Semua Bab Pelayan Hati Sang Pangeran: Bab 31 - Bab 40
120 Bab
Bab 31
"Nesu yo nesu to, mas. Paling-paling cemburu!" jawab Suryawijaya svil menatap lurus Iwan dan menghela napas panjang. "Apa menikah juga bisa nesu dan bertengkar, mas?" Iwan menatap Suryawijaya dengan ekspresi terkejut. "Ya - iya, Raden." jawab Iwan ragu, "Menikah itu menyatukan satu tujuan dari dua kepala yang berbeda. Kalau gak bertengkar itu bukankah terlihat aneh." "Anehnya dimana mas? Bukannya bagus jika rumah tangga ayem tentrem?" tukas Suryawijaya."Begini." Iwan menghela napas. "Bertengkar saat menikah itu sulit, bikin mumet. Berbeda kalau masih pacaran, bisa putus ditengah jalan. Tapi kalau menikah berbeda, harus ada diskusi panjang yang melelahkan, namun dari bertengkar itu kan kita bisa ngerti apa yang harus di perbaiki lagi dari diri kita sendiri biar rumah tangga utuh, Raden." urai Iwan.Suryawijaya membuang rokoknya seraya bangkit dari posisinya yang bersila. "Kalau gitu apa ada yang harus aku perbaiki biar Nawangsih gak marah?"Sekonyong-konyong Iwan menahan tawa. Mukany
Baca selengkapnya
Bab 32
"Semuanya?" Dada Suryawijaya bergolak, ia mengulum senyum dengan kikum. Berusaha menahan diri agar pipinya tidak bersemu merah dengan keluguan Nawangsih. "Iya semuanya, ndomas. Semuanya sakit, tidak ada obatnya! Kalau ada pasti ndomas susah nyarinya." cibir Nawangsih dengan sengaja."Oke. Semuanya. Jadi mana yang harus aku periksa dulu?" Suryawijaya mengusap sisa air mata di pipi Nawangsih. Nawangsih berhenti mengusap kepalanya yang nyut-nyutan dan mungkin nanti akan benjol, tapi tak separah isi hatinya. "Hatiku dulu, ndomas. Hatiku sakit gara-gara kamu!" Nawangsih menepuk-nepuk dadanya. "Gak bisa kayak tadi, ndomas ngawur!" "Ngawur? Kok bisa?" bibir Suryawijaya melengkung senyum, ia bersila sembari menatap Nawangsih yang menyandarkan kepalanya di lutut yang ia tekuk. "Ndomas tega. Aku - aku merasa aku tidak ada artinya karena aku hanya seorang dayang disini." Untuk sesaat Nawangsih terisak pelan dan menyembunyikan wajahnya. Suryawijaya mendesah. "Kamu berarti bagi kami, Nia. Sl
Baca selengkapnya
Bab 33
Bunyi hujan mereda. Bola matahari menampakkan sinarnya di cakrawala. Di saat itu pula lukisan Suryawijaya selesai. Butuh tiga jam untuk menyelesaikan lukisannya dengan sempurna. Suryawijaya tersenyum puas. Rencananya mengerjai kedua gadis ini berhasil."Kemarilah, kalian harus melihat kalian dalam bentuk lukisan."Kesua putri Tirtodiningratan mendesah lega. Mereka merenggangkan tubuhnya dengan skeptis demi mempertahankan sikap perempuan bangsawan yang tidak yak-yakan.Ekspresi keduanya sama-sama terlihat lelah dan ngantuk. Terlebih Keneswari, berkali-kali Suryawijaya menginterupsinya saat matanya terpejam. "Saya suka melukis, jadi yang akan menjadi istri saya harus siap menjadi model saya seperti tadi." Suryawijaya menjelaskan personalnya.Keneswari dan Dyah saling melempar pandang. Mata keduanya melebar. Rasa kantuk yang sejak tadi begitu terasa langsung enyah seketika. "Tiga jam diam ditempat?" Dyah membatin, ia tersenyum rikuh. "Cukup lama ya, Raden. S
Baca selengkapnya
Bab 34
