Aluna melancarkan tamparan keras ke pipi kanan Revon. Matanya melotot, kedua tangannya menggenggam erat.
"Maksudnya apa kamu ngomong kayak tadi?" pekik Aluna seraya menunjuk ke arah wajah Revon. Revon tertawa kecil, lalu menarik lengan Aluna dan menghimpit tubuhnya ke mobil. Revon merapatkan tubuhnya, wajahnya mendekat sampai hidung mereka bersentuhan. Aluna berusaha memberontak, membuat Revon mengeratkan cengkramannya pada lengan Aluna, satu tangan lainnya mencengkram pinggang Aluna. Dia sengaja menunggu wanita di depannya menyerah. "Apa sih maumu?!" Aluna kembali memekik. "Kamu yakin mau memberikannya?" ujar Rivon sambil menyeringai. Kedua mata Aluna menelisik mata tajam laki-laki di depannya. Dia berusaha mencari tahu apa yang Revon pikirkan tapi nihil, dia tidak menemukan apapun. "Aku mau Kiara. Bukan hanya tahu kalau aku adalah ayah kandungnya, tapi juga memiliki hak milik legal atas dirinya. Dia juga harus tinggal bersamaku!" tukas Revon tegas. Aluna memberontak kembali, namun Revon semakin merapatkan tubuhnya. Saat Aluna hendak membuka mulutnya, dia melihat Arya dan Kiara dari kejauhan membuatnya panik. "Lepaskan aku," ujar Aluna dengan nada lirih. "Tidak akan!" tukas Revon. Aluna menoleh, kembali fokus pada pria di depannya. "Lepaskan! Di belakang ada Arya dan Kiara," sahut Aluna semakin panik. "Biar saja. Sekalian aku mengkonfirmasi pada suamimu jika kau juga sudah menjadi milikku," ucap Revon seraya menyeringai. Melihat wajah panik Aluna membuatnya semakin tertantang, dan ingin menggodanya terus. Revon tidak bisa memungkiri jika dia merindukan posisi ini. "REVON! Tolong ...." Aluna memakai mata bulat berbinarnya, berharap ini masih berlaku. Dulu Revon akan langsung luluh jika dia seperti ini. Benar saja, cengkraman Revon langsung mengendur. Tatapannya berubah, jantung Aluna tersentak. Namun dia segera melepaskan diri, mendorong Revon untuk masuk ke mobil. Dia kemudian juga masuk untuk bersembunyi, menanti Arya dan Kiara pergi dari sana. Tak lupa, Aluna mengirimkan pesan pada Arya jika dia akan pulang sedikit lebih malam karena bertemu dengan teman lamanya dulu. Revon menyeringai saat membaca pesan tersebut. "Teman lama?" gumamnya. Revon yakin Aluna mendengarnya. Namun, wanita itu memilih tidak menanggapainya. Tangan Revon nampak sangat ringan menarik pinggang Aluna dan menempatkannya di pangkuannya. Aluna nampak tersentak, tak ayal tubuhnya sebenarnya merasa nyaman juga. "Kau gila?" pekik Aluna dengan mata yang masih menatap ke sana kemari, takut jika Arya melihat semua ini. "Kau tidak merindukanku?" Aluna terdiam, Revon tertawa kecil. "Mulutmu mau menyangkal apa, Sayang? Aku bisa merasakan tubuhmu sangat nyaman di sini," ucap Revon. Mata Aluna terbelalak, mulutnya tak berani mengeluarkan sepatah kata. Kedua tangannya mengalung di leher Revon, tatapan mereka terkunci satu sama lain. Ponsel Aluna berdering, melihat nama suami tercintanya di sana dia reflek mematikan panggilan tersebut. Kemudian turun dari pangkuan Revon, duduk di sebelahnya. Revon menyeringai, hatinya hanya berpacu pada wanita di sampingnya, walaupun dia sudah mencoba yang lain. Revon terobsesi dengan semua hal yang ada pada Aluna. Bibir tebal, pipi cubby, mata bulat berbinar. Aluna dan tatapannya. "Kenapa natap aku kayak gitu?" tanya Aluna seraya menoleh ke arah Revon. Mata bulatnya tidak menunjukkan panik atau takut lagi. Revon merasa Aluna sedang membuka diri padanya, jadi dia mendekat. Merasa tak ada halangan atau penolakan dari Aluna, tangan