Semua Bab Pelayan Hati Sang Pangeran: Bab 1 - Bab 10
120 Bab
Bab 1
Suryawijaya memberanikan diri menatap wajah sang ayah, dalam dadanya ia merasa geram dengan beliau yang masih menolak keras hubungannya dengan Nawangsih. Adik angkatnya."Sifat ningrat dan adiluhung sudah berlaku pada diri Tania sejak ia tinggal di sini, Ayahanda. Dia sudah belajar dan mematuhinya. Ayahanda bahkan sudah melihatnya sendiri. Apalagi yang membuat Ayahanda risau?" desak Suryawijaya dengan tidak sabar.Kaysan menatap putranya dengan tatapan datar tak terbantahkan."Tidak perlu menggurui Ayahanda, anakku. Ayahanda lebih memahami apa sifat adiluhung yang kamu pahami." ucapnya disertai kegagahan saat dia menunjukkan garis darahnya yang tinggi dan makmur.Alis Suryawijaya terangkat ketika jawaban ketus sang ayah masih terdengar alot. Suryawijaya mengembuskan napas sambil menunduk."Baiklah Ayahanda, maafkan Suryawijaya sudah lancang." Ia memberi hormat karena percuma melawan ayahnya dengan kata-kata.Kaysan beranjak, meninggalkan calon penerus yang kerap kali menggunakan nada t
Baca selengkapnya
Bab 2
Malam merangkak semakin wening. Suryawijaya menaruh blangkon ke dalam lemari kaca seraya melepas baju kejawennya.Usianya memang belum genap kepala tiga, namun tugasnya sebagai calon penerus usaha keluarga dan abdi budaya sudah berat. Dia kerap mendampingi ayahnya atau mewakili beliau untuk menghadiri acara penting yang berhubungan dengan kenegaraan dan kebudayaan. Namun jika sedang berselisih pendapat dengan beliau, kerap kali dia memilih untuk menepi.Suryawijaya menyelesaikan sepertiga malamnya dengan mengepak pelengkapan pendakian ke dalam tas carrier, ia bertekad untuk mendaki gunung Merbabu setelah menggantikan peran ibunya besok pagi.Selesai mengepak. Suryawijaya merebahkan tubuhnya di ranjang, ia memejamkan mata, namun setiap kali ia menutup mata, ingatan semasa kecil bersama Tania mencuat kembali. Suryawijaya tersenyum, membiarkan dirinya mengenang saat-saat manis itu dalam ingatan.Suara lembut yang malu-malu, tubuh kering kurang gizi dan mata sayu Tania, siapa yang tidak te
Baca selengkapnya
Bab 3
"Aku bukan tidak peka, tapi kamu sendiri tahu Ayahanda bagaimana." Suryawijaya menjelaskan ketakutannya setelah mendengar Nawangsih mengomel-omel. "Pakai sabuk pengamannya, biar aman."Nawangsih menarik sudut bibirnya seraya memasang sabuk pengaman dengan kesal. "Mas Surya sih, nggak usah naik gunung. Di rumah aja, ya?" bujuknya dengan nada manis."Lihat nanti. Lagian kamu nggak tau kenapa aku memilih gunung Merbabu, Nia?" goda Suryawijaya sambil menghidupkan mesin mobil.Nawangsih mengendikkan bahu."Itu karena Merbabu adalah Menanti Restu Bapak Ibumu." urai Suryawijaya yang langsung membuat Nawangsih menyunggingkan senyum.•••Perjalanan menuju desa di pinggiran kota membutuhkan waktu dua jam. Mereka keluar dari mobil, di sambut kehebohan warga yang menunggu kedatangan putra Rinjani dengan antusias.Suryawijaya mengangguk ramah sebagai perangai wajib yang umum dilakukan seorang keluarga bangsawan."Selamat pagi semuanya." Suryawijaya menebar senyuman sembari mengatupkan kedua tangann
Baca selengkapnya
Bab 4
