Share

Setelah Reuni

last update Last Updated: 2025-06-24 14:05:41

Gawat, kenapa aku lupa mematikan panggilan tadi? Ayu dengar apa tidak ya tadi? Jika dengar, dia pasti sangat sedih. Dia pasti merasa sangat hancur.

Hujan tak kunjung reda, aku makin tak bisa tidur. Harusnya makin lelap, tapi pikiranku selalu tertuju pada Ayu. Akhirnya, aku bangun lagi lalu meraih jaket hitam yang tersangkut pada gagang lemari.

Saat aku menuruni anak tangga, ternyata ada ibu di bawah. Beliau sedang membaca koran dengan kacamata bertengger di atas hidungnya.

"Mau ke mana, Al? Sudah malam begini," ucap ibu tiba-tiba. Padahal niatnya aku pergi lewat pintu samping. Malah ketahuan juga.

"Anu, Buk ... Ali mau ke rumah Ayu. Bagaimanapun juga, dia istri Ali. Butuh Ali juga." Aku membalas dengan gugup. Khawatir ibu melarang karena alasan sudah malam.

Kudengar ibu menghela napas panjang. Lalu meletakkan koran di atas meja lagi. Satu kakinya yang tadinya menopang, kini turun lalu berjalan menghampiriku. "Kamu enggak tau ini sudah malam?"

"Tapi, Buk ...."

"Hujan belum reda. Bahaya, Al!"

"Ayu sendirian di sana. Ibunya sudah enggak ada, Buk."

"Biarkan saja! Dia bukan anak kecil lagi. Dia sudah bisa jaga diri sendiri. Lagi pula, bagaimana jika terjadi apa-apa sama kamu? Hujan deras banget ini. Petir juga. Gimana kalau kejebak banjir nanti di tengah jalan? Siapa yang susah?"

Kalau ibu sudah bicara dengan nada seperti itu, jujur aku tidak berani lagi membantah. Sejak kecil aku diajari harus taat dengan orang tua. Meskipun sudah menikah juga. Sampai saat ini pun, aku lebih mengutamakan ibu daripada istriku sendiri.

Akhirnya, aku kembali lagi ke kamar dengan rasa kecewa. Sudah larut malam juga, ingin menelpon Ayu tapi takut dia sudah tidur dan malah mengganggu.

Keesokan harinya, aku sengaja bangun lebih awal. Mumpung ibu belum keluar kamar, aku langsung pergi tanpa pamitan. Kutancap gas, lalu melaju ke rumah Ayu. Terlihat jalanan masih sepi dan udara dingin menyeruak. Tapi, aku tidak peduli. Aku ingin segera bertemu dengan istriku.

Sesampainya di sana, kuketuk pintu rumah Ayu. Namun, terlihat suasana sepi dan tak ada yang menyahut. Aku memang berangkat setelah Subuh, sampai di sini sudah agak terang. Seharusnya Ayu sudah bangun seperti biasa, tapi kenapa seperti tidak ada orang rumah ini?

"Assalamualaikum, Ayu?"

"Yu, kamu di dalam?"

"Ayu!"

"Bukain pintunya, Yu. Kamu di dalam, kan?"

Aku menghela napas lelah. Sudah berulangkali pun, tetap saja tidak ada yang membuka pintu. Aku memutuskan untuk menunggu sejenak di teras rumahnya sambil menatap ke halaman rumah yang terlihat kotor karena dedaunan yang jatuh begitu banyak. Mungkin karena saking derasnya semalam.

"Nyari siapa, Mas?" Tiba-tiba ada tetangganya yang menyapaku.

"Anu, Pak, saya suaminya Ayu. Saya ketuk dari tadi tapi Ayu kayak enggak ada di rumah," jawabku pada pria tua yang tengah jalan pagi itu.

"Mungkin masih tidur, Mas. Sejak ibunya meninggal, Ayu memang jarang keluar. Biasanya kerja di toko depan sana," terang pria tua itu lagi.

"Iya saya tau. Tapi, sepertinya udah enggak kerja lagi. Apa dia pergi ya, Pak? Apakah enggak ada yang tau orang-orang di sini, Pak?"

"Wah, kalau itu sih enggak tau saya. Saya juga jarang liat dia sekarang. Sejak nikah kan Ayu tinggalnya enggak di sini lagi. Ya, sesekali aja ke sini."

Aku mengangguk membenarkan ucapan pria tua itu. Setelah putus asa, akhirnya aku kembali pulang. Banyak drama setelah sampai di rumah. Ibu yang langsung mengomel, kerjaan kantor yang menumpuk sampai mendapat teguran dari atasan.

Ah, kenapa rasanya beban hidupku makin bertambah saja? Ke mana kamu, Ayu? Apakah kamu sudah melupakanku?

***

Kesibukan di kantor membuatku harus lembur. Ada beberapa karyawan yang masih ada di kantor sepertiku karena lembur juga.

Saat tengah mengerjakan tugas dari atasan, tiba-tiba ada yang datang mengetuk pintu ruangan. Sontak, aku mendongak. Kukira rekan kerja yang masih ada di sini, langsung saja kuminta masuk.

"Masuk!"

"Hai, Mas."

"Dinda?" Aku langsung meletakkan bolpoinku.

"Aku datang untuk mengantar makan malam untukmu." Satu kotak makan dia sodorkan padaku.

"Kamu udah sembuh?"

"Sudah mendingan, Mas. Makanlah!"

Aku memang belum makan sejak siang. Kebetulan sekali ada yang mengantar makanan. "Makasih, ya."

"Iya, Mas. Oh ya, kata ibumu dalam waktu dekat, aku diminta tinggal di rumahmu, Mas."

Seketika itu aku tersedak. "Uhuk uhuk." Aku langsung meneguk sisa air putih dalam gelas di atas meja. "Apa? Ibu bilang begitu?"

"Iya. Karena katanya aku sendirian di rumah." Wanita berambut panjang dengan kontak lens di matanya itu menatapku sangat dalam.

"Tapi, kita bukan mahram. Tidak baik nanti kalau tinggal satu atap. Lagian, aku juga akan menjemput Ayu dan mengajaknya pulang ke rumah lagi."

"Ibumu sendiri yang bilang, Mas. Aku tidak bisa menolak. Ibumu tau bagaimana perasaanku sesaat setelah kehilangan."

"Ayu juga baru saja kehilangan ibunya. Sebagai suami, aku harus membuatnya tenang dan nyaman lagi. Tapi, untuk tinggal bersamamu, mungkin ibu saja. Kamu boleh menemani ibuku di rumah. Biar aku sama Ayu di rumahnya sana."

"Tapi, Mas ...."

"Insyaallah ini yang terbaik, Din."

"Kamu tega, Mas? Ibumu itu lebih utama daripada istrimu."

"Tapi lihatlah dengan kacamata persahabatan kalian! Kamu sama Ayu itu sudah berteman lama. Kamu juga tau kalau dia tidak habis pikir, ibuku menyuruh kita menikah dengan alasan kasihan."

Dinda langsung diam. Dia tidak lagi menatapku dengan kata-kata yang menekan agar aku mengikuti semua kemauan mereka.

"Jangan bilang hanya karena aku dan kamu pernah saling cinta, jadi mudah saja aku menyakiti istriku. Dinda, sesungguhnya aku tidak pernah lupa dengan peristiwa reuni itu. Sampai saat ini pun aku masih kecewa denganmu."

"Mas! Mas, aku bisa jelaskan semuanya. Aku melakukan itu karena aku cinta sama kamu."

"Cinta itu menjaga, Din. Bukan malah menjerumuskan ke dalam perbuatan maksi4t! Kalau kamu masih ingin menikah denganku, pikirkan baik-baik! Aku tidak bisa jamin akan berlaku adil karena aku mencinta Ayu dengan segenap hatiku."

Kuringkas berkas di meja lalu segera berdiri meninggalkan Dinda sendirian di sana. Dadaku panas rasanya teringat lagi dengan peristiwa itu. Di mana dia memaksaku untuk berhubungan di malam acara reuni setelah semua teman larut dalam setengah sadar akibat pengaruh minuman ker4s.

Untung saja Allah masih menyadarkanku. Jika tidak, mungkin aku sudah hancvr malam itu. Menod4i anak gadis orang. Aku menggeleng kepala karena merasa ngeri saat mengingatnya lagi.

Setelah ini aku harus pulang ke rumah Ayu dan meminta maaf padanya atas segala khilaf dan kesalahanku.

bersambung....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Pertama Mas Ali    Sebuah Kejujuran

    "Selamat, Pak, ibu Anda sudah mengalami kemajuan yang pesat." Seorang dokter menyalamiku saat aku baru saja datang ke rumah sakit malam itu. Sengaja kubiarkan ibu istirahat di rumah sakit karena saat di rumah, sepertinya ada yang aneh. Ibu pasti sering demam, drob kadang dan sampai aku pulang, tidak ada yang membawa ke rumah sakit atau merawat. Herannya lagi, Dinda seolah tak acuh. Apalagi pembantu yang hanya kerja parub waktu terkadang. "Alhamdulillah, Dok, terima kasih. Ibu saya sudah bisa apa saja, Dok? Maaf, saya terlalu sibuk di kantor. Ibu tidak ada yang jaga di rumah. Ada sebenarnya tapi, saya kurang percaya saja." Aku menunduk sedih mengingat semua itu. "Lebih baik, Bapak, sewa perawat saja untuk menjaga ibu Anda di rumah. Oh ya, ibu Anda sudah bisa sedikit lancar bicaranya. Saya sarankan untuk terus diterapi agar lebih cepat pulih," kata dokter itu lagi. "Insyaallah, Dok. Terima kasih banyak atas saran dan pertolongannya. Apakah, ibu sudah bisa saya bawa pulang?" "Bisa,

  • Cinta Pertama Mas Ali    Bertemu Lagi Denganmu

    Ayu? Kenapa dia ada di sini? Sepertinya dia tidak sakit. Tapi, siapa pria itu? Aku mencoba mengingat karena rasanya, seperti tidak asing dalam ingatanku. Ah, sekarang aku baru ingat, dia kan dokter yang merawat Ayu waktu itu. Apakah mereka sekarang makin dekat? Dadaku sakit melihat mereka mengobrol akrab. Aku masih tak rela Ayu dengan pria lain. Padahal kamu sudah resmi bercerai. Tapi, seharusnya Ayu di rumah saja. Kenapa dia kelayaban ke mana-mana? Ah, si4l! Aku baru ingat, dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi juga. Dia pasti kerja. Tapi, apa dia kerja dengan dokter itu? Kerja apa lagi dia? Astaga, rasanya aku tidak bisa mengendalikan diriku lagi ingin menghampiri mereka dan memarahi Ayu karena mereka terlalu dekat. "Al ...." Ibu mendongak, menatapku dengan lisan terbata-bata. "Iya, Buk. Kita masuk sekarang." Aku kembali mendorong ibu masuk ke dalam rumah sakit untuk terapi. Segala macam usaha sudah kulakukan agar ibu kembali sehat dan normal. Aku pun membawa ibu bertemu deng

  • Cinta Pertama Mas Ali    Bersamanya

    "Akhirnya kamu kembali ke sini tanpa mikirin lakimu itu lagi, Yu." Mita tertawa saat aku sudah kembali kerja di toko tempat pertama kali kami bertemu. "Bisa aja, Mit. Jangan gitu, ah! Enggak enak didengar orang nanti. Aku mau fokus kerja sekarang. Mumpung enggak ada beban lagi," balasku."Nah, bagus tuh. Tinggal gue yang cariin lu calon nanti. Tenang aja, Yu!" Dia tertawa terpingkal-pingkal. "Calon apaan dulu, nih? Calon pembeli, gas deh kalau gitu." Aku meliriknya lagi. "Calon suami, Bestie." Dia kembali tertawa dan seketika itu pemilik toko muncul dan melihat kami tengah bercanda. "Ayo-ayo, kerja! Malah gosip." Mang Ujang, pria sekitaran usia 40 an itu membuat kami terdiam seketika. "Iya-iya, Mang. Kami kan juga butuh asupan candaan, biar makin semangat kerjanya. Oh ya, Mang, hari ini pesanan kue sama roti banyak banget. Bagian dapur kayaknya lagi keteteran, tuh," terang Mita, aku tahu dia sebenarnya hanya ingin mengalihkan perhatian Mang Ujang saja agar kami tidak kena sindir

