Truk menabrak sangat keras dan menggulingkan mobil putih Stephen hingga terseret berpuluh-puluh meter. Kendaraan sekitar yang berhasil membanting setir tak urung berhenti. Seketika, lalu lintas kendaraan di jalan itu pun lumpuh.
"Dad!! Daddy!!!"
Acasha lari tunggang-langgang menuju mobil Stephen yang sudah ringsek. Pecahan kaca berceceran di sepanjang aspal yang dilaluinya. Hampir semua sisi mobil berlekuk sangat parah. Cairan kental merah darah pun mulai mengalir dan menggenang bercampur dengan cairan bensin di bawah mobil yang terbalik.
"Dad!! Dad!! Aku akan menyelamatkanmu! Dad!! Bertahanlah!!"
Derai kesedihan membanjiri pipi Acasha. Dengan sekuat tenaga ia terus berusaha membuka pintu mobil yang terkunci demi menyelamatkan Stephen Ignatius, sang ayah tersayang.
"Nona! Pergi dari sana!"
"Hey, seseorang! Tolong bawa gadis itu pergi!"
"Berbahaya, Nak! Kau harus menjauh!"
Suara orang-orang gaduh yang terus mengganggu konsentrasi. Suara orang-orang yang hanya bisa berteriak tanpa bertindak. Tak sekali pun menyurutkan niat Acasha untuk terus memperjuangkan kehidupan orang terkasih. Bahkan, salju pertama yang turun di awal musim dingin pun luput dari perhatian Acasha.
"Dad ... bertahanlah," lirih Acasha di sela tangisnya.
Setengah frustasi, ia pecahkan kaca yang tersisa di jendela dengan potongan bagian mobil yang berserak.
"A-ca-sha ... per-gi ...," desah Stephen setengah sadar, suaranya sangat lemah, tubuh dan wajahnya bersimbah darah. Posisi tubuhnya terbalik dengan sabuk pengaman yang masih melekat kuat.
"Tidak, Dad! Dad harus ... harus selamat. Dad ... tidak boleh meninggalkanku!"
Terus berurai air mata, Acasha mengulurkan tangan ke arah Stephen.
"Dad, lepaskan sabuknya dan raih tanganku."
"Per-gi ...."
Percikan api mulai timbul dan saat itulah seorang pria menarik tubuh Acasha menjauh dari mobil yang tak bisa lagi diselamatkan.
Sedetik kemudian, ledakan dahsyat akibat kebocoran saluran bahan bakar pun menyulut habis mobil beserta Stephen di dalamnya.
"TIDAK!! DAD!! TIDAK!!!"
Acasha terus menangis histeris dan berteriak memanggil-manggil sang ayah. Tubuhnya terus meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pria yang terus menahannya berlari mendekati kobaran api di mana mobil Stephen berada. Membuat pilu hati orang-orang yang melihat dan berusaha menenangkan gadis cantik itu.
Genangan kepedihan semakin menumpuk, begitu menyakitkan, mengaburkan, dan menghilangkan kesadaran. Membawa luka dan duka yang teramat dalam di awal musim dingin.
***
Sudah hampir seminggu Acasha mengurung diri di dalam kamar. Kamar bernuansa pastel yang semula hangat, kini terasa dingin. Pintu dan jendela balkon dibiarkan terbuka begitu saja hingga tak jarang butiran salju yang tertiup angin pun terbawa masuk dan membasahi karpet. Acasha pun tidak merasa terganggu dengan hawa dingin yang merasuk hingga ke tulang.
Kamar yang semula selalu bersih dan tertata rapi, kini porak-poranda. Bantal, guling, selimut, buku-buku, dan barang-barang lain bertebaran di atas lantai. Tak ada rasa risih sedikit pun bagi Acasha yang terbiasa dengan segala kesempurnaan tata ruang yang selama ini dianutnya.
Bunga mawar yang semula senantiasa segar, kini telah layu dah kehilangan harumnya. Bahkan air dalam vas pun keruh karena tidak pernah diganti. Padahal, tak pernah sekali pun Acasha tega membiarkan bunga mawar favoritnya tergenang di air yang sama setiap hari berganti.
Gurat kemasygulan terus bergelayut dan menenggelamkan Acasha pada lubang duka yang teramat dalam. Tanpa pernah lagi mengurus diri, tanpa pernah lagi mencintai diri. Kepergian Stephen di depan matanya membuat semesta kebahagiaan Acasha runtuh seketika.
Tak ada lagi ayah yang memanggil namanya, tak ada lagi ayah yang perhatian padanya, tak ada lagi ayah yang selalu mendukungnya, tak ada lagi ayah yang selalu menjadi tempat keluh kesahnya, dan tak ada lagi ayah yang sangat tulus menyayanginya. Hanya ada dirinya. Acasha Ignatius seorang.
Tapi, bukankah Acasha masih punya ibu dan saudari? Memang benar. Namun, tak pernah sekali pun mereka menyukai ataupun menyayangi Acasha. Mereka tak pernah peduli pada Acasha. Mereka membencinya. Apa pun yang selama ini Acasha lakukan adalah kesalahan, termasuk salah satunya ialah bernapas.
“PEMBUNUH! Pergi dari rumahku! Seharusnya kau saja yang mati! Bukan suamiku!!”
“DASAR CEWEK PUCAT EGOIS! Kau pikir, hidupmu lebih berarti daripada hidup Daddy-ku, hah?!”
“ANAK TIDAK TAHU DIUNTUNG! TIDAK TAHU TERIMA KASIH! KAU PANTAS MATI!”
“PENYIHIR PUTIH SERAKAH! Belum puas kau rebut perhatian Dad dariku, sekarang kau renggut nyawanya juga!!”
Hinaan, umpatan, makian, dan sumpah serapah. Semua sudah biasa diterima Acasha sejak kecil. Tapi, itu semua bukan masalah besar bagi gadis albino itu. Semua berkat kasih sayang yang luar biasa dari ayah.
Dulu, ada ayah yang selalu menjadi tempat bersandar dan sumber kekuatan untuk bertahan, ada ayah yang selalu memberi semangat dan harapan. Namun, sekarang ayah sudah pergi jauh dan tidak akan pernah kembali. Meninggalkan Acasha bersama ibu dan saudari yang tidak kenal lelah mencurahkan kedengkian.
Acasha menikmati setiap kenangan yang tersisa bersama mendiang Stephen semasa hidupnya. Termasuk gaun satin, hadiah terakhir yang diberikan ayah di hari kelulusannya.
Meskipun kebahagiaannya sempat dirusak oleh Gretta, tapi dia masih punya gaun ini. Tak peduli seperti apa rupanya, tak peduli pantas ataupun tidak. Acasha terus mengenakan gaun satin itu setiap waktu sambil meringkuk di sudut kamar, memeluk potret dirinya bersama mendiang sang ayah.
***
Ting tong. Ting tong.
Suara bel pintu berbunyi. Namun, selang sepuluh detik, tidak seorang pun terlihat membukakan pintu.
Ting tong. Ting tong.
Bel berbunyi lagi. Derap langkah cepat terdengar menuruni anak tangga, menuju pintu yang menunggu untuk segera dibuka.
"Siapa, sih, yang datang malam-malam begini?" gerutu Gretta, menarik kenop pintu dengan kesal.
“Selamat malam. Benarkah ini rumah Nyonya Ignatius?” sapa pria berwajah tampan, berdada bidang, dan tinggi menjulang.
Rambutnya hitam dengan ombre abu-abu di setiap ujungnya, hidungnya mancung, matanya gelap kemerahan, alisnya menukik tajam, senyumnya sungguh menawan.
Gretta terpana menatap pria di hadapannya hingga beberapa lama. Sampai-sampai tak menyadari bahwa ranumnya sedikit terbuka.
Sang pria tampan menaikkan sebelah alis sambil tersenyum. "Mungkinkah saya salah alamat?"
Seketika Gretta tersadar dan langsung berkedip cepat. "O-oh. Eum, ya. Benar. Ada perlu apa, ya?" sahut Gretta tergagap, salah tingkah.
"Bolehkah saya masuk?"
"Tentu. Tentu."
Pria tampan itu tersenyum dan duduk dengan sopan di salah satu sofa berbahan kulit sintetis bernuansa hijau di ruang tamu. Sedetik kemudian, ia menatap Gretta yang masih terpaku di tumpuannya.
"Oh, silakan tunggu sebentar. Saya akan segera kembali," gugup Gretta, menunjuk-nunjuk ke arah samping. Ia pun bergegas menemui ibunya.
Tak berapa lama, Varra muncul menemui pria tampan itu. Mereka duduk berseberangan dengan perasaan canggung, sedangkan Gretta mengintip di balik dinding pembatas ruangan.
"Maaf. Sebelumnya, Anda siapa? Ada kepentingan apa Anda ingin bertemu saya?" tanya Varra, menelisik setiap sudut ketampanan pria di hadapannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tanpa sadar, ia pun menelan saliva.
"Perkenalkan, saya adalah utusan Tuan Orion Remo yang dikirim kemari untuk melamar putri Anda, Nyonya," ucap sang pria tampan menunduk hormat, tangan kanannya menyilang di depan dada.
Sontak Varra dan Gretta terperanjat mendengar ucapan sang pria tampan. Gretta yang bersembunyi di balik dinding pun membelalakkan mata bulat sempurna.
"Tunggu. Gretta masih semester empat. Lalu, siapa Tuan Orion Remo? Apakah dia kenalan ... atau rekan bisnis mendiang suami saya?" sahut Varra mencondongkan kepala ke depan, antusias.
"Maaf, sepertinya Nyonya salah sangka. Akan saya katakan lebih jelas. Tuan Orion Remo ingin melamar dan menikahi putri Ignatius yang memiliki rambut albino," ralat sang pria utusan mengabaikan pertanyaan Varra.
Kedua alis Varra bertaut. "Acasha?" Ia pun memundurkan tubuh.
"Oh, jadi namanya Nona Acasha?" Sang pria utusan mengangguk-angguk, kedua sudut bibirnya terangkat. "Bolehkah saya bertemu dengannya dan menyam—"
"Tidak!"
Sebelah tangan Varra spontan terangkat di depan dada. Sadar dengan gerak refleksnya, Varra pun menurunkan tangan perlahan.
"Bukan. Maksud saya, biar saya yang menyampaikan hal ini padanya," lanjutnya memelankan intonasi.
"Hm. Baiklah. Saya akan menunggu di sini," ujar pria utusan menyandarkan punggung di sandaran sofa sambil melipat kedua tangan di depan dada.
Seketika, muncul kerutan halus di dahi Varra, menatap sang pria utusan dengan raut kebingungan.
"Nyonya, saya tidak akan kembali dengan tangan kosong," imbuh sang pria utusan menanggapi.
Paham dengan ucapan sang pria utusan, Varra mengeratkan rahang dan beringsut bangkit dari sofa. Baru dua langkah berjalan, mendadak dia berhenti dan berbalik menatap sang utusan tampan.
"Saya setuju. Saya menyetujui lamaran ini."
"Kurang ajar! Beraninya kau pada Tuan Orion!" teriak Gretta yang sejak tadi bersembunyi di balik bayangan Orion. Ia melesat cepat untuk melayangkan serangan kepada Acasha yang berdiri membelakanginya.Namun, dengan gesit, Acasha berpindah dari sana tanpa berhasil tersentuh barang seujung kuku. "Gretta, berhentilah! Aku tidak ingin menyakitimu."Mendengar ucapan Acasha, tubuh Gretta seketika menjadi kaku, kedua kakinya melekat erat dengan lantai dan anggota tubuhnya benar-benar tidak dapat digerakkan sama sekali."Ugh ... kenapa aku nggak bisa gerak? Apa yang kau lakukan padaku?! Lepaskan aku, jalang! Lepaskan aku!!" teriak Gretta sangat lantang."Gretta, apa tuanmu yang sudah mati itu tidak pernah mengajarimu sopan santun? Aku yakin dia sudah pernah mengajarimu, tapi sepertinya otakmu tidak sanggup menyerap pelajaran dengan baik," ucap Acasha dengan ekspresi dan suara bernada datar."Jaga bicaramu! Kau pikir, aku akan bersopan-santun padamu? Cih, jangan harap! Kau bukan Tuan Orion! Me
Deg ... deg ... DEGDEGDEGDEG ....Degup jantung pria yang tengah tertunduk, terkulai tak berdaya dalam cekalan rantai terkutuk pada kedua tangan dan kaki itu, mulanya sangatlah lemah akibat kehabisan darah. Namun, kini debaran di dada terasa semakin cepat, sangat cepat dan semakin intens seolah ingin meledak dan menghancurkan tulang rusuk menjadi berkeping-keping.Demian membuka mata. Ada kilatan merah di lensa birunya yang membelalak lebar. Keningnya berkerut dalam menahan sensasi sakit luar biasa tengah menggedor-gedor dada bidangnya. Peluh bercampur darah pun mengalir di pelipisnya."Khhh ...."Sesak! Paru-parunya terasa dihimpit batu besar dari dua arah berlawanan. Oksigen sama sekali tidak bisa masuk dengan benar memenuhi rongga-rongga udara seolah ia sedang tercekik dan tak sanggup pula untuk berteriak.Tubuhnya lantas memberontak. Bergerak-gerak dengan brutal dan tak terkendali akibat rasa sakit yang tak bisa didefinisikan lagi dengan kalimat apa pun. Tidak ada satu pun ungkapa
Angin berembus kencang menggoyangkan dahan dan ranting serta menerbangkan butiran salju berputar-putar di udara. Deburan ombak di laut tak kalah riuh menabrak batu karang juga dermaga seolah ingin melahapnya.Langit malam tampak cerah-berawan membawa kelam semakin mencekam saat rembulan perlahan kehilangan cahayanya dan berubah warna menjadi merah, semerah darah.Ialah Super Blood Moon. Fenomena yang terjadi setiap 195 tahun sekali, ketika matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu garis lurus. Bulan akan masuk seluruhnya ke dalam bayangan inti atau umbra bumi, sehingga tidak ada sinar matahari yang bisa dipantulkan ke permukaan bulan.Dalam fenomena menakjubkan yang sedang berlangsung itulah, takdir baru sang vampir muda dimulai.Acasha terbangun dengan kedua warna mata berbeda. Iris ungunya telah berubah warna serupa merah darah, menatap lurus vampir berusia ratusan tahun yang tengah memangkunya."Acasha ...." bisik Athan tertegun melihat perubahan yang sudah pernah ia perkirakan s
"Dasar sinting!" umpat Chesy bersikeras memberontak dan mendorong tubuh Bedros ke depan. Namun, sang kaki tangan Orion yang setia itu justru mengunci tubuh Chesy semakin kuat dan menancapkan taring tajamnya di leher jenjang Chesy yang sudah sangat menggiurkan sejak tadi. Gluk ... Gluk ... Gluk .... Benar. Mirip tapi beda. Mirip dari rambut ginger-nya yang bersinar cerah bagai daun maple di musim gugur. Lalu, bedanya ... harum tubuhnya bak bunga gardenia yang bermekaran dan manis darahnya sangatlah nikmat, membuat siapa pun yang menghisapnya merasa tenang dan larut dalam kesejukan di setiap tegukan, tak terkecuali dengan Bedros. Aroma gardenia yang diterbangkan angin mencapai indra penciuman Gelsi. Ia pun menoleh. Tepat di depan mata, ia menyaksikan satu-satunya putri kesayangannya yang seorang Half Blood Klan Agathias tengah tak berkutik dalam rengkuhan Loyal Blood Klan Remo. Terpantiklah percikan api seketika mengobarkan kemurkaan di dalam diri seorang ayah vampir. "ENYAHK
Sang surya mulai menyembunyikan terang sinarnya, berganti dengan gulita yang siap menyongsong hamparan kristal beku, menambah suasana mencekam yang semakin menyelimuti Pegunungan Wolley.Udara dingin bukanlah masalah besar bagi para vampir, tetapi serangan dari makhluk yang diciptakan dari darah terlarang itu tak kunjung berakhir. Mereka datang dari berbagai penjuru, bagai muncul dari selang air yang menyemburkan Forbidden Blood nan menjijikkan, hingga membuat muak para Loyal Blood yang tengah membasmi mereka. Namun, ada satu hal positif yang bisa menjadi petunjuk. Dengan semakin rapatnya intensitas kemunculan Forbidden Blood, berarti mereka sudah semakin dekat dengan lokasi tujuan.Athan, sang Pure Blood Klan Agathias, ditemani Half Blood dan ketiga Loyal Blood terdekatnya, terus berlari dalam kecepatan yang sama—sangat cepat—demi mengejar detik yang terus bergulir."Waktu kita tidak banyak," gumam Athan setelah menatap langit sesaat.***Setelah menghadapi segala aral melintang, ak
"Jangan bilang ... dia belum kembali," ucap wanita itu, tercenung."Ha ...." Ela mendongakkan kepala, menghela napas kesal. "Nona, saya tahu, Anda tidak menyukai Nona Acasha, tapi saya tidak menyangka kalau Anda sejahat itu.""Nona Zelika, kenapa Anda tega meninggalkan Nona Acasha sendiri? Seharusnya Anda membawa dia kembali bersama kami!" imbuh Lieke tersulut emosi, entah ke mana perginya ketakutan dan kekhawatiran yang sempat menciutkan nyali.Zelika memejamkan pelupuk sambil memijat pangkal hidungnya pelan. "Nona-Nona Sekretaris, sebenarnya bukan saya yang meniggalkan, justru saya yang ditinggalkan. Lagi pula, saya sudah berbaikan dengan Nona Acasha. Sudah tidak ada lagi niat jahat padanya barang sedikit pun."Dengan alis yang masih bertaut, Lieke membalas, "Lalu, di mana dia sekarang?""Mungkinkah, dia sudah masuk ke sini sebelum kami?" celetuk Ela. "Atau berlindung di tempat lain?" lanjutnya.Zelika mendesah pelan. Parasnya tetap terlihat cantik dan menawan meski gurat keresahan