Aira tersentak. Ia menatap Kaivan lekat-lekat, matanya melebar. Tangannya yang masih menggenggam dompet tua itu bergetar halus.Kaivan menghela napas dalam. “Saya gak sengaja a, Aira. Tolong maafkan saya, seumur hidup saya dikejar ras bersalah hingga hari ini. Demi Allah, Aira, itu murni kecelakaan. Ibumu tiba-tiba menyeberang, dan saya ... saya terlalu lambat menginjak rem. Kejadiannya begitu cepat.”Aira menatap lekat pada Kaivan. "Jadi, semua yang Om lakukan untukku selama ini karena rasa bersalah?" tanya Aira pelan.Kaivan diam. Kalimat itu membuat tengokannya terasa tersangkut duri. Menelan ludah saja terasa sulit. Ia memutuskan untuk tidak menjawab. Baik dengan ucapan atau pun isyarat. Pikirannya masih sibuk memindai kata yang tepat."Aku benar, 'kan, Om?"Kaivan menunduk sesaat, kemudian menjawab dengan hati-hati. "Lebih tepatnya karena amanah ibumu," jelasnya pelan, "ya, saya melakukan itu karena menjaga amanah, setelah saya menemukan kamu dan yakin kamu adalah Sahara, sebisa
"Enggak, Aira. Saya harus katakan agar kamu gak terus-terusan salah paham seperti ini." "Enggak, Om. Saya gak mungkin salah paham dengan perasaan sendiri." Kaivan menghentikan napas dalam, lalu mendorlong tubuh Aira sedikit lebih kuat lagi. Wanita itu akhirnya mengalah. "Tugas saya sudah hampir selesai. Mungkin kamu sudah tahu fakta tentang dirimu sendiri, asal usulmu. Azzam sudah mengatakan faktanya, kan?" Aira menggeleng. "Enggak, saya gak percaya,“ sangkal Aira seraya menggeleng. "Fakta itu benar, Aira. Kamu memang anak kandung Azzam. Saya yang Membuktikan sendiri lewat tes DNA." Aira mendongak, menatap tak percaya pada pria paruh baya di hadapannya. "Aku lebih baik gak tahu itu, Om," ucapnya lirih dan penuh rasa kecewa. "Kenapa? Menjadi putri Azzam Fathurahman adalah sesuatu yang membanggakan, kan?" Kaivan bertanya. Aira menggeleng. "Aku lebih bangga saat Om selalu ada untukku dan Rava selama ini," ucapnya kemudian lirih. "Saya punya keluarga, Aira. Dan, kita gak
Alya seperti dihadapkan pada pilihan yang sulit. Ia masih belum bisa memastikan, apakah kejujurannya akan berujung baik atau justru malah berakibat fatal. Wanita paruh baya itu bergeming sesaat. Seperti menimbang sesuatu. Hingga Azan maghrib berkumandang dan mengurai kegamangannya. "Mungkin bukan sekarang, Aira. Atau suatu hari kamu akan tahu sendiri." Dia kemudian membuka pintu mobil dan memberi kode pada sopir untuk jalan. Sementara itu, di rumah Kaivan mondar-mandir karena istrinya tak juga ada tanda-tanda pulang. Tamara sudah ia berikan pada pengasuhnya untuk ditidurkan. Hingga selesai menunaikan salat maghrib, Kaivan mendengar samar suara seru mobil. Namun, bukan Alya yang muncul, melainkan Azzam. Kaivan menatap heran pada Azzam yang tampak kusut. "Apa yang terjadi?" tanya Kaivan tanpa basa-basi. "Anak gua mana? Kita perlu bicara sekarang." Azzam berucap lesu. Kaivan mengerutkan dahi. Teringat bagaimana kacaunya Lysandra tadi. "Kenapa? Lysandra kenapa?" tanya Kaivan lag
Sebelum Aira memutar tubuh untuk berjalan keluar, Alya sudah penuh dulu berjalan menghampiri dirinya. "Saya tahu kamu datang ke sini karena ingin menemui suami saya, 'kan?" ucap Alya begitu sampai di depan Aira. Mereka kini berdiri di dekat pintu masuk. Aira menunduk lalu menggeleng. "Maaf, Tante. Sepertinya saya salah tempat. Saya permisi." "Tunggu, Aira. Kenapa buru-buru?" Alya bersuara lagi membuat Aira kembali mengurung langkah. Aira bergeming. Dalam hatinya, ada sesal. Kenapa ia datang tanpa berpikir panjang? Apa yang sebenarnya ia harapkan? Bahwa Kaivan masih mau bertemu setelah perasaan rumit yang ia lontarkan tempo hari? Dalam satu tahun terakhir ini, Kaivan tak pernah absen rutin minimal seminggu satu kali untuk mengunjunginya di apartemen kecil yang Kaivan sewakan untuknya. Selama setahun terakhir, Kaivan tak pernah absen. Minimal seminggu sekali ia datang. Sekadar mengajak Rava bermain, atau hanya menanyakan kabar. Terkadang tiba-tiba datang membawakan makana
Hujan belum turun, tetapi langit sudah cukup suram untuk membuat siapa pun ingin pulang lebih cepat. Namun, tidak dengan Lysandra. Langkahnya berat ketika membuka pintu utamaa kediama keluarga Satria. Tangan dinginnya sedikit gemetar. Bukan karena cuaca dan suhu atmosfer yang tiba-tiba berubah, tetapi lebih karena hatinya yang terasa layu. Seumur hidup, ia tidak pernah sekecewa itu pada papanya.Kaivan yang tengah menggendong Tamara yang sedang tertawa-tawa karena digelitik, langsung menghentikan gerakannya saat melihat sang menantu.“Ly?” panggil Kaiva pelan.Kaivan mengikuti langkah Lysandra yang terburu-buru dengan ekor matanya. Wajah menantunya tampak murung. Jangankan menjawab panggilan papa mertua, menoleh saja tidak—seolah tidak mendengar.Lysandra hanya berjalan cepat melewati ruang tengah, melewati Kaivan dan Tamara tanpa sepatah kata pun, lalu mulai meniti tangga. “Ly, ada apa? Hei—” Kaivan bersuara lagi, kali ini nada suaranya lebih tinggi. Namun, Lysandra seolah sedang
Suasana kafe bagian depan mendadak berubah hening—seakan orang-orang di sekitar lupa bernapas. Kalimat itu ....“Karena dia... anak kandung Papa. Sama seperti kamu.”Udara mendadak terasa berat. Mata Aira membelalak, tubuhnya juga terasa kaku. Seolah-olah bagian dari dirinya berhenti bekerja. Napasnya tercekat, tenggorokan pun terasa mengering. Ia menatap Azzam sejenak—tak tahu harus berkata apa. Juga tidak tahu harus merasa seperti apa.Tubuhnya seakan tersedot ke dalam pusaran yang tak kasat mata. Kepalanya penuh. Dadanya sesak. Mirisnya tak ada satu kata pun yang lolos dari bibirnya. Entah itu berupa amarah atau pun sekadar tanya. Rasa di dalam hatinya kini sulit untuk diraba. Terasa begitu ambigu dan membingungkan. Ia ingin menganggap kalimat pria paruh baya itu hanyalah igauan belaka.Aira kemudian membalikkan tubuh dan segera mengais langkah cepat. Bukan berlari, tetapi cukup tegas. Ia lebih seperti seseorang yang butuh melarikan diri sebelum hatinya meledak.Azzam hanya bisa