공유

Part. 4

작가: Dwrite
last update 최신 업데이트: 2024-06-02 17:17:32

"Sejak kapan kamu begitu peduli pada Milah sampai menangis tersedu-sedu seperti itu?"

Kutolehkan kepala menatap Tuan Stevan yang munculnya udah macam tukang kreditan yang nagih akhir bulan. Bikin sawan.

Sembari menyeka jejak air mata yang tertinggal di pipi, aku bangkit dari posisi duduk dan berdiri di sisinya.

"Sejak awal aku memang sudah peduli padanya, Bang. Nyo-- eh Milah bisa dibilang satu-satunya temanku saat ini. Sikapnya yang seolah tanpa beban meski sering kau jadikan pelampiasan entah kenapa membuatku seolah mendapat penghiburan dari tekanan."

Entah setan apa yang merasukiku saat dengan lantangnya melontarkan kalimat itu. Mungkin karena terperangkap di tubuh Ibu Peri gaya bicara pun sesekali berubah macam baca puisi dengan penuh improvisasi.

Tapi, jujur. Untuk beberapa point, ucapanku mungkin bisa dibenarkan atau dipertanggung jawabkan. Kenapa? Karena sama seperti Rapunzel yang dikurung dalam kastil megah oleh sang penyihir jaha nam, Nyonya Intan pun bisa dibilang demikian.

Yang kutahu wanita malang itu hanya diizinkan keluar rumah paling sering dua kali dalam seminggu, itu pun Tuan Stevan yang ajak keluar atau diminta Tuan dan Nyonya besar yang tak lain orangtuanya untuk datang berkunjung ke rumah mereka.

Entah karena dia takut kehilangan, atau hal itu salah satu bentuk dari pengekangan. Percayalah, untuk beberapa situasi aku tak mengerti dengan pola pikir lelaki ini.

Bagaimana bisa dia tega menempatkan seorang istri dalam keadaan yang benar-benar tak berdaya.

Kalau saja aku yang ada di posisi Nyonya Intan, jangankan jatah harian, jatah mingguan saja tak negosiasikan.

"Apa saja yang kamu kamu katakan pada si Milah tentang kita, hah?" Seketika bulu romaku berdiri saat ia mulai melontarkan pertanyaan itu dengan nada dingin cenderung sinis.

"Nggak ada. Aku nggak pernah bilang apa-apa tentang urusan ranjang, eh maksudnya rumah tangga kita. Selama ini cuma Milah yang selalu ngoceh tentang beban hidupnya. Termasuk rasa kesel dia mempunyai majikan yang sempurna kelucnutannya kayak kamu, Bang! Saat itu aku cuma bisa ngakak sambil ngangguk-angguk setuju."

Aku hanya bisa terkekeh geli melihat air mukanya yang semula tegas dan dingin, berubah jengkel.

"Si Milah ... gadis kampung itu. Awas saja kalau dia sudah sadar." Gemeretak gigi Tuan Stevan kala menggerutu mengancamku.

Kagak mempan Tuan, ane udah kebal sama segala macam omelan dan sifat mengintimidasi situ.

"Kenapa kamu tertawa?" Dia menatapku sinis.

"Emangnya nggak boleh? Ketawa, kan nggak dilarang dan bukan termasuk pelanggaran."

"Oh, jadi selain membantah kamu juga udah pinter ngeles sekarang?" Dia berpangku tangan.

"Ya, begitulah." Kukedikkan bahu, tak acuh. "Eh, btw Kalau diliat-liat Milah manis juga, ya, Bang?"

Lelaki itu tampak memicingkan mata sambil memperhatikan tubuhku yang terbaring di brankar.

"Nggak."

"Sedikit pun?"

"Nggak."

"Secuil?"

"Nggak."

"Setitik?"

"Kamu ini kenapa, sih? Apa pandanganku tentang si Milah benar-benar penting bagimu?"