"Kamu yakin tidak jadi ikut, Nawang?" Suryawijaya menyandarkan lukisannya di tembok.Nawangsih terdiam beberapa detik sebelum memaksa dirinya bicara. Suaranya terdengar susah payah menemukan ketenangan."Aku yakin, ndomas. Aku tidak ikut karena Ibunda juga sudah siap sidak ke pasar." ia tersenyum, sengaja memberi ruang bagi Suryawijaya untuk memahami waktu antara dirinya dan kegiatannya. Sementara kemarin, kesibukan terjadi di istana Tirtodiningratan untuk menyambut kedatangan Suryawijaya."Yakin? Nanti aku pulang gak marah-marah apa ngambek?"Mereka bertatapan. Lalu lambat-laun tersenyum. Senyum paruh luka. Mereka sama-sama tahu jawabannya. "Ya sudah, mau aku belikan sesuatu?" tawar Suryawijaya."Tidak, ndomas. Aku nanti jalan-jalan di surganya belanja. Ibunda pasti mendapatkan banyak buah tangan dari pedagang." urai Nawangsih sambil menyunggingkan senyum.Kening Suryawijaya berkerut. "Jadi itu alasanmu suka ikut Ibunda sidak ke pasar." Suryawijaya mengele
Baca selengkapnya
Bab 35
Nawangsih mengerucutkan bibirnya dengan muka mengejek. "Banyakan juga punyaku, ndomas. Lihat..., ada daster, kerudung, sendal, jajanan pasar, kebaya, kaos, kain jarik, pita, sama stagen. Gak cuma serabi dan combro!" celetuknya seraya menaruh barang pemberian pedagang pasar di hadapan Suryawijaya."Kok banyak, kamu pasti ngerampok tadi di pasar!" goda Suryawijaya. Nawangsih mendesis. "Ndomas sembarangan. Ini hadiah buat aku karena sudah bantu-bantu di pasar tadi. Tanya Ibunda saja kalau tidak percaya. Dan semua ini untukku, ndomas jangan minta!" "Bun, serius?" Suryawijaya menoleh kepada sang Ratu yang baru mengipasi wajahnya dengan kipas bulu ayam."Adikmu itu kalau ikut sidak ke pasar pasti menjadi mediator antara Ibu dan perwakilan pasar. Sudah jangan ribut terus, Ibu pusing, banyak yang harus Ibu pikir." sang Ratu menghela napas.Kening Suryawijaya berkerut. "Jadi mediator? Aku tidak percaya, Bun. Tania bisanya cuma pringas-pringis kalau diajak diskusi." "Mema
Baca selengkapnya
Bab 36
Keesokan harinya. Kaysan, seorang diri menemui Adhiwiryo di istananya. Dengan kejujuran dan keterbukaannya, ia mengungkapkan niat dari kedatangannya itu.Adhiwiryo menjadi genting. Kekuasaan semakin jauh darinya. Sepersekian detik, tidak ada yang bersuara. Dua pimpinan itu nampak bergulat dengan pikiran yang mengganggu."Satu tahun? Maaf kang mas, satu tahun itu waktu yang sangat lama. Tidakkah perjodohan ini di percepat saja agar Mas Suryawijaya juga bisa tinggal disini dan tidak perlu wira-wiri." Adhiwiryo geleng-geleng kepala, merasa telah dipermainkan oleh keluarga besar Adiguna Pangarep,.sementara komentar Adhiwiryo membuat Kaysan tersenyum."Saya minta maaf. Bukan karena saya melanggar janji. Namun, Suryawijaya akan menerima perjodohan ini jika apa yang ia takutkan tidak terjadi! Terimalah pengajuan dari putraku." ucap Kaysan yang terus mencermati segala perubahan air muka Adhiwiryo.Adhiwiryo nampak memutar bola matanya, wajahnya sedikit terlihat gelisah. "Saya mengerti niat bai
Baca selengkapnya
Bab 37
Kedatangan Kaysan di sambut oleh Rinjani yang sudah menunggu sejak tadi."Bagaimana kangmas, apakah mas Adhiwiryo bersedia mengulur waktu perjodohan putraku dengan anak-anaknya?" Rinjani bersimpuh di hadapan suaminya yang duduk di kursi antik lawasan jati asli."Ambilkan gelas."Rinjani tersenyum rikuh, lupa melayani suaminya karena saking antusiasnya menunggu kabar dari lelaki yang amat dicintainya."Terima kasih. Setidaknya air putih yang kamu berikan sudah cukup melegakan." Jawaban itu sekaligus menjadi gambaran tentang apa yang terjadi tadi."Puji syukur. Terima kasih untuk setiap jengkal sabar yang kerap kangmas taruh pada kami, pada setiap perkataan dan perjalanan yang sering menggerus emosi dan perasaan ini. Kami menyayangimu, Mas." Rinjani memberi hormat sebelum mencium punggung tangan suaminya.Kaysan mengelus puncak kepala istrinya. "Jika salahku masih tercelar di hati keluarga besar Tirtodiningratan. Setidaknya maafku harus terungkap dengan bersih." Kaysan menyentuh bahu ist
