Suamiku Ternyata Pembunuh Ibuku
Ibu sakit parah dan harus dirawat di rumah sakit. Aku berlutut memohon pada tunanganku yang menjabat sebagai kepala dokter, agar dia yang menjadi dokter utama dalam operasi itu. Namun di luar ruang ICU, dia malah menangani lutut Isabel yang lecet dengan hati-hati.
Dalam keputusasaan, sahabat masa kecilku sekaligus direktur rumah sakit, Rayner, mendorong pintu ruang operasi dan menyerahkan sebuah surat pernikahan kepadaku.
"Menikahlah denganku, aku sendiri yang akan mengoperasi ibumu."
Dengan tangan gemetar, aku menandatangani namaku. Aku hanya berharap dia bisa menyelamatkan nyawa ibuku. Namun, ibu tetap pergi selamanya di malam hujan itu.
Rayner sendiri yang membantuku mengurus segala urusan setelah kematian ibuku. Pernikahan pun tetap berlangsung sesuai rencana.
Tujuh tahun kemudian, aku malah mendengar percakapannya dengan wakil direktur di ruang arsip rumah sakit. "Rayner, waktu itu kenapa kamu memindahkan organ mendiang ibu mertuamu ke tubuh ibunya Isabel saat operasi? Apa kamu nggak takut ketahuan?"
"Aku berutang pada Isabel."
"Andai saja dulu aku nggak ragu-ragu, Isabel juga nggak akan memilih pergi ke Afrika untuk menjadi relawan medis dan Bibi nggak akan jatuh sakit karena terlalu khawatir."