Woiya penting, dong. Setidaknya aku tahu kalau situ bencinya bagian mana, Tuan.

Lagian demen banget panggil orang pake embel-embel 'Si' berasa lagi ngusir dogi.

"Iya, iya, nggak akan nanya lagi aku. Gitu aja ngambek kamu." Kuulurkan tangan, lalu menjawil dagunya. Nyengir lebar.

Namun, bukan tatapan sayang yang didapatkan, roman-romannya aku bakal ditendang.

"Cukup! Ini sama sekali nggak lucu."

Deg!

Seketika aku tersentak saat ia tiba-tiba meraih tanganku dan mencengkeramnya kuat.

Nahkan.

"Kamu tahu, kan tak ada yang boleh menyentuh wajahku, selain dia!"

Idih, dipikir muka situ fosil, Tuan?

Sekalian aja ntu muka plastikin kalau nggak mau kegores.

Eh, bentar. Dia ... dia maksudnya sapa?

"Ya maaf." Seketika aku menarik diri, lalu menepis tangannya. "Gitu aja marah."

Hanya sepersekian detik sampai kulihat sorot matanya kembali berubah dingin.

"Aku tunggu di mobil. Kita pulang sekarang!"

Dia kenapa?

***

Sepanjang perjalanan pulang kami lewati dengan kebungkaman. Perkara colek dagu dikit saja berbuntut panjang. Padahal baru dagu, loh. Belum yang lain. Ketek misalnya.

Ya Allah, ini bahkan belum 1 x 24 jam tapi kenapa aku sudah tak tahan. Kembalikan jiwa kami, Tuhan ... sungguh aku tak sanggup menghadapi lelaki dengan sifat labil dan baperan.

Mon maaf Nyonya Intan, kayak sebelum dia bucin beneran aku udah nyerah duluan.

"Ngapain kamu berdiri di situ, pintunya mau dikunci. Awas!" Seketika aku terlonjak mendengar ucapan datarnya. Baru tersadar ternyata sejak tadi aku berdiri di ambang pintu.

"Eh."

"Ck." Sejenak dia berdecak, lalu menarik pergelangan tanganku untuk masuk ke dalam.

Dengan keadaan setengah linglung, aku menggaruk tengkuk dan berjalan ke kamar.

"Mau apa kamu ke sana?" Lagi-lagi ucapan Tuan Stevan menghentikan pergerakan langkahku.

"Ya tidurlah, masa ngepet!" sungutku sebal.

"KAMAR KITA DI ATAS, INTAN! NGAPAIN KAMU KE KAMAR SI MILAH?"

Lagi-lagi aku terlonjak dibuatnya.

Astagfirullah, Gusti ....

Sungguh aku benar-benar belum terbiasa dengan tubuh ini. Karena bukan hanya fisik yang berubah di sini, tapi juga keadaan, kepribadian, juga latar belakang.

Terlepas dari semua ini menguntungkan karena jiwaku terperangkap dalam tubuh dengan berjuta kelebihan. Sebuah tamparan menyadarkan bahwa selain kelebihan juga terdapat kekurangan.

Satu di antaranya yaitu suami sekaligus majikan tak punya perasaan.

Akhirnya tanpa berniat membantah aku berlari kecil mengekorinya yang berjalan cepat menuju kamar di lantai atas.

Lelah hayati, Bang.

***

"Kamu duluan, aku duluan, atau mau barengan?" Pertanyaan itu terlontar sesaat setelah kudaratkan bokong di atas sofa dan melepas mantel.

Seketika aku mendelik sembari mencebik. "Ogah, duluan aja sana! Lagian aku udah mandi ngapain mandi lagi, buang-buang aer."

Lagian kalau kita mandi barengan, bukannya cepet tapi malah nggak kelar-kelar entar.

Tuan Stevan tampak mengedikkan bahunya, lalu berlalu ke kamar mandi.

Lagian, kok bisa itu mood naik turun terus udah kayak harga emas? Sebentar-sebentar ngambekan, sebentar-sebentar ngajak baikan.

Apa jangan-jangan dia punya kelainan kepribadian? Au, ah.

Mengabaikan Tuan Stevan. Aku memilih untuk membunuh bosan sembari menunggu rasa kantuk menyerang. Kuputuskan untuk menyalakan TV dan mencari chanel luar negeri.

Meskipun aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Setidaknya setelah bertemu dengan Emak dan Bapak juga memastikan kondisi keduanya dalam keadaan baik sejak terakhir kali kami bertemu empat bulan lalu-- sejenak aku bisa benapas lega dan menikmati hari ini.

Merasa tak sia-sia walaupun harus menangguhkan masa depan dengan tinggal di rantau orang, dari hasil jerih payah dan keringat yang bercucuran ini penghasilanku bisa digunakan untuk meringankan beban perekonomian yang sempat menekan keluarga kami.

Setelah menit demi menit berlalu dengan memikirkan beban hidup, tanpa sadar mataku meredup, dan terasa kantuk.

Kuubah posisi dari bersandar, jadi meringkuk di atas sofa panjang berwarna hitam.

Sebelum kesadaran benar-benar terenggut, kusempatkan berdoa ... agar saat membuka mata esok hari, aku terbangun sebagai sosok Milah kembali.

Setidaknya ... walaupun terlahir sebagai orang susah, aku bahagia dengan hidup ini.

***

Secercah cahaya tampak mengintip dari lubang ventilasi di bagian depan ruang kamar. Seketika aku terbangun saat tiba-tiba dada terasa sesak seperti tertindih sesuatu.

Dengan mata yang masih memburam dan belum fokus, akhirnya kuedarkan pandangan dan tersadar bahwa sudah terbaring di atas ranjang.

Tepat ketika tubuh merasakan sebuah pergerakan yang tak seharusnya dari sosok di seberang ... kutolehkan pandangan, lalu terlonjak hingga refleks melayangkan tamparan.

Plak!

"Argh!"

Bisa kulihat Tuan Stevan mengusap wajah, lalu menatapku nyalang yang duduk bersandar di kepala ranjang. Kaget bukan main rasanya.

"Suruh siapa pegang-pegang! Saya memang pembantu, tapi masih punya harga diri, ya, Tuan."

Dia tampak menatapku tak percaya antara shock dan murka.

"KAU INI KENAPA? Cicak-cicak di kamar ini bahkan sudah tahu aku biasa melakukan--"

Plak!

Belum sempat Tuan Stevan menyelesaikan kalimatnya, aku sudah lebih dulu melayangkan tamparan kedua. Kali ini lebih keras dari yang sebelumnya.

"Tolong jaga sikap Anda kalau nggak mau saya laporkan ke komnas Ham!" ancamku berapi-api.

Bisa kulihat wajahnya benar-benar berang sekarang.

"Lelucon macam apa ini, Intan! Apa yang akan mereka katakan kalau kau melaporkan suamimu sendiri? Kau ini kenapa, sih? Kurasa kecelakaan itu bukan hanya membuat otakmu terbentur, tapi juga merenggut kewarasanmu!"

Kukerjapkan mata, pikiran kosomg seketika.

Jadi, aku masih terbangun dalam tubuh Nyonya Intan?

Argghh ... demi cintaku pada Babang Salman Khan, situasi menyebalkan apa lagi ini?!

Tolong kembalikan tubuh eksotisku!

Ternyata menjadi good looking tak selalu something apalagi semeriwing. Lama-lama mungkin aku bisa jadi orang sinting!

.

.

.

Bersambung.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요
댓글 (1)
goodnovel comment avatar
Nunu Nugraha nursyamsi
penulisnya emang suka bikin soal
댓글 모두 보기

최신 챕터

  • Hasrat Terpendam Majikanku   Part. 45

    Aku masih mengingat betul hari itu. Hari ketika hidupku berubah dalam sekejap. Intan, majikanku yang dulu kucemburui karena kehidupannya yang sempurna, tiba-tiba bertukar jiwa dengan seseorang sepertiku. Awalnya aku berpikir semua yang terjadi hanyalah sebuah mimpi, mana mungkin pembokat sepertiku bisa menjalani kehidupan sebagai seorang nyonya besar dengan suami setampan Tuan Stevan, ya walaupun kelakuannya rada-rada membagongkan. Seolah masih dalam ingatan saat dia kami berpisah persimpangan jalan. “Kita jalani apa yang sudah ditakdirkan Tuhan,” katanya. “Aku butuh kebebasan, Milah. Dan kamu butuh kesempatan.” Dan begitulah semua takdir kampret ini berjalan. Tak ada yang tahu tentang apa yang akan terjadi di waktu mendatang, saat Nyonya Intan yang menghuni tubuh ndesoku tiba-tiba hilang kabar dan aku yang kebingungan dengan tubuh ini yang tiba-tiba serapuh kerupuk kena aer. *** Pagi ini, aku duduk di ruang keluarga dengan segelas kopi di tangan, menatap daftar kegiatan yan

  • Hasrat Terpendam Majikanku   Part. 44

    "Udah dapet kabar tentang Milah? Kok akhir-akhir ini dia susah dihubungin, yak?" Aku bertanya pada Tuan Stevan yang baru saja masuk ke ruang kamar dengan segelas air putih di tangan. Lelaki itu menggeleng pelan, lalu meletakkan gelas tersebut di atas meja di hadapan, kemudian duduk di sampingku dalam sofa panjang berwarna hitam. "Belum. Terakhir dia menghubungi sekitar dua minggu lalu, mengatakan tentang rencana pernikahannya dan Saiful, juga memutuskan mengakhiri kontrak kerja kita." Aku tertegun. Bingung harus melakukan apa. Komunikasi dengan Nyonya Intan benar-benar terputus kini. Waktu semakin mengerucut, hanya tinggal hitungan minggu sampai waktu yang ditentukan. Aku tak menyangka ternyata seratus hari bisa terasa sesingkat ini, apalagi setelah dua minggu terakhir kuhabiskan hanya dengan berbaring di atas ranjang. Setelah tragedi pingsan di resto hari itu. Dokter datang tiap seminggu dua kali sepanjang dua pekan ini. Obat-obatan juga selang infus seolah menjadi konsumsi seha

  • Hasrat Terpendam Majikanku   PoV Intan : Masa Lalu Milah & Stevan

    Emak terdiam. Aku tak tahu apa yang beliau pikirkan saat ini. Tatapannya beralih ke arah lain."Oh, ya udah atuh." Emak meraih remote di atas meja yang kubeli sekitar dua minggu lalu satu set dengan kursi dan rak TV. "Tapi kamu udah pastiin undang mereka nanti, kan?" sambungnya kemudian." .... "Aku tak menjawab. Entah kenapa kalau bertemu dengan tubuhku lagi, aku takut jiwa kita tiba-tiba kembali tertukar di saat belum siap meninggalkan semuanya."Nanti Milah pikirkan lagi, ya, Mak."Bingung harus menjawab apa, aku memilih menghindar. Beranjak untuk masuk ke kamar. Namun, sebelum sempat aku bangkit dari kursi di samping Emak, sebuah cekalan tangan membuat langkahku tertahan."Mil ... kamu teh beneran nggak apa-apa? Dari hari ke hari, kok Emak khawatir. Perasaan kalau dilat-liat kamu makin beda. Mau dibilang kayak anak orang, tapi da kamu emang anak Emak sama Bapak."Aku terdiam. Jujur, bingung harus menjawab apa. Pertanyaan seperti ini sudah sering diajukan Emak, Bapak, Ahmad, bahka

  • Hasrat Terpendam Majikanku   PoV Intan : Tak Ingin Kembali

    "Neng, Milah! Hei, kok ngelamun?"Sebuah tepukan pelan, seketika menarikku dari lamunan masa lampau. Keping demi keping kenangan yang semula datang sekelebatan, tiba-tiba tersusun kembali menjadi satu ingatan yang utuh, hingga mengakibatkan nyeri di ulu hati.Perjalanan hidup selama dua puluh lima tahun yang sering kali orang anggap sebagai kesenangan dunia, nyatanya hanya bisa membuatku merana. Vonis mati yang sudah dokter tetapkan setelah seratus hari, seolah menambah nyeri sakit yang tak terperi.Pada akhirnya aku hanya bisa pasrah akan keadaan. Dan memilih mengembalikan semuanya pada takdir Tuhan.Di saat aku sudah mulai menyerah akan kehidupan yang kupikir berakhir tanpa tujuan, ternyata sekali lagi Tuhan beri aku kesempatan untuk bertahan. Kesempatan itu datang kala aku meminta suatu kemustahilan dari sisa-sisa harapan setelah krisis kepercayaan. Akhirnya permintaan itu terlontar tanpa sadar di hadapan gadis remaja yang menurutku bisa memandang dunia dari sudut yang berbeda. Si

  • Hasrat Terpendam Majikanku   PoV Intan : Vonis Dokter

    "Kenapa kamu nggak mau kemo?"Berlian bertanya saat kami memulai perjalanan menuju perusahaan Papa yang letaknya tak jauh dari restoran Mama. Jadi, bisa disimpulkan mereka akan ada di satu tempat yang sama saat makan siang seperti ini."Kemo walaupun akurasi kesembuhannya tinggi tapi hal itu menyebabkan beberapa perubahan pada fisikku, Lian. Sekali lagi, sebenarnya aku nggak ingin kalian tahu tentang penyakitku."Berlian terdiam. Sembari memperhatikan jalan di depan sesekali tatapannya beralih padaku."Apa ada cara pengobatan lain?"Kualihkan pandangan ke luar jendela. Menatap hiruk-pikuk kota dengan segala kepadatannya."Ada. Operasi transplantasi sumsum tulang belakang.""Ya, terus kenapa nggak dilakuin?" tanyanya lagi."Selain biayanya milyaran, sangat sulit untuk menemukan jenis pasangan sumsum yang cocok. Mungkin semua akan lebih mudah bila penderita punya kembar--" Sontak aku terdiam ketika mengatakan kalimat itu dengan tanpa sadar.Berlian terbungkam, begitu pun denganku. Beber

  • Hasrat Terpendam Majikanku   PoV Intan : Awal Semuanya

    Setiap orang bisa memilih seperti apa jalan hidupnya. Tapi, jelas tak ada yang bisa memilih seperti apa dan di mana ia ingin dilahirkan.Berlian dan aku lahir dalam keluarga berada dengan kedua orangtua yang sama-sama pengusaha. Sampai saat ini Papa masih sibuk mengurus bisnis Tour and Travel di bidang Biro Perjalanan Wisata (BPW) sementara Mama sibuk dengan bisnis kulinernya.Sejak kecil kami memang sudah biasa ditinggalkan bersama baby sitter maupun asisten rumah tangga. Tanpa pengawasan orangtua akhirnya kami tumbuh dengan pola pikir yang jauh berbeda. Gelimang harta yang sudah dijejali sedari balita, tak lantas membuat kami puas menikmati dunia. Ada beberapa saat di mana kami juga membutuhkan kasih sayang dari mereka sebagai keluarga.Hal itulah yang memicu pemberontakan kami dalam menanggapi cara pengasuhan mereka. Berlian tumbuh menjadi anak yang pembangkang dengan penampilan yang bisa dibilang sederhana, bebas, bahkan terkesan berantakan. Saudara kembaraku itu bahkan menghambur

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status