Baca selengkapnya
Bab 38
Rinjani berhenti mengetuk pintu kamar Suryawijaya seraya menunggu putranya dengan sabar."Le, buka pintunya. Ibunda ingin bicara." Di dalam kamar. Suryawijaya menghela napas, kemudian menghadapkan dirinya ke daun pintu tanpa berkedip. "Ibunda pasti tersinggung dengan perkataanku tadi." gumamnya seraya membuka pintu kamar. "Le." Mata sendu Rinjani membuat Suryawijaya menghela napas. "Maafkan aku ibu, seharusnya aku tidak berkata seperti tadi dan menyakiti perasaan ibu.""Kamu sedang tertekan? Ibunda bersedia menjadi teman curhatmu karena kaki tanganmu sedang menjemput mas Bimo di bandara."Pertanyaan sang Ibu membuat Suryawijaya mengangkat wajahnya seraya menggeleng."Aku hanya butuh waktu sendiri, Bun. Bisakah Ibunda kembali saja ke kamar. Ayahanda lebih membutuhkan Ibunda sekarang." Rinjani menatap putranya dengan lekat. "Kamu yakin tidak membutuhkan Ibu?” Rinjani berdehem. "Sepertinya kamu lupa kalau Ibunda sama keras kepalanya sepertimu." Rinjani menyelinap masuk ke dalam kama
Baca selengkapnya
Bab 39
Kepulangan Bimo dari kampus militer disambut baik oleh keluarga besar Kaysan Adiguna Pangarep di ruang keluarga yang kini nampak lebih ramai dari biasanya. Beberapa pelayan kinasih ikut berada di sana untuk melayani ndoro bei meski hanya duduk bersila sembari menunggu titah. Bimo yang tiba di rumah sebelum senja menghilang memberi hormat kepada orangtua angkatnya."Ibu, Ayah. Saya senang bisa kembali.” ucapnya seraya mencium punggung tangan keduanya.Mereka tersenyum menanggapi ucapan putra angkatnya yang kini bertambah kekar dan memiliki senyum yang tulus. Tak bisa mereka pungkiri bahwa kehadiran Bimo sudah tunggu-tunggu oleh mereka berdua."Kami sangat merindukanmu, Le. Apakah kamu sudah siap mengabdi lagi kepada nagari?" "Sendiko dhawuh, Ibu. Saya bersedia dengan senang hati." Suryawijaya yang bersila tak jauh dari ketiganya mencelos. Sama seperti hari biasanya yang sudah mereka lalui bersama-sama. Keunggulan Bimo dalam bidang pengabdian kerap dibanding-bandingkan oleh orang tua
Baca selengkapnya
Bab 40
Suasana pagi di rumah utama nampak sejuk dan tenang seperti biasanya. Burung-burung bernyanyi di dahan pohon bercampur dengan suara gamelan.Nawangsih tersenyum untuk dirinya sendiri dengan segenap tekad kuat di kepalanya."Cah ayu sudah siap?" tanya Eyang Ningrum sembari merapikan jarik mlipit yang dikenakan Nawangsih."Sudah eyang.""Ya sudah ayo."Keduanya lantas bergegas menuju gedung widya budaya untuk mengikuti rangkaian upacara doa bersama untuk keselamatan yang dihaturkan kepada Tuhan sebelum melakukan kegiatan inventarisasi dan digitalisasi naskah penting peninggalan sejarah yang didominasi oleh peninggalan seni budaya dan tradisi Jawa.Nawangsih terus mengikuti prosesi acara yang digelar dengan penuh ketelitian dan kesabaran.“Mas Bimo sudah kembali ya?" Citra tersenyum malu."Iya, mas Bimo sudah pulang. Sekarang baru ikut Ayahanda ke kantor untuk mengkoordinasikan kegiatannya.” Nawangsih tersenyum. "Kenapa, kangen sama masku?”"Hu'um." Citra mengangguk seraya menyikut lengan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
12
DMCA.com Protection Status