Share

Keluarga Ular

last update Last Updated: 2022-07-08 20:07:05

Aku masih mematung di balik tembok. Air bah yang berusaha ku bendung akhirnya jebol juga. Kututup mulut dengan kedua tangan agar tangisku tak terdengar.

Dada terasa sesak mendengar kenyataan itu. Sakit dan perih yang kini ku rasakan.

Bahkan aku masih tak menyangka, bukan hanya Mas Alvan yang berdusta tapi seluruh keluarganya bermuka dua. Di depanku saja mereka baik tapi di belakang mereka menikam.

Apa yang membuat mereka tega kepadaku? Aku bahkan rela membantu biaya kuliah Sasya. Aku juga yang telah membiayai kehidupan mereka. Membangun rumah hingga seperti ini. Namun balasan apa yang ku dapat? Sebuah pengkhianatan.

Ya Tuhan.

Selama ini aku memelihara ular yang kapan saja bisa melilit dan mematuk hingga racunnya perlahan membuatku terkapar tak berdaya.

"Pokoknya kalian harus bersikap seperti biasa. Jangan sampai dia curiga dan rencana kita semua akan hancur berantakan!"

Rencana? Rencana apa yang sebenarnya mereka bicarakan? Apa ini menyangkut pernikahanku atau menyangkut harta.

"Iya dong, bu. Kalau Alia tak kaya sudah pasti Mas Alvan menceraikannya dari dulu. Sudah gembrot tidak bisa hamil lagi."

Alia? Sejak kapan Sasya memanggilku hanya dengan nama saja? Atau dari dulu di belakangku dia seperti itu?

Bahu naik turun mendengar ucapan adik kandung suamiku. Tak sadar tangan mengepal ke samping. Ternyata aku hanya di jadikan ATM berjalan saja. Apa mereka tak ingat pengorbanan ku selama ini? Apa mereka tak tahu betapa aku tulus menyayangi mereka.

Kuseka air mata yang sempat jatuh di pipi. Rasa mulas hilang seketika. Hanya ada amarah yang kini tinggal di dada. Oke, kalian jual aku beli. Kalian telah salah memilih lawan. Nadzwa Alia Kusuma tak akan semudah itu kaliah bodohi. Cukup kesalahanku terlalu mempercayai kalian. Tunggu, akan ku buat kalian menyesal telah mempermainkanku.

Melangkah dengan hati-hati menuju ruang tamu. Aku tak mau mereka sampai tahu jika aku telah menguping. Segera ku hapus air mata dan mengoleskan bedak tipis agar tak terlihat habis menangis.

Ku tarik nafas dan mengeluarkannya perlahan. Aku harus mengontrol emosi agar tak salah langkah. Aku tak akan main kasar dan brutal. Itu bukan style diriku.Cukup perlahan tapi mematikan. Seperti air tenang tapi menghanyutkan.

Suara langkah kaki kian mendekat, tak hanya satu tapi beberapa langkah. Ya, pasti kumpulan ular berjalan kemari. Benar dugaanku bapak, ibu dan Sasya berjalan ke arahku. Wajah ramah dan sumringah tergambar jelas di sana. Tapi sayang, itu hanya topeng belaka.

Satu persatu orang menjatuhkan bobot di sofa. Ibu meletakkan secangkir teh hangat lalu duduk di sebelahku.

"Ada perlu apa kemari Al?" tanya ibu lembut.

Jelas sekali ada kata tak suka dari kalimat itu. Lebih tepatnya tak suka dengan kedatanganku kemari.

"Apa harus ada alasan seorang menantu datang ke rumah mertuanya, bu?"

Ibu menjadi salah tingkah mendengar jawabanku. Jangan kira aku Alia yang lemah dan mudah dibodohi seperti dulu. Alia yang selalu patuh dan menurut. Alia sekarang adalah Alia yang akan membalas rasa sakit hati atas pengkhianatan kalian.

"Bukan begitu maksud ibu Al. Tumben saja kamu datang tak memberi kabar. Biasanya kamu selalu memberi kabar sebelum berkunjung kemari," jawabnya gugup.

Ya, dulu aku memang selalu memberi kabar jika ingin kemari. Tapi sepertinya lebih baik datang tanpa memberi tahu kalian agar kalian terkejut, syukur-syukur bisa terkena serangan jantung.

Ah, kenapa aku jadi punya pikiran buruk seperti ini. Andai kalian tak membohongiku mungkin aku akan lebih menghormati kalian.

"Alia bosen di rumah bu. Mas Alvan dinas ke luar kota. Dari pada sendirian di rumah makannya Alia kemari. Alia juga sudah rindu pada ibu. Apa ibu tidak rindu denganku?"

Ibu semakin salah tingkah. Tentu saja ibu tidak rindu. Kalau bisa mungkin ibu akan menendangku dari sini. Tapi tak mungkin ibu lakukan bukan? Ibu takut jika tak ada aliran dana ke rekening jika bertindak kasar padaku. Aku tahu kok apa yang ibu pikirkan.

"Tentu ibu rindu dong Mbak. Mbak Alia kan menantu kesayangan ibu. Iya kan, bu!" Sasya memberi isyarat pada ibunya.

Dasar keluarga ular, pandai sekali kalian bersandiwara. Harusnya kalian ikut casting dan jadi kuntilanak dalam film horor. Pasti lebih bagus dari pada sandiwara di depanku.

"Tumben kamu kemari tidak bawa apa-apa?" Bapak melihat sekelilingku. Tak ada kue atau makanan ringan yang biasa ku bawa saat datang ke rumah ini.

Memang dasar keluarga ular, baru juga sekali tak membawa buah tangan sudah ditanyakan. Apa mereka tak memiliki urat malu. Harusnya bapak tak bertanya seperti itu. Bukankah selama ini hidup mereka aku yang tanggung.

Semenjak Mas Alvan menikah denganku bapak suamiku itu tidak lagi bekerja alasannya sudah tidak kuat untuk menjadi kuli bangunan. Hingga aku tak tega dan menanggung kehidupan mereka. Bodohnya aku! Padahal tubuh bapak masih bugar hanya perutnya tambah buncit saja. Itu semua karena dia banyak makan dan kurang gerak.

Aku adalah orang yang tak tega dan mudah iba. Namun dengan sifatku yang seperti itu justru dimanfaatkan oleh keluarga Mas Alvan.

"Maaf Pak, tapi Alia buru-buru jadi tidak sempat mampir. Maklum Alia sangat rindu dengan bapak, ibu dan Sasya."

"Ah, tidak apa-apa Al. Yang penting rasa rindumu sudah terobati." Ibu mengelus pundakku.

Dulu aku sangat bahagia di perlakukan seperti ini. Ibu seperti menyayangiku sepenuh hati. Tapi kini setelah tahu kenyataannya aku merasa muak dengan semua sandiwara yang mereka lakukan.

"Kita nyalon yuk mbak. Sudah lama kan kita tidak ke salon bareng?"

Ini lagi ular kecil, bisa-bisanya dia meminta ke salon setelah dia mengejekku gembrot. Benar-benar tak tahu malu.

"Iya Al, ide bagus itu. Kita sudah lama tidak jalan bertiga. Sekalian kan mengobati rasa rindu pada Sasya dan ibu."

Ibu dan anak sama saja. Sama-sama tak memiliki urat malu. Sebuah ide gil* muncul begitu saja dalam pikiranku. Mungkin dengan ini mereka bisa sadar jika selama ini mereka sangat bergantung kepadaku. Aku yakin kalian akan menyukai kejutanku.

"Boleh bu, sudah lama juga Alia tidak ke salon."

"Kamu tunggu di sini ibu dan Sasya siap-siap."

Ibu dan Sasya segera berlari ke kamar masing-masing. Kini tinggal aku dan bapak di ruang tamu. Lelaki dengan kulit sawo matang itu manatapku tak suka. Mungkin karena aku tak membawa buah tangan untuknya.

"Bapak mau ikut?"

"Tidak, buat apa ke salon. Lebih baik tidur saja," ucapnya lalu pergi meninggalkanku seorang diri.

Lima belas menit aku menunggu ibu dan adik iparku. Tentu waktu menunggu tak aku sia-siakan begitu saja. Di kepala sudah penuh rencana untuk membalas pengkhianatan mereka. Kita lihat saja siapa yang akan menang, keluarga ular atau aku?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Salah Kirim Paket   Ending

    Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin

  • Salah Kirim Paket   Surat Bu Nur

    Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a

  • Salah Kirim Paket   Memaafkan

    Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak

  • Salah Kirim Paket   Bimbang

    Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa

  • Salah Kirim Paket   Ancaman Alia

    "Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me

  • Salah Kirim Paket   Kritis

    Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status