kanan Revon kembali menarik pinggang Aluna, mengikis jarak antara mereka. Aluna membuka sedikit bibirnya, membuat Revon merasa diberi akses untuk berbuat lebih. Dia mengecap bibir itu perlahan, menunggu Aluna membalasnya. Setelah mendapatkan balasan, Revon mempercepat irama, menarik pinggang Aluna lebih rapat. Merasa Aluna mulai kehabisan napas, Revon menarik diri. Tangannya menarik tubuh kecil Aluna keluar dari mobil dan membantunya duduk di samping kemudi. Dia segera berputar arah dan duduk di bangku kemudi. Kemudian menjalankan mobil. Tidak ada percakapan apapun dalam perjalanan. Kedua tangan Aluna mencengkram sabuk pengaman dari tadi, sementara tatapannya lurus ke depan. Otak Aluna penuh, kacau. Jantungnya berdetak kencang, perasaannya gelisah. Tatapan elang Revon ke jalanan seakan tak berkedip, kakinya menginjak gas seakan berpacu dengan waktu berharap cepat sampai. Revon menghentikan mobilnya di penthouse miliknya. Turun dari mobil dengan gagah bersama Aluna di sampingnya. Dia menarik pinggang Aluna, membuat wanita yang tadinya menunduk lebih tenang. Mereka memasuki rumah besar penuh manusia sibuk itu dengan santai. Pergi ke kamar utama di lantai paling atas dan melanjutkan aktivitas tertunda di mobil tadi. Revon baru mengantar Aluna pulang saat malam. Sesampainya di rumah Aluna, Arya dan Kiara sudah tidur. Aluna membersihkan diri, dia berganti pakaian dan tidur sambil memeluk Arya. Seakan tak ada yang terjadi, Arya yang terbangun langsung memeluk istrinya dengan erat. Kali ini, tidak ada rasa bersalah di benak Aluna. Pikiran Aluna kosong, seakan baru saja di buang seluruhnya. Dia memejamkan mata dan menyembunyikan wajahnya di dada sang suami. Keesokan harinya, bangun pagi seperti biasa, menyiapkan sarapan dan mengobrol dengan anak dan suaminya. Mengantar Arya sampai di depan rumah dan menyalami tangannya. Arya juga tidak menanyakan apapun perihal kemarin, bahkan dia hanya pamit dan mengecup kening Aluna dengan sayang seperti biasanya. Hati Arya juga lebih tenang karena melihat senyum Aluna yang lebih merekah dari biasanya. Dalam hati, Arya berharap Aluna bisa tersenyum seperti hari ini setiap hari. Arya berharap, Aluna bisa tidur dan memeluknya seperti semalam setiap malam. Arya tidak peduli jika harus kerja keras dan menidurkan anaknya saat malam agar mendapatkan senyum merekah paling tulus milik Aluna. Dia tidak peduli secapek apapun dirinya, semua hilang jika sudah bersama keluarga kecil tercintanya ini. "Ibu, kemarin dari mana saja? Kiara kok ditinggal sendirian sama ayah, sih?" Pertanyaan Kiara membuat Aluna menoleh. Dia terdiam sejenak, semua ulahnya kemarin kembali seperti kaset rusak, lalu meledak. Air matanya menetes. "Ibu kenapa menangis? Apakah Kiara salah bicara?" tanya gadis kecil di depannya dengan mata bulat berbinar yang polos. Aluna mengusap air matanya, dia berjongkok dan mengelus pipi Kiara dengan lembut dan tersenyum manis. "Ibu bertemu dengan papa kandungmu, Nak," ujar Aluna dalam hati. "Teman Ibu kemarin bercerita sedih, Ibu jadi ingat barusan. Maaf ya, kemarin Ibu meninggalkan Kiara dengan ayah," ucap Aluna akhirnya. "Yah, kasihan teman Ibu. Ibu tidak perlu minta maaf dengan Kiara, Ibu kan menolong teman Ibu yang sedang sedih," sahut Kiara dengan wajah polosnya. "Apakah teman Ibu sudah lebih baik?" Aluna mengangguk. "Mungkin tidak sepenuhnya. Dia menginginkanmu, Nak," ujar Aluna dalam hati. Tatapannya penuh arti pada gadis kecil di depannya. Tangannya menarik tubuh kecil Kiara lebih