“Astaga!!” Santi segera menutupi tubuhnya dengan selimut karena menyadari tatapan Bima yang begitu melekat padanya.
“Apa dia sengaja membuatku ingin memakannya lagi??” batin Bima sambil mengalihkan pandangannya pada tempat lain. “A-aku mandi dulu, Pak!” Santi melilitkan selimut tersebut pada tubuhnya dan bergegas menuju kamar mandi. “Ya udah sana!” Bima tak melihat kemana Santi pergi karena hanya akan membangkitkan sesuatu dibawah sana. Susah payah dia menahan diri untuk tidak memakan gadis polos itu. Bagaimanapun juga, dia tak mau sembarangan melakukan sesuatu. Dia berniat mencari tahu lebih dalam dulu soal Santi sebelum benar-benar memberikan pengalaman pertamanya pada Santi. “Ahh … sial!! Kenapa aku malah jadi berpikir dia adalah penjahatnya di sini? Aku seperti seseorang yang akan diambil paksa kesuciannya oleh gadis sialan itu!! Pakai ilmu apa sih dia?” gerutu Bima seekan menyesali sikap berbedanya pada Santi. Tak berselang lama, Aldo datang dengan membawakan baju sesuai pesanan bosnya. Terdapat tiga baju pilihan yang dibawa, dengan warna yang natural karena menyesuaikan dengan kepolosan Santi. “Semua udah siap di bawah,” kata Aldo. “Ya, baiklah. Sebentar lagi aku akan segera turun. Dia sedang mandi sekarang,” ujar Bima. “Pak Bimm-“ tiba-tiba saja Santi keluar kamar mandi hanya dengan menggunakan handuk kecil yang menutup tubuhnya. “Na … ahhh!!” imbuhnya terbata karena menyadari keberadaan Aldo. Bima secara spontan menutup mata Aldo agar tidak melihat tubuh Santi yang hanya berbalut handuk. Sementara Santi langsung kembali masuk ke kamar mandi karena malu. “Kamu keluar sekarang!” perintah Bima. “Baiklah.” Aldo menuju pintu dan sebelum membuka pintu, dia menoleh ke arah Bima sambil tersenyum. “Kamu tenang aja, aku hanya melihatnya sedikit saja, kok!!” Bima langsung mengambil bantal dan melemparnya ke Aldo yang sudah mengambil kesempatan dalam kesempitan! “Pergi sana, sialan!!” umpat Bima. Aldo terkekeh geli sambil menangkis bantal yang tertuju padanya itu. Segera ditutupnya pintu kamar hotel tersebut sebelum meninggalkan Bima yang kesal. “Pak Aldo udah pergi, Pak??” tanya Santi dari dalam kamar mandi dengan setengah berteriak. Harus menyakinkan sudah tidak ada orang lagi selain bosnya. Dengan langkah cepat, Bima membuka paksa pintu kamar mandi yang ditahan oleh Santi dari dalam. “Kamu ngapain pakai acara keluar segala, sih? Emangnya nggak denger ada suara Aldo tadi??” tanya Bima kesal. “Nggak denger, Pak. Maaf!” “Trus kamu mau ngapain keluar nyari aku??” tanya Bima. “Anu, Pak, aku, aku bingung mau ngisi air di bak besar itu gimana caranya …” ucap Santi lirih, karena merasa malu. Bima sampai dibuat terperangah oleh ucapan Santi yang benar-benar polos itu. Dia lupa kalau sekretaris barunya itu datang dari kampung. Dan sepertinya dia memang harus segera mencari tahu apakah kampung Santi itu masuk ke dalam kawasan pedalaman atau bukan. Bisa-bisanya dia tidak tahu cara menggunakan peralatan mandi. “Ini namanya bathup, bukan bak mandi. Dan kamu kalau mau berendam, tinggal nyalakan airnya dari sebelah sini. Kalau yang ini buat air hangatnya, terus kamu bisa pakai sabun aromatherapy juga. Kalau cuma mau mandi cepet, pakai shower ini aja. Mandi kayak biasanya, tinggal tekan kran airnya di sebelah sini.” “Nggak ada gayung aja gitu, Pak??” tanya Santi polos. “Astagaaaaa!!! Santiiiiiiiiii!! Apa aku harus briefing kamu dulu hanya untuk urusan mandi??” tanya Bima geram. Santi hanya tersenyum sambil menggaruk tengkuknya salah tingkah. Melihat tingkah Santi yang seperti itu mau tak mau Bima yang menyiapkan air mandi untuk Santi. Bathup diisinya dengan air hangat hingga separuhnya. Kemudian diberikan sabun dengan busa yang melimpah. Dalam hati dia ngedumel, bisa-bisanya seorang CEO sepertinya menyiapkan air untuk mandi bawahannya. Bukankah seharusnya CEO yang dilayani oleh sekretarisnya? “Udah, kamu berendam aja dulu di sini. Pastikan daki-daki yang ada di tubuhmu rontok.” “Makasih ya, Pak.” Santi memasukkan kakinya ke dalam bath up dengan perlahan sambil melepas handuknya. Bima sempat melihat wajah Santi yang berbinar saat duduk di dalam bath up dan tubuhnya terendam air busa. “Apa sereceh itu kebahagiaannya??” batin Bima sambil berjalan keluar kamar mandi. Dia tak mau terpancing dengan melihat aktivitas Santi di sana. Sambil menunggu Santi selesai, dia membuka ponselnya dan mengecek email yang masuk. Dia masih sempat memikirkan pekerjaan di saat yang bagaimanapun juga. Untuk urusan kerja dia memang sangat bisa diandalkan. Tak terasa sudah hampir satu jam Bima mengecek laporan yang diterima, namun tak ada tanda-tanda dari Santi akan selesai juga. Dengan langkah pasti, dia menuju ke kamar mandi dan memanggil Santi berulang kali dari luar. Namun, tak ada jawaban sama sekali. “Jangan-jangan dia pingsan di dalam??” batinnya. Begitu dibuka, ternyata Santi sedang mencuci handuk yang dipakainya tadi dalam bath up. “Kamu malah ngapain sih, Santiiiiiiiiii???” “Ahhh … Pak Bima ngapain masuk?? Aku tadi mau udahan, tapi handuk yang ku pakai basah. Ya udah sekalian aku cuci aja mumpung busanya juga masih banyak,” terang Santi dengan ucapan polos lagi. Bima menutup wajahnya dengan kedua tangannya tak habis pikir. Bisa-bisanya ada orang sebodoh itu dipekerjakannya. “Sudah biarkan saja handuknya disitu, nanti biar dibereskan oleh petugas hotelnya. Pakai handuk ini!” ucap Bima seraya melemparkan handuk pada Santi. Santi pun menurut dan mengikuti langkah Bima yang langsung memberinya beberapa pilihan baju. Dipilihnya satu baju yang dirasa nyaman dipakai. Dia memilih dress dengan panjang di bawah lutut namun bahunya sedikit terbuka. “Pak, punya syal nggak??” “Buat apa?” “Aku agak risih dengan ini,” kata Santi seraya menunjukkan bahunya yang terekspos. Tapi, Bima malah memasangkan kalung di leher Santi sehingga mempercantik penampilannya. “Kamu udah tampil sempurna dengan ini." "Ini dalam rangka apa ya, Pak? Kenapa aku dibelikan baju dan kalung sebagus ini?" "Ini hari libur, dan aku ingin pergi ke rumahmu." "Apa Pak? Ke rumahku? Bapak mau ngelamar aku??" tanya Santi polos. "Heh!! Sembarangan aja kalau ngomong!! Ngapain juga aku ngelamar kamu? Aku mau lihat kondisi keluargamu di kampung. Bukankah kamu bilang keluargamu hidup pas-pasan? Dan kamu ingin membantu orang tuamu membayar sekolah adik-adikmu?" "Ohhh, maaf kalau gitu. Aku pikir Bapak ngajak ke rumahku karena mau melamar seperti di drama Korea yang sering muncul di televisi. Kan ada tuh ceritanya, sang CEO jatuh cinta pada sekretarisnya. Lalu menikah dan hidup bahagia." "Santiiiiiiiiii!!! Kamu ini terlalu banyak nonton drama. Sekarang itu kamu sedang di dunia nyata, jadi hentikan halusinasimu itu!!" omel Bima. "Iya, Pak!! Maaf!!" "Gadis ini polos tapi nyalinya besar juga," batin Bima tak habis pikir. "Jadi sekarang kita berangkat?" tanya Santi. Bima menganggukan kepalanya dan berjalan mendahului Santi. Keduanya pun keluar kamar untuk menuju ke basement hotel. Di sana sudah ada Aldo yang menunggu mereka. "Langsung berangkat!" perintah Bima. "Siap, Bos!!" jawab Aldo sambil cengengesan. Bima tahu betul kalau Aldo sedang meledeknya saat ini. Aldo memang terlalu mengenal bagaimana watak Bima. Mereka sudah menjalin persahabatan sejak bangku sekolah, jadi dia tahu kapan Bima merasa kesal atau tidak. Tapi, Bima tak mau ambil pusing dengan kelakuan Aldo. Yang ada dipikirannya sekarang hanyalah mengetahui dengan benar seluk-beluk dari sekretaris polosnya itu. Perjalanan menuju kesana membutuhkan waktu lebih dari dua jam. Santi sampai tertidur di bahu Bima sepanjang perjalanan. Sesekali Aldo hanya melihat dari spion mobil untuk memperhatikan gelagat Bima. Dia sedikit heran ketika mengetahui Bima tidak keberatan dengan kelakuan Santi. Biasanya, Bima akan marah-marah jika ada wanita yang sembarangan dekat-dekat dengannya. Tapi, sepertinya Santi memang spesial daripada yang lain. Malam ini saja merupakan malam bersejarah bagi CEO mesum tersebut. Ini adalah kali pertama baginya menginap di hotel bersama seorang wanita. Dia tidak pernah melakukan hal tersebut sebelumnya. Kalaupun sampai check in di hotel, biasanya hanya untuk menyalurkan hasratnya saja. Tapi, dengan Santi berbeda. Dia sampai rela menginap satu malam bersamanya. "Bos … ini jalannya bener-bener lewat sini?" tanya Aldo. "Kamu kan bisa lihat di peta." "Iya, bisa. Tapi kok jalanannya kayak gini, sih? Kamu nggak lihat sampai ke depan sana, jalannya belum diaspal?" tanya Aldo. Bima melihat ke arah depan dan sedikit terkejut karena memang di depannya adalah hamparan sawah yang begitu luas. Mereka kini berada di jalan tengah-tengah sawah yang sepi. "Lebih baik kamu bangunkan gadis polos itu daripada kita tersesat di jalan!" "Tapi …" "Hahahaha … kenapa? Apa kamu mulai merasa tidak tega membangunkannya? Sepertinya kamu sudah mulai jatuh cinta pada gadis itu!!" "Santi!!! Bangun kamu!!" Bima langsung membangunkannya ketika mendengar sindiran dari Aldo. Dia tidak terima jika dikatakan telah jatuh cinta pada gadis polos itu. Sementara Aldo terkekeh geli melihat tingkah Bima yang salah tingkah itu. "Loh … kita udah sampai sini?" tanya Santi sambil mengucek-ucek kedua matanya. "Iya. Lagian kamu bisa-bisanya malah tidur di dalam mobil." "Maaf, Pak! Habisnya mobil ini nyaman banget bikin ngantuk!!" kata Santi jujur. Bima menghela nafas panjang karena laki-laki harus mendengar keluguan Santi. "Kita bener lewat jalan ini?" tanya Aldo. "Iya bener, kok! Sebentar lagi nyampe rumahku," katanya. "Oke!!" Namun, hingga lebih dari sepuluh menit, jalanan yang melewati persawahan itu tak kunjung menemukan ujungnya. "Kamu beneran nggak sih, San? Perasaan dari tadi nggak nyampe-nyampe!!" "Bener kok, Pak? Ngapain juga aku bohong!!" "Terus kenapa nggak sampai-sampai juga dari tadi!!" keluh Bima. Tiba-tiba, saja mobil yang mereka tumpangi bergoyang. Ada sesuatu yang menabrak dari belakang. Bahkan tak tanggung-tanggung mobil tersebut nyaris masuk ke sawah akibat tabrakan itu. "Apa itu??!!!" pekik Bima takut melihat ke arah belakang.Santi memijit pelipisnya saking kesalnya dengan tingkah dua lelaki hebat di sampingnya. Ada rasa senang tapi juga sedih, karena kebebasannya terenggut secara tidak masuk akal.***Bulan demi bulan terlewati dengan berbagai macam aturan yang diberikan oleh Adam dan juga Bima. Namun ketika kehamilan Santi sudah memasuki bulan ketujuh, Santi mulai mengutarakan keresahan dalam hatinya."Pa, Mas … Aku ingin pergi ke mall untuk membeli keperluan bayi ini, ya. Udah lama aku nggak jalan-jalan keluar," pinta Santi di sela sarapan pagi mereka."Emangnya kamu mau beli apa? Biar aku aja yang beli kamu tinggal sebutin aja mau apa," jawab Bima."Iya, bener!" timpal Adam. Santi memasang wajah memelas sambil mengelus perut buncitnya. "Kalau nanti kamu lahirnya ileran, salahin aja Opa dan juga papa kamu ya, Nak!"Adam dan Bima langsung bergidik ngeri. Mereka tak menyangka Santi akan berkata demikian. Biasanya Santi akan menurut saja pada apa yang dikatakan oleh mereka."Kamu jangan kayak gitu dong, S
"Kamu kenapa sih, Sayang?" keluh Bima.Santi malah sibuk menutup hidungnya dengan selimut dan mengibaskan tangannya agar Bima menjauh darinya. Mencium aroma sabun di tubuh Bima membuat Santi merasa mual."Jangan deket-deket, Mas! Aku nggak suka bau sabunnya!" kata Santi."Bukannya ini bau sabun favorit kamu, ya? Kenapa mendadak jadi nggak suka?" tanya Bima.Santi ingin menjawab tapi perutnya seperti diaduk-aduk. Dia bergegas menuju ke kamar mandi berusaha mengeluarkan isi perutnya namun tak ada yang keluar sama sekali.Matanya sampai berair karena mencoba memuntahkan isi perutnya. Kepalanya terasa sedikit berat dan matanya berkunang-kunang."Kamu ikut aku sekarang!" kata Bima seraya menarik tangan Santi keluar dari kamar mandi."Mau kemana, Mas? Aku belum mandi!" Santi mencoba menolak namun tenaga Bima tentu saja lebih kuat."Udah, ikut aja!" seru Bima. Dia memberikan syal pada istrinya untuk menutup hidungnya agar tak mencium aroma sabun di tubuhnya.Adam yang baru saja selesai lari
"Kenapa gitu, San? Bentar lagi juga mateng kok!" kata Bima masih sambil mengaduk telur dalam wajan.Santi menghela nafas panjang sambil menyalakan kompor. "Mau sampai besok pagi juga nggak bakal mateng kalau kompornya belum dinyalain, Mas!" Bima garuk-garuk kepala sambil cengar cengir tak jelas. Dia mengalihkan pandangannya ke dalam wajan dan bertanya pada San, "Apa caraku memasak juga salah?""Nggak kok, Mas. Cuma mungkin ada cara yang lebih bagus lagi dari pada buang-buang minyak goreng," kata Santi seraya mengambil alih alat masak yang dipegang oleh Bima."Biar aku aja, Santi. Kamu kan lagi sakit juga," kata Bima."Nggak usah, biar aku aja. Kamu sama papa tunggu aja sambil nonton televisi," ucap Santi sambil mengurangi minyak goreng di wajan.Adam menarik Bima agar segera menjauh dari sana. Bagaimanapun juga memang lebih baik jika Bima menjauh dari dapur sebelum meledakkan dapur di rumah itu.Keduanya pun menuju ke ruang tengah sambil menonton televisi. Sesekali mereka bercengkrama
"Ada apa dengannya?" tanya Adam tak kalah panik."Aku juga nggak tahu, Pa. Tadi dia masih baik-baik aja!" ujar Bima sambil menggendong tubuh istrinya masuk ke kamarnya."Kamu juga, sih! Kenapa kurang memperhatikan kondisi istrimu! Dia pasti kelelahan karena belakangan ini selalu sibuk mengurus kita berdua!" cecar Adam sambil berjalan mengikuti anaknya di belakang."Papa nggak usah bawel, deh! Mendingan sekarang bantuin aku buat nelpon dokter agar segera kesini buat memeriksa kondisi istriku!" kata Bima.Beberapa kali mendapati Santi dalam kondisi yang buruk membuat Bima merasa benar-benar gagal menjadi suami yang baik. Apalagi Santi juga yang berapa kali malah melindunginya dari serangan musuh.Dalam hati Bima merutuki kebodohannya yang tidak bisa menjaga istrinya dengan baik. Kalau boleh memilih tentu saja Bima tidak ingin berada di posisi seperti kemarin.Bima pun ingin mempunyai keluarga yang harmonis dan bahagia seperti orang kebanyakan. Bukan malah penuh dengan darah dan juga den
"Sepertinya aku kedatangan tamu istimewa! Selamat datang!" Ucap Rizwan berusaha tetap tenang. Dia tak mau terlibat gugup di depan semuanya."Aku nggak mau basa-basi di sini. Yang aku tahu kamu udah menyuruh orang untuk melenyapkan Septa!" kata Santi."Hahahaha … sayang! Bukankah kamu sudah menyetujui permintaan Papa untuk menikah denganku? Kenapa sekarang kamu malah menuduhku melakukan hal itu?" tanya Rizwan. "Lagi pula kalau bukan karena Septa berkhianat, pasti papa aku juga nggak akan pergi meninggalkanku sendiri!" imbuh Rizwan."Aku tahu kamu sedih kehilangan papamu, tapi percayalah itu sudah kemauannya. Dia sendiri yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya," kata Santi mencoba berdamai dengan Rizwan."Sayangnya aku nggak bisa percaya begitu saja," Rizwan berjalan mendekat secara perlahan.Santi tetap waspada dengan segala gerak gerik Rizwan. Dia melihat ada senjata di saku samping Rizwan dan bisa diperkirakan itu adalah pistol."Kami mempunyai rekaman CCTV yang membuktikan bahwa p
"Apa sudah ada informasi siapa dalang dibalik semua ini?" tanya Bima."Semuanya tersusun rapi seperti sudah direncanakan jauh hari sebelumnya. Bahkan mereka tahu seluk-beluk perusahaan ini sampai bisa melumpuhkan Septa begitu saja." Aldo merasa dirinya sudah gagal."Pasti ada kerjasama dengan orang dalam. Kamu pastikan untuk mencari Siapa yang terlibat dengan semua ini!" kata Bima kemudian.Aldo mengangguk setuju. Dia pun mengirim pesan pada orang kepercayaannya untuk mencari tahu siapa yang berani berkhianat pada Bima."Sekarang kita ikuti kemana perginya mereka," kata Bima.Dalam mobil Bima sudah terpasang GPS sehingga bisa melacak keberadaan istrinya. Namun, Bima punya pikiran lain. Lawannya bukan orang yang sembarang bergerak. Terbukti dia menyusun rencana tersebut dengan rapi.Orang itu tidak mungkin dengan sengaja membawa mobil pribadi miliknya untuk menculik Santi pergi jika tanpa satu alasan. Orang itu pasti mempunyai rencana tersendiri untuk menjebaknya."Siapkan orang-orang