdiri tegak. Ku hapus air mata yang terlanjur jatuh membasahi pipi.

Aku tak akan bertanya apa pun kepada Mas Alvan. Karena dia pasti akan mencari alasan seperti paket baju kemarin. Aku akan mencari sendiri kebenarannya. Dan aku masih berharap Mas Alvan tak seperti yang ku bayangkan.

Apa semua ini berhubungan dengan paket baju itu? Apa ini alasan Mas Alvan tak memperbolehkan aku ikut ke luar kota. Pertanyaan itu kembali memenuhi pikiranku.

Ya, Tuhan! Apa yang harus ku lakukan?

"Alia!" Mata Mas Alvan membuat sempurna saat melihatku ada di balik pintu. Wajahnya menjadi pias dan sedikit gugup.

"Iya mas," jawabku sebiasa mungkin. Meski dalam hati ada rasa yang bergejolak hebat. Namun sebisa mungkin kutahan semuanya. Aku tak ingin semuanya berakhir dengan dusta dari suamiku lagi.

"Sudah lama di sini?" tanyanya gugup.

"Baru saja Mas, aku mau ambil ponsel. Gaji bik Ati belum aku kirim."

"Kamu mendengar percakapan Mas di telepon?" tanyanya dengan raut wajah tegang.

Aku yakin ada sesuatu yang kamu sembunyikan di belakangku,Mas. Tak mungkin kamu tegang jika tak ada apa-apa.

"Memang Mas telepon dengan siapa? Aku baru saja sampai kok, Mas. Mau masuk, Mas sudah keluar duluan."

Mas Alvan menghembuskan nafas perlahan, terlihat jelas jika ia bernafas lega. Dia pikir aku tak mendengar percakapannya. Tapi sayang, kamu salah Mas. Aku sudah mendengar semuanya. Tunggu saatnya, kamu akan tahu siapa aku sebenarnya. Kamu salah memilih lawan Mas Alvan Alfian.

Kulangkahkan kaki masuk ke kamar. Tak kuperdulikan Mas Alvan yang masih mematung di depan pintu.

Kuambil benda pipih yang ada di atas nakas. Segera kukirim uang ke rekening bik Ati. Aku tahu ia menunggu jatah bulanan ini. Ini sudah telat dua hari dari dari tanggal gajian.

"Kok masih di situ, mas?" Mas Alvan justru menggaruk kepala yang tak gatal.

"Mas menunggu kamu, untuk anterin ke depan."

Dulu ini adalah permintaan indah. Hanya dengan meminta mengantar ke depan, aku seperti berarti di mata suamiku. Namun setelah mendengar perkataan di telepon tadi. Aku ragu, apakah aku berarti atau hanya untuk menutupi keburukannya.

Ya Tuhan, rasa percaya ku perlahan terkikis. Mas Alvan, kenapa kamu membohongiku?

Ku angkat tubuhku lalu berjalan mendekati Mas Alvan. Lelaki di sampingku itu segera menari koper menuju pintu depan. Aku berjalan di sampingnya dengan mulut membisu. Aku tak mampu berbicara. Takut tak mampu mengendalikan emosi dan semuanya hancur berantakan.

"Mas berangkat ya, sayang." Mas Alvan mengulurkan tangannya.

Ada rasa enggan untuk mencium tangannya. Namun harus tetap ku lakukan untuk menghilangkan kecurigaannya padaku.

"Baik-baik di rumah ya sayang," ucapnya lalu mencium keningku.

Aku hanya diam tak menjawab ucapannya. Mas Alvan melambaikan tanganku balas dengan sebuah senyuman kecut.

Setelah memastikan Mas Alvan pergi, kembali ku langkahkan kaki menuju kamar. Luruh tubuhku di lantai. Air mata yang sempat ku tahan akhirnya pecah juga.

Sesak memenuhi rongga dada. Kenangan indah bersama Mas Alvan menari-nari di pelupuk mata. Aku tak pernah menyangka lelaki yang begitu ku puja kini justru menorehkan sebuah luka.

Apa kurangnya diri ini? Kuangkat derajatnya, ku berikan cinta tulus, ku turuti semua permintaannya. Tapi kenapa dia balas dengan duka dan lara.

Tak berartikah pengorbanan ku selama ini? Lantas apa arti kasih sayangnya padaku selama ini?

Ya Tuhan, apa yang harus ku lakukan.

"Rencana kita akan gagal."

Kalimat yang sempat diucapkan Mas Alvan kembali terngiang di telinga. Rencana apa yang Mas Alvan maksud? Apa ini ada hubungannya dengan paket baju bayi itu?

Perlahan ku angkat tubuh. Kuhapus air mata yang menempel di pipi.

"Aku harus kuat! Aku tidak boleh menangis!" batinku.

Aku harus segera menyelidiki semuanya. Jika Mas Alvan terbukti berkhianat, aku tak akan pernah memaafkannya. Akan ku buat dia menderita!

Duduk di atas ranjang sambil memijit kepala yang terasa berdenyut. Dari mana aku mencari bukti pengkhianatan suamiku?

Ku buka almari, mencari sesuatu yang bisa ku jadikan petunjuk untuk menguak kenyataan pahit ini. Satu persatu pakaian Mas Alvan ku keluarkan. Nihil. Tak ada satu petunjuk di almari pakaian.

Aku belum menyerah, ku buka setiap laci yang ada di bawah meja rias. Namun tak juga ku temukan sebuah petunjuk. Pandai sekali Mas Alvan menyembunyikan kebusukannya.

Argghh!

Kepalaku seakan mau pecah mencari petunjuk. Tuhan, berilah aku petunjuk. Aku ingin membuktikan kecurangan Mas Alvan.

Duduk di kursi depan meja rias sambil memikirkan rencana selanjutnya. Ku tatap langit- langit kamar hingga tak sengaja ku lihat paper bag berwarna merah di atas almari.

Kenapa tidak dari tadi ku ingat benda itu. Aku seger berdiri. Mencoba merai paper bag tapi tak bisa. Kugeser perlahan kursi hingga menempel almari. Dengan hati-hati aku naik kursi untuk mengambil benda berwarna merah itu.

Aku harus segera ke toko yang menjual pakaian bayi ini. Aku harus mendapatkan bukti pengkhianatan Mas Alvan.

***

Aku turun dari mobil dengan membawa paper bag dari toko ini. Jantung berdetak tak menentu saat memasuki bangunan luas bernuansa merah muda ini.

Setiap sudut tertata rapi berbagai pakaian bayi. Rasa sedih kembali menelusup di sanubari. Apa karena aku belum mampu memberikan keturunan yang membuatku berkhianat,Mas?

Bulir bening menetes saat tangan ini memegang baju bayi berwarna putih. Sedih, marah dan kecewa bercampur menjadi satu. Karena baju bayi aku tahu kebusukan yang kamu sembunyikan dariku.

Ku seka air mata yang sempat jatuh. Aku harus fokus dengan rencanaku. Jangan sampai kelemahanku di jadikan senjata Mas Alvan untuk menyakitiku.

Kulangkahkan kaki mendekati dua orang wanita di meja kasir.

"Ada yang bisa saya bantu, bu?"

Apa aku terlihat terlalu tua hingga dipanggil dengan sebutan ibu? Betapa diri ini lalai merawat tubuh.

"Ada yang bisa saya bantu, bu?" tanya pegawai itu lagi karena aku masih diam membisu.

"Maaf Mbak, saya mau bertanya. Kemarin saya dapat sebuah paket dari toko ini. Tapi saya merasa tidak membeli. Saya takut salah kirim. Kasihan yang beli jika itu sampai terjadi." Ku serahkan paper bag dengan nama toko tertera di sana.

"Tunggu sebentar, bu." Karyawan yang memakai hijab hitam segera mengutak-atik komputer.

"Maaf Bu, ini sesuai dengan alamat yang di berikan pembeli."

"Kalau boleh saya tahu, siapa yang membeli ya mbak? Kalau saya kenal akan langsung saya kembalikan."

"Kemarin bukan kami yang menjadi kasir, Bu. Jadi saya tidak tahu siapa yang membeli. Karena pembelinnya tidak memakai member."

Pupus sudah harapanku untuk mengetahui siapa pengirim pakaian bayi ini. Ke mana lagi aku harus mencari bukti. Ku tatap langit-langit yang berada di belakang kasir. Nampak sebuah CCTV terpasang di sana.

"Boleh saya lihat rekaman CCTV nya Mbak?" tanyaku hati-hati.

"Saya tidak bisa memutuskannya, Bu. Tunggu sebentar saya akan laporkan masalah ini ke pemilik toko." Salah satu karyawan segera pergi meninggalkan meja kasir. Aku menunggu sambil berdiri tak jauh dari meja kasir.

Tak berapa lama karyawan tadi kembali ke meja kasir diikuti wanita muda di belakangnya. Aku yakin dia adalah pemilik toko ini.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya wanita dengan rambut digerai itu.

Ku ceritakan maksud dan tujuanku datang ke toko ini. Dengan ramah pemilik toko itu mengajakku masuk ke ruangannya.

"Tunggu sebentar saya lihat rekaman CCTV nya dulu, bu." Dengan lihat wanita itu mengotak-atik layar komputer.

Aku berdiri tepat di sampingnya. Mata ku awas menatap layar komputer. Para pengunjung silir berganti masuk ke toko ini. Hingga ku lihat seorang wanita yang sangat ku kenal berdiri di depan meja kasir.

"Bisa tolong di zoom mbak!" pintaku.

Benar aku tak salah, dia orangnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status