  • Cinta Pertama Mas Ali    Penyesalanku

    Mondar-mandir menunggu dokter keluar dari ruang periksa ibu rasanya sudah membuatku stres. Aku pergi hanya mengenakan kaus biasa dan celana panjang saja. Rasanya udara dingin di sini pun membuatku merasa meriang. "Mas, duduk dulu! Tenangkan dirimu! Ibu pasti baik-baik saja," ucap Dinda yang saat itu masih setia menemaniku. "Iya, Din. Makasih." Aku duduk seperti apa yang dia minta. Dia tersenyum melihatku sudah bisa tenang. Dan tak lama, dokter keluar dengan raut wajah yang tidak bisa dijelaskan. Aku sudah menduga bakal ada kabar buruk yang akan dikatakan oleh pria berjas putih itu. "Gimana keadaan ibu saya, Dok?" tanyaku setelah berdiri. "Maaf, Pak, saya sudah periksa. Tapi, belum bisa mengambil tindakan karena saya hanya dokter jaga dan bukan ahli bidan syaraf. Tapi, sedikit saya tau kalau ibu Anda mengalami ciri-ciri seperti terkena struk," terang dokter berjanggut panjang itu. "Ya Allah." Aku langsung lemas dan terduduk lagi. Disaat hati sedang tidak baik, pikiran kacau, jan

  • Cinta Pertama Mas Ali    Tuduhan Darimu

    "Ayu, kamu enggak apa-apa?" tanya Mas Ali setelah aku duduk di tepi ranj4ng yang sudah lama tidak kusentuh. "Seperti yang kau lihat saat ini, Mas." Aku menunduk setelah menjawab. Kepalaku kembali pusing. Aku segera menoleh ke belakang, menata bantal, lalu merebahkan diri di sana. "Istirahatlah, Sayang! Aku akan menjagamu," katanya lagi. "Enggak usah. Mas keluar aja, aku akan tidur sebentar." Akhirnya, dia keluar. Aku langsung memejamkan mata untuk menenangkan pikiran. Berusaha menerima takdir yang memang akan aku lalui. Akan aku jalani. Yaitu, menyaksikan suamiku menikah lagi sebentar lagi. Namun, aku tak bisa tidur juga. Pikiranku selalu saja tertuju pada Dinda. Sepertinya dia bahagia sekali sampai-sampai lupa kalau aku adalah istri Mas Ali, sabahatnya sendiri. Apa yang ada di dalam pikirannya sekarang? Karena tenggorokan terasa kering, aku bangun lagi. Tidak ada air putih di sini. Terpaksa harus keluar mencari sendiri. Badan yang baru sehari agak enakan ini kubuat jalan ke dap

  • Cinta Pertama Mas Ali    Perdebatan

    Aku langsung masuk ke dalam ruangan di mana Ayu dirawat. Dia terbaring lemas dengan cup oksigen terpasang. Padahal, tadi tidak pakai itu. Dadaku panas membara saat melihat di dalam sana, Ayu ditemani oleh dokter yang beberapa jam lalu memeriksanya itu. Seakan mereka terlihat sangat dekat. Membuatku makin kesal saja. "Maaf, apakah istri saya baik-baik saja?" tanyaku sambil menahan rasa cemburu. Dokter bercambang tipis itu berdiri dari kursi dekat ranjang Ayu, lalu berkata, "Dia drob lagi tadi. Dia harus istirahat. Silakan tunggu di luar saja! Biarkan dia tidur!" Aku tahu, dia pasti hanya alasan saja. "Tapi, kenapa Anda di sini?" "Saya kan dokter yang menangani dia. Siapa lagi kalau bukan saya? Dokter jaga juga tidak banyak malam-malam begini. Apakah Anda keberatan, saya memberikan penanganan?""Maaf, tapi saya rasa Anda terlalu jauh, Dokter. Dia istri saya, butuh saya dan bukan Anda. Kenapa Anda tadi seolah memaksanya untuk bercerita?" Aku tak tahan lagi. "Maaf, saya sebagai dokt

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status