Mobil melaju dengan kecepatan sedang seperti yang biasanya Suryawijaya lakukan untuk tetap membuat adiknya nyaman. Namun sambil menyetir, benaknya mengingat, ada tiga aturan yang ditanamkan oleh ibunya jika berada di luar rumah bersama Nawangsih :1. Jangan bermesraan.2. Menjadi kakak sejati.3. Jangan ke tempat sepi.Hari ini, Suryawijaya melanggar aturan nomer tiga. Dia membawa Nawangsih ke tempat sepi dan angker di malam hari."Ini seru banget, Mas."Nawangsih memutar tubuhnya di bawah pohon rindang, senyumnya terus merekah ketika Suryawijaya membawanya ke taman Kaliurang."Terima kasih, Mas Surya." ucap Nawangsih tulus. Suryawijaya mengangguk, mematik korek api seraya mengisap rokoknya dalam-dalam."Cari tempat, Tania.""Ya." Nawangsih menatap sekeliling. Dan, tanpa banyak kata, mereka berkeliling di bawah rindangnya pepohonan dan sejuknya udara diiringi suara monyet-monyet liar."Berhentilah merokok, Mas. Kamu merusak udara di sini. Sayang tau oksigen murni harus dibarengi dengan
Baca selengkapnya
Bab 5
Nawangsih berkeliling untuk mencari pekerjaan yang bisa dia lakukan setelah melayani Rinjani keesokan harinya."Nawang, sini." Citra melambaikan tangan dari ujung lorong.Nawangsih gegas menghampirinya. "Ada apa, Cit? Mau gosip?" tanyanya dengan nada bercanda seraya mengikutinya pergi ke ruang serbaguna.Citra mengambil gunting bunga dan seember penuh bunga mawar segar agar Nawangsih membantunya menyusun bunga untuk acara nanti malam.Ngeteh ala bangsawan dalam acara formal kekeluargaan."Duduk dulu baru tanya." Citra tersenyum canggung."Ada apa, kenapa wajahmu serius begitu?" Nawangsih heran, tetapi dia meraih gunting bunga seraya mencampakkan daun-daun tua dan durinya.Citra—seorang penari klasik sekaligus pelayan cadangan Ibunya itu membisikkan sesuatu di telinga Nawangsih.Nawangsih refleks menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin, itu tidak mungkin terjadi.""Kabarnya memang begitu, Nawang. Nanti malam akan diadakan jamuan makan malam dengan trah keluarga Tirtodiningratan. Kabarny
Baca selengkapnya
Bab 6
Nawangsih terdiam sejenak untuk memandangi Suryawijaya, laki-laki itu memiliki rambut lurus dengan potongan model taper fade, alis tebal, hidung bangir dan bibir tipis kehitaman khas seorang perokok aktif. Ia benar-benar mewarisi semua yang dimiliki oleh Ayahanda Kaysan, termasuk mewarisi keangkuhan, kewibawaan dan kesetiaannya kepada seorang wanita."Ndomas iseng, aku ngambek."Suryawijaya menggigit cemilan gurih bertekstur lembut dan lunak sembari mengerutkan kening saat Nawangsih hanya berdiri di sebrang meja."Tidak pegal? Atau memang hanya ingin berdiri sambil melihatku seperti itu?" goda Suryawijaya.Ah, Nawangsih menutup wajahnya dengan nampan, salah tingkah.Suryawijaya mempertimbangkan untuk menegur Nawangsih karena membantahnya, namun ia urungkan karena gadis itu menghampirinya seraya duduk dengan keanggunan yang sangat terlatih.Suryawijaya manaruh garpunya, ia menghabiskan kopi terenak di dunia. Tentu dunianya sendiri yang penuh dengan nama Nawangsih seorang.Suryawijaya me
Baca selengkapnya
Bab 7
Di hari yang panjang dan melelahkan untuk bersikap baik-baik saja, Nawangsih tersenyum ayu di belakang orang tua mereka yang berjalan beriringan.Disampingnya, Suryawijaya mengangkat dagu tinggi-tinggi, menyatakan ketidaksukaannya terhadap acara penuh makna malam ini. Suryawijaya memang gusar dan marah kepada siapapun karena nasib memperlakukannya dengan tidak adil. Sementara yang ia lakukan sekarang hanya demi kesopanan, martabat dan harga diri.Suryawijaya akan dengan senang hati mengabdikan diri sebagai baktinya kepada Ayahanda Kaysan dan kerajaan. Namun ia tidak mau dipaksa menikah dengan gadis lain yang tidak ia sukai. Cukup sekali sudah cukup untuk mengikuti acara Royal Highness Tea and Talk yang diadakan ayahnya demi tradisi kolot ini. Tapi baginya, mengalahkan kecerdikan pria yang memakai beskap putih itu adalah urusan harga diri. Perlu taktik yang mumpuni dan uang yang banyak sebelum melakukan pemberontakan yang terencana.Memasuki ruang tamu yang di peruntukan untuk menampung
Baca selengkapnya
Bab 8
Keesokan hari, di dalam kamar, sejak tadi Nawangsih hanya termenung di pinggir dipan sembari memeluk bantal. Dia bingung harus bersikap bagaimana saat calon Suryawijaya nanti datang berkunjung.Bersikap seolah-olah tidak cemburu?Wajahnya sudah terlihat menyiratkan kekecewaan mendalam. Mustahil ia bisa melakukannya, karena baginya untuk tidak cemberut, mecucu, ngedumel, atau sehat walafiat sangat susah karena sejak tadi malam ia sudah kepikiran.Mencoba berlagak utuh?Nawangsih mendesah. Ia beranjak, mencari cara agar ia terlihat baik-baik saja di hadapan semua anggota keluarga apalagi di hadapan Suryawijaya, laki-laki yang menoreh rasa kecewa dibenaknya tadi malam. Nihil, wajahnya sudah carut marut.Pura-pura tidak peduli?Nawangsih mendesah panjang. "Aku kan anak manis."Kesal dengan keadaan dan dirinya sendiri, Nawangsih menghempaskan bokongnya di depan meja rias."Yang penting tetap cantik, berbudi baik dan santun! Itu penting biar Ayahanda tahu betapa aku masih setegar karang, sek
Baca selengkapnya
Bab 9
Brak, Brak, Brak. Bunyi itu terus terdengar di bangsal keputren, menjadi kegaduhan langka di senyapnya bangunan itu. "Buka pintunya, Cit! Buka! Tolooong." Nawangsih memukul-mukul pintu kamar dengan lelah, ia kaget saat dirinya di suruh tinggal di kamarnya tanpa alasan yang tidak jelas. Dan yang membuatnya lebih tercengang ia dikunci dari luar oleh Citra. "Citra, tolonggg." ucapnya serak. Tenggorokannya kering, sialnya lagi, ia lupa menaruh cadangan air putih di dalam kamar."Cit, tolong buka pintunya! Aku salah apa sampai di kurung begini? Apa Ayahanda marah? Cit... Tolong jelaskan baik-baik saja, aku bakal mengerti. Jangan begini, Ibunda butuh aku!" Citra yang menjadi kambing hitam tersudut di pojokan dengan rasa bersalah, merasa tidak ada daya untuk melawan Iwan dan titah sang Pangeran. "Duh, Gusti! Piye iki." gumam Citra. Nawangsih mematung, tak ada suara yang menyaut ucapannya. Sekarang kamarnya berubah menjadi penjara cinta yang akan menawanny
Baca selengkapnya
Bab 10
Sepasang mata Suryawijaya menajam. Lagi-lagi berusaha untuk menyabarkan hati ketika Nawangsih justru memunggunginya tanpa sepatah kata setelah meneriakkan nama Citra. "Ndomas kenapa ada disini, malu ih dilihatin terus!" batin Nawangsih, ia menyerukkan wajahnya yang merah padam di bawah guling. Suryawijaya duduk gelisah di kursinya, menarik napas panjang. Ia bukan jengkel dengan Nawangsih, tapi waktu dan tempat tidak mempersilahkannya untuk berlama-lama di kamar gadis itu. "Bangun, perlihatkan wajahmu!" Nawangsih mengangguk lalu mengerjapkan mata."Tapi ndomas merem dulu. Wajahku jelek, kusut, pokoknya ambyar!" Suryawijaya kontan ternganga. Tapi hanya sesaat, setelah itu dia tersenyum samar. Iwan yang menjadi saksi hidup kisah cinta Suryawijaya dan Nawangsih membalikkan badan. "Drama di mulai." Banyak yang ia tahu sejak Nawangsih menginjakkan kaki ke dalam benteng istana. Gadis yang membawa sederet kisah hidup anak kampung yang tidak mujur, gadis ya
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
12
DMCA.com Protection Status