Diana, berusaha untuk terlihat baik-baik saja setelah mengalami kesedihan yang belum lama ini menyesatkannya dalam rasa pahit di hidupnya. Kini ia bertemu seseorang yang pernah menjadi alasannya tak pernah menyukai orang lain hingga sekarang. Mungkinkah itu bisa membuatnya keluar dari kesedihannya? Revan, sedang mencari jati diri dengan merubah tindakan dan perilakunya yang ternyata selalu terikat dengan masa lalunya. Kini ia bertemu seseorang yang mengubah pandangannya tentang dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia masih terikat masa lalu padahal dirinya sudah berubah? Kevin, sifatnya selalu ceria, jahil dan cerewet. Ia juga selalu bisa menerima siapapun menjadi keluarga baginya. Ialah yang lahir dari kesendirian. Kini ia bertemu dengan seseorang yang dibencinya tapi malah sering bersamanya. Apakah memang benar siapapun bisa menjadi keluarganya?
Lihat lebih banyakRevan, sedang mencari jati diri dengan mengubah perilakunya dalam menjalani kehidupannya yang ternyata selalu terikat dengan masa lalunya. Kini ia bertemu seseorang yang mengubah pandangannya tentang dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia masih terikat masa lalu padahal dirinya sudah berubah?
Kevin, sifatnya selalu ceria, jahil dan cerewet. Ia juga selalu bisa menerima siapapun menjadi keluarga baginya. Ialah yang lahir dari kesendirian. Kini ia bertemu dengan seseorang yang dibencinya tapi malah sering bersamanya. Apakah memang benar siapapun bisa menjadi keluarganya?
Mereka bertiga awalnya bersama karena terpaksa dan tak punya pilihan. Namun akhirnya kebersamaan antara mereka menjadi kebutuhan. Meski terlibat konflik perasaan, mereka tahu bahwa kebersamaan mereka adalah pelengkap yang menyempurnakan kehidupan mereka.
*****
Gadis itu namanya Diana. Diana ingat pertama kali mengenal 'dia' ketika kelas satu SMP. Ketika itu sekolah Diana sudah memasuki semester genap. Bahkan tidak lama lagi akan dilaksanakannya ujian tengah semester. Di waktu yang seperti itu tiba-tiba sekolah Diana kedatangan seorang murid baru. Dia seorang anak laki-laki. Tentu saja kedatangannya diwaktu seperti itu tidak biasa. Karena dia pindah di saat masa ujian sudah sangat dekat.
Dan bukan hanya itu saja, dia memiliki kelebihan pada wajahnya. Memiliki wajah yang sangat tampan dan tubuh yang bagus. Semua itu membuat para siswi langsung tertarik padanya dan seketika dia langsung menjadi pusat perhatian di sekolah. Khususnya untuk para gadis.
Dia sangat populer di awal kedatangannya. Tapi ternyata hal itu hanya sementara. Ternyata dia memiliki perilaku yang buruk sebagai seorang pelajar. Berbanding terbalik dengan rupa-nya yang menawan. Dia melakukan banyak sekali pelanggaran di sekolah. Bahkan siswa lain menganggapnya berandalan. Bolos, berkelahi adalah kebiasaannya.
Kemudian, akhirnya dia menjadi siswa yang ditakuti di sekolah. Dan mungkin saja itu adalah alasan mengapa dia pindah sekolah dari sekolah sebelumnya. Karena dia dikeluarkan dari sekolah sebelumnya, hasil dari perilakunya yang buruk.
Puncak-nya adalah beberapa hari setelah ujian kenaikan kelas. Dimana waktu itu para murid menunggu hasil belajar mereka selama satu semester. Saat itu tiba-tiba terjadi perkelahian antara Dia dan siswa lain. Hal itu membuatnya harus belajar tahun ajaran baru di sekolah lain. Dia dikeluarkan.
Beruntung Dia bisa naik kelas dan tidak perlu mengulang. Tapi, Dia lebih beruntung lagi karena tidak masuk kantor polisi. Kenapa? karena siswa yang menjadi lawannya adalah anak dari kepala kepolisian wilayah setempat. Itulah yang membedakan lawannya dengan siswa-siswa lain yang pernah berkelahi dengannya. Bisa dibayangkan, Dia salah memilih lawan.
Pada tahun ajaran baru, dia seolah dilupakan.
Semua orang di sekolah melupakannya kecuali satu. Itu adalah Diana.
Diana selalu mengingatnya dan memikirkannya. Yang membuat Diana selalu merasa bersalah pada Dia ketika mengingatnya. Mengingat karena Diana lah yang menyebabkan Dia berkelahi. Menyebabkan Dia keluar dari sekolah.
*****
"Kak, aku berangkat!" seru Diana setelah ia memakai sepatunya. Lalu ia berjalan menuju pintu depan rumahnya dan hendak membukanya.
"Hm. Eh, tunggu sebentar!" kakak Diana menyahut dari dapur.
"Hah?" Diana mendengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa menuju dirinya di belakangnya, terpaksa ia terhenti sejenak menoleh.
"Diana Claire, kau melupakan bekal makan siang mu," ucap kakak Diana dengan menyodorkan sebuah kotak makan berwarna merah.
Diana melihat kotak makan itu. Lalu pandangannya beralih melihat kakak laki-lakinya yang memiliki rambut hitam dan memiliki mata coklat gelap, sama persis seperti dirinya. Namanya juga saudara. Justru aneh jika ada perbedaan yang besar.
Diana menghela napas. "Kau benar, aku lupa. Lupa memberitahumu kalau aku menyiapkan bekal itu untuk makan siang mu saat bekerja nanti. Jadi itu untukmu David Claire." Jelas Diana sembari menunjuk bekal itu lalu menunjuk kakaknya.
"Eh, benarkah?" gantian David yang melihat kotak makan itu.
Diana mengangguk sebagai jawaban, ia segera berbalik dan melanjutkan jalannya.
"Terima kasih kalau begitu," kata David. Tapi Diana tidak mendengar perkataan yang diucapkan David. Karena dia sudah membuka pintu dan keluar rumah tepat saat David berterimakasih.
"Ah, anak itu," David bergumam. Hubungan yang unik untuk saudara yang bersikap seolah hanya teman. Diana bahkan menggunakan ‘aku, kamu’ pada kakaknya
*****
Diana pergi berangkat sekolah dengan memakai sepedanya yang berwarna merah. Setelah orang tuanya pergi meninggalkan dunia, ia hanya tinggal berdua dengan kakaknya. Kini, mereka hanya berdua saling mendukung.
Umur mereka terpaut 6 tahun. David sekarang sedang menjalani tahun terakhir kuliahnya. Dia mengambil semester pendek karena dia mau menggunakan waktunya untuk bekerja. Bekerja membiayai hidup mereka sehari-hari.
Walau menurut Diana itu percuma, kakaknya mengambil semester pendek akibatnya perlu bayaran lebih kuliahnya, karena mereka membayar untuk semester pendek itu sendiri. Jadi menurut dia bekerja untuk membayar kuliah bukan mengambil semester pendek untuk bekerja, yang dia lakukan justru sebaliknya.
Itu berbeda kan, atau sama saja, terserahlah, kata Diana dalam hati. Kepalanya sedang memikirkan tentang kakaknya.
Karena jika hanya mengandalkan David saja itu tidak mungkin. Maka Diana ikut membantunya bekerja.
David bekerja sebagai pegawai salah satu toko di pusat perbelanjaan. Sedangkan Diana bekerja paruh waktu di restoran cepat saji. Bekerja melayani para pelanggan. Atau sebut saja sebagai pelayan.
Perjalanan Diana ke sekolah menghabiskan waktu sekitar empat puluh lima menit. Jika menggunakan sepeda motor pasti lebih cepat. Tapi Diana dan David tidak punya motor. Bahkan David pergi bekerja dengan menaiki bus.
Setelah sampai di parkiran sekolah, Diana memarkirkan sepedanya di tempat parkir khusus sepeda. Kemudian ia mengambil buku kecil di saku jas almamaternya. Itu sebuah buku catatan pelajaran. Ia membacanya sambil berjalan di koridor sekolah. Kebiasaan Diana saat berjalan menuju kelasnya.
Tiba-tiba tubuhnya terhuyung ke belakang. Ia menabrak sesuatu yang membuat Diana terkejut. Tidak sampai membuatnya jatuh. Tapi cukup membuat buku catatan Diana terlepas dari tangannya dan terjatuh.
Spontan gadis itu mencari sesuatu yang 8a tabrak. Tapi sesuatu itu lebih tepat disebut seseorang.
Ia menabrak seorang pemuda yang seumuran dengan kakaknya, begitu menurut perkiraan Diana. Sementara Diana fokus menatapnya, orang yang ia tabrak membungkukkan badan untuk mengambil buku Diana yang jatuh.
"Maafkan aku, karena tidak menghindar padahal aku melihatmu dengan jelas berada di depanku," ucapnya sambil memberikan buku itu pada Diana.
Diana menerima buku miliknya itu dan berkata, "Terimakasih."
"Kamu tidak apa-apa, kan?" tanyanya.
Diana mengangguk, "Seharusnya saya yang minta maaf. Saya tidak memperhatikan jalan sehingga menabrak anda, walaupun itu tidak disengaja."
Pemuda itu tersenyum, "Baiklah, kita impas kalau begitu."
"Eh?" Diana tidak langsung paham. Beberapa detik kemudian Diana baru mengerti.
"Aku harus segera pergi, lain kali hati-hati ya!" Pemuda itu pamit dan melewati Diana.
Diana berbalik memperhatikan punggung pemuda itu yang telah menjauh. Ia merasa pemuda itu mengingatkannya pada seseorang.
Diana mulai berpikir, 'Siapa dia? Padahal sekolah sekarang masih sepi. Tidak biasanya ada orang selain satpam sekolah datang pagi-pagi begini.'
Karena itulah alasan Diana membaca buku sambil berjalan menjadi kebiasaannya. Ia tidak takut insiden menabrak orang lain itu akan terjadi, tapi sepertinya itu sudah berubah sekarang.
*****
Suasana di sekitar mereka terasa lebih tenang setelah hiruk-pikuk acara kelulusan berakhir. Di sudut taman, Kevin dan Revan duduk di bangku kayu, menikmati hembusan angin yang sejuk.Diana sibuk berbicara dengan David, kakaknya, beberapa meter dari mereka. Ini kesempatan langka bagi Kevin dan Revan untuk berbicara empat mata tanpa gangguan.Kevin, dengan gaya santainya, menyandarkan punggung ke bangku dan menatap Revan dengan wajah penasaran. “Revan, aku penasaran dengan sesuatu.”Revan, seperti biasa, tetap tenang. Ia melirik Kevin sekilas sebelum kembali menatap langit yang mulai berubah warna. “Kenapa?”Kevin mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Revan dengan rasa ingin tahu yang jelas terpancar di matanya. “Aku ingin bertanya padamu. Kenapa sampai sekarang kau belum juga mengungkapkan perasaanmu pada Diana? Kita sudah lulus, tapi kau tetap diam saja. Padahal aku ingat kau pernah bilang kalau kau menyukai Diana.”Revan tidak langsung menjawab. Kevin bertanya sesuatu yang diluar
Beberapa bulan berlalu, waktu demi waktu terlewati.Langit biru cerah membentang luas, seakan merestui hari istimewa ini. Aula sekolah dipenuhi oleh para siswa, guru, dan keluarga yang datang dengan wajah penuh kebanggaan. Setelan rapi memenuhi ruangan, menciptakan suasana formal yang berbeda dari hari-hari biasa di sekolah.Kevin berdiri di antara kerumunan, mengenakan setelan jas seragamnya dengan dasi yang sedikit longgar. Ia merapikan rambutnya dan menghela napas panjang.“Sudah siap?” tanya Diana, berdiri di sampingnya.Kevin menyeringai. “Siap atau tidak, aku tetap harus lulus, bukan?”Diana tersenyum, lalu menoleh ke arah Revan yang berdiri di sisi lain. Berbeda dengan Kevin yang tampak santai, Revan terlihat tenang seperti biasa. Jas seragamnya terpasang sempurna, membuatnya tampak lebih dewasa.“Kau tidak gugup?” tanya Kevin, melirik sahabatnya.Revan mengangkat bahu. “Tidak ada alasan untuk gugup.”Kevin terkekeh. “Ya, tentu saja. Kau sudah tahu bahwa kau yang akan menjadi l
Pagi itu, udara terasa segar dengan langit biru cerah. Kevin berdiri di depan rumah, merapikan seragamnya dengan satu tangan sementara tangan lainnya menggenggam tongkat yang masih ia gunakan untuk berjalan. Rasanya aneh mengenakan seragam lagi setelah sekian lama, tapi juga menyenangkan.Sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Albert keluar dari kursi pengemudi dan melangkah mendekat. “Siap?”Kevin mengangguk mantap. “Tentu.”Albert membukakan pintu untuknya, dan Kevin masuk dengan hati-hati. Perjalanan menuju sekolah terasa sedikit nostalgik baginya. Ia menatap keluar jendela, melihat jalanan yang dulu begitu akrab, kini terasa sedikit berbeda setelah sekian lama absen.Begitu sampai di depan gerbang sekolah, Kevin menarik napas dalam-dalam. Ia bisa merasakan tatapan beberapa murid yang melihatnya turun dengan tongkat. Tapi sebelum ia sempat merasa canggung, suara familiar menyapanya.“Kevin.” Diana berlari kecil ke arahnya, diikuti oleh Revan yang berjalan lebih santai.Kevin ters
Ruangan itu dipenuhi kehangatan. Lampu-lampu gantung berpendar lembut, menciptakan nuansa nyaman yang menyelimuti setiap sudut. Meja panjang tertata rapi dengan berbagai hidangan lezat, mengeluarkan aroma menggugah selera. Di dinding, sebuah spanduk besar bertuliskan "Selamat Kembali, Kevin!" tergantung dengan megah, seolah menjadi pusat dari semua perhatian.Kevin berdiri di ambang pintu, matanya berbinar saat melihat semua yang telah dipersiapkan untuknya. Setelah berbulan-bulan di rumah sakit, akhirnya ia bisa merasakan suasana seperti ini lagi—berada di antara orang-orang yang peduli padanya, dalam perayaan yang dibuat khusus untuknya.Di sampingnya, Albert menepuk pundaknya ringan. “Selamat datang kembali.”Kevin menoleh dan tersenyum. “Kak Albert, kau benar-benar tidak main-main.”“Tentu saja tidak,” ujar Albert sambil terkekeh. “Ini adalah hari istimewamu.”Mereka melangkah masuk, disambut oleh Diana dan Revan yang sudah menunggu di dalam. Beberapa orang lainnya juga hadir, memb
Ruang terapi dipenuhi cahaya sore yang hangat, memantul di lantai putih yang mengilap. Suasana sunyi, hanya terdengar suara langkah-langkah pasien lain dan peralatan medis yang sesekali berbunyi.Di tengah ruangan, Kevin berdiri di antara dua batang besi paralel. Tangan kanannya mencengkeram erat besi, sementara tangan kirinya sedikit lebih longgar. Napasnya berat, matanya tertuju lurus ke depan.Diana dan Revan berdiri di sisi ruangan, menjaga jarak. Mereka mengawasi Kevin dengan seksama.Sebenarnya Albert juga menemani Kevin saat terapi di hari-hari sebelumnya, namun untuk kali ini ada pekerjaan yang membuatnya tidak hadir.Diana meremas jemarinya sendiri, matanya fokus memperhatikan Kevin, tapi ia menahan diri untuk tidak bersuara. Sementara itu, Revan berdiri dengan tangan bersedekap, ekspresinya tenang, tapi sorot matanya tajam, memperhatikan setiap gerakan Kevin dengan penuh harapan.Tidak jauh dari mereka, seorang dokter berusia sekitar empat puluhan berdiri dengan clipboard di
Beberapa hari berlalu sejak pembahasan sekolah Diana.Saat ini Diana berdiri di depan cermin, mengenakan seragam sekolahnya. Ada perasaan aneh saat ia melihat pantulan dirinya sendiri. Seolah-olah ia mengenakan sesuatu yang familiar, tapi juga asing di saat yang bersamaan.Ia menatap dirinya lebih lama, mencoba mengingat sesuatu—apa pun. Tetapi pikirannya tetap kosong.Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.“Diana, ayo turun! Revan sudah datang menjemputmu!” suara David terdengar dari luar kamarnya.Diana mengernyit mendengar nama yang disebut kakaknya. “Revan?”“Iya, aku sudah menghubunginya semalam. Aku ingin dia menjagamu di sekolah,” sahut David menjelaskan pada Diana yang bingung.Diana merasa sedikit terkejut mendengar perkataan David. Namun, ia tidak membantah. Ia mengambil tasnya dan melangkah ke ruang tamu, di mana seorang laki-laki dengan rambut hitam berdiri dengan ekspresi datar namun tenang.“Hai,” sapa Revan singkat.Diana menatapnya beberapa detik, merasa sedikit bers
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen