Share

Bab 3

last update Last Updated: 2022-06-29 20:58:40

Sinar mentari menerobos cela jendela kamar. Mas Alvan sedikit terusik hingga menarik selimut menutupi kepala. Jarum jam sudah menujukkan angka tujuh, tapi suamiku masih enggan beranjak dari ranjang empuk.

Mas Alvan memang sudah bangun untuk shalat subuh tapi tidur lagi dan sampai sekarang belum juga membuka mata. Katanya semalam ingin dinas ke luar kota. Tapi kok masih tidur saja.

Kugelengkan kepala melihat kebiasaan buruk suamiku. Berulang kali ku nasehati tapi tetap saja diulangi lagi. Dan lama-lama aku lelah sendiri.

Kumasukkan kemeja dan keperluan lain di dalam koper. Kuperiksa lagi semua barang agar tak ada satu pun yang tertinggal. Kasihan kan jika ada yang tertinggal.

"Mas ...." Ku elus perlahan pipinya. Kukecup kening agar ia segera membuka mata. Ini adalah kebiasaan kami saat membangunkan pasangan.

Mas Alvan mengeliat lalu membuka matanya perlahan. Senyum merekah tergambar jelas di bibirnya. Tetap mempesona meski belum mandi.

"Morning sayang," ucapnya sambil mengecup mesra keningku.

Suamiku begitu romantis dan hangat. Aku menjadi malu sendiri karena telah berburuk sangka kepadanya. Rasa jenuh menunggu hadirnya sang buah hati membuatku mudah terpancing emosi. Untung Mas Alvan begitu sabar menghadapiku. Aku sangat beruntung memiliki suami seperti dia.

"Sudah jam tujuh, mas. Katanya mau ke luar kota tapi jam segini baru bangun."

"Kalau tidur ditemani kamu rasanya betah sampai tidak mau bangun, he he he." Pipiku memerah mendengar ucapannya. Mas Alvan memang pandai membuat hati istrinya berbunga-bunga. Ini yang membuat aku semakin jatuh cinta padanya.

"Udah ah gombalnya! Mas mandi dulu gih!" Ku tarik tubuhnya hingga selimut terjatuh di atas lantai.

Kuambil benda yang digunakan untuk menutup tubuh Mas Alvan. Saat berdiri, suamiku justru memeluk tubuhku dari belakang. Hangat saat tubuhnya menempel di tubuhku hingga membuat jantung berdetak tak menentu.

Kami memang sudah enam tahun menjalani biduk rumah tangga. Namun jantung masih berdetak tak menentu kala tubuh kami menyatu. Seakan ada aliran listrik yang menempel di sekujur tubuh. Sudah persis anak ABG sedang pacaran saja.

Senyum mengembang kala Mas Alvan memperlakukan diriku bak permaisuri. Hingga tak sengaja aku melihat pantulan diri di dalam cermin.

Senyum yang sempat mengembang sirna sudah.

Aku dan Mas Alvan bak angka sepuluh. Mas Alvan angka satu sedang diriku angka nol. Sungguh bukan pasangan yang serasi.

Teringat kembali penolakan Mas Alvan saat aku ingin ikut ke luar kota. Apa karena badanku yang gembul hingga membuat Mas Alvan malu mengajakku.

Bulir bening nanti asin jatuh membasahi pipi. Aku merasa tak pantas bersanding dengan Mas Alvan. Aku sudah tak secantik dulu. Badanku sudah melar seperti ibu anak dia. Padahal kenyataannya aku belum dikaruniai seorang anak.

"Kenapa kamu menangis, Al?" Mas Alvan membalikkan tubuhku. Kedua tangannya dengan sigap menghapus air mata yang menempel di pipi.

"Aku malu Mas, badanku melar begini. Rasanya tak pantas jalan berdua dengan kamu."

"Siapa yang bilang? Kamu itu cantik. Ini namanya tidak gendut tapi seksi sayang. Mas, lebih suka kamu seperti ini. Kalau kamu kurus orang-orang mengira kamu tidak bahagia hidup bersama Mas." Kupeluk erat tubuhnya.

Terima kasih Tuhan, Engkau kirimkan suami berhati malaikat seperti Mas Alvan. Aku sangat bahagia memilikinya.

"Mas mandi dulu ya, nanti ketinggalan pesawat lagi." Ku lepas tanganku yang menempel di tubuhnya walau rasanya enggan.

***

Kuletakkan roti dan selain di atas meja. Tak lupa secangkir kopi untuk Mas Alvan. Ini adalah menu sarapan suamiku. Roti dengan selai kacang atau nanas. Mas Alvan lebih menyukai sarapan roti dibanding nasi. Berbeda denganku yang suka sarapan nasi. Rasanya kurang afdol jika sarapan tanpa nasi.

Setiap orang memiliki selera dan kesukaan yang berbeda. Begitu pula dengan aku dan Mas Alvan. Seperti menu sarapan saja sudah berbeda belum kesukaan yang lain. Aku lebih suka menonton film romantis sedang Mas Alvan menyukai film horor.

Kalau dipikir-pikir perbedaan kami memang banyak. Namun bukan berarti banyaknya perbedaan membuat kami menjadi jauh. Tapi justru sebaliknya, banyaknya perbedaan kian membuat kami menghargai perasaan satu dan lainnya. Terbukti sampai detik ini kami masih hidup harmonis.

"Tumben sarapan roti?" tanya Mas Alvan sambil menjatuhkan bobot di sampingku.

"Pengen saja sekali-kali sarapannya seperti Mas." Kugigit roti dengan selain coklat di dalamnya.

"Nanti kalau kelaparan gimana hayo?" Ledeknya lalu mengoleskan selai kacang di atas roti tawar.

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan suamiku. Mas Alvan memang tahu segalanya tentangku. Hal sepele seperti ini saja dia begitu peka. Apalagi hal besar lainnya.

"Nanti makan lagi mas," ucapku kemudian. Mesti aku belum tahu akan makan lagi atau tidak . Bayangan tubuhku seperti angka nol kembali mengusik ku. Ah, sepertinya aku harus mengurangi berat badan agar lebih menarik lagi

Tiing...

Satu notifikasi pesan masuk di ponsel Mas Alvan. Sambil mengunyah Mas Alvan membuka ponsel dengan tangan kirinya. Senyum mengembang membaca pesan tersebut. Entah dengan siapa dia berkirim pesan.

Berkali-kali ponsel suamiku berbunyi. Ia masih saja sibuk dengan ponsel hingga mengabaikan diriku.

"Mas Alvan berkirim pesan dengan siapa sih?" batinku bertanya-tanya.

Tawa renyah keluar dari mulut Mas Alvan. Rasa penasaran membuatku ingin bertanya dengan siapa ia berkirim pesan w******p hingga membuatnya begitu bahagia. Wajahnya seperti anak muda yang sedang kasmaran. Jujur aku cemburu. Cemburu dengan sebuah ponsel.

"Pesan dari siapa Mas? Sampai ketawa gitu?" tanyaku penasaran.

"Ini pesan dari teman SMP, dia mengirim gambar lucu hingga membuatku tertawa begini," jawabnya dengan mata tetap fokus di layar ponsel.

Entah kenapa ada rasa tak percaya dengan ucapannya. Namun ku coba menepis segala prasangka buruk. Aku tak mau kejadian paket bayi terulang kembali. Sudah cukup aku menuduh suamiku yang bukan-bukan.

Kepercayaan adalah kunci langengnya sebuah hubungan. Dan aku akan percaya pada suamiku.

"Mau berangkat sekarang, Mas?" tanyaku setelah kami selesai sarapan.

"Iya sayang, takut terlambat. Mas ambil koper dulu, kamu tunggu di sini," ucapnya lalu beranjak pergi meninggalkanku.

Bi Ati lewat sambil membawa kantung plastik berisi sayuran segar. Beliau pasti berbelanja di abang sayur yang mangkal tak jauh dari rumah.

Astaga, kenapa aku bisa lupa untuk mentrasfer gaji bi Ati. Bi Ati adalah pembantu rumah tangga kami. Dia memang minta gajinya ditansfer agar lebih mudah saat ingin mengirimkan uang ke kampung halaman. Beliau seorang janda dengan empat orang anak. Dua orang anak sudah menikah dan dua lagi masih duduk di bangku sekolah atas kelas satu dan tiga.

Kasihan jika melihat kehidupan beliau. Ini juga salah satu alasan aku memilihnya sebagai asisten rumah tangga di sini. Beliau adalah tetangga Bi Asih, asisten rumah tangga mama.

Takut kalau aku sampai lupa lagi, ku langkahkan kaki menuju kamar yang terletak di lantai atas. Ku jalan perlahan, sekalian mengejutkan Mas Alvan. Ia pasti terkejut saat tiba-tiba aku sudah ada di belakangnya.

Pintu kamar sedikit terbuka, langkahku kian mendekat.

"Kamu tenang saja, si gembrot Alia tak akan tahu. Tapi lain kali jangan kirim pakaian bayi atau rencana kita akan gagal."

DEG

Ku urungkan niat masuk ke kamar. Tubuhku lemas seakan tak ada tulang di dalamnya. Bulir bening mengalir tanpa bisa ku bendung.Ku cubit tangan, berharap semua hanya mimpi tapi kulit tangan terasa sakit. Ya Tuhan, ini bukan mimpi.

Apa yang dilakukan Mas Alvan di belakangku.

Siapa yang berbicara di telepon dengan suamiku?

Apa yang akan dilakukan Alia ya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (5)
goodnovel comment avatar
Ruqi Ruqiyah
jln ceritanya biasa ...perempuan yg terlalu percaya akibat terlalu cints
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
diet keras Alya.....ayo semangat ...
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
Hajar aja laki2 ky gitu ....ngatain gembrot lgi.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Salah Kirim Paket   Ending

    Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin

  • Salah Kirim Paket   Surat Bu Nur

    Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a

  • Salah Kirim Paket   Memaafkan

    Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak

  • Salah Kirim Paket   Bimbang

    Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa

  • Salah Kirim Paket   Ancaman Alia

    "Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me

  • Salah Kirim Paket   Kritis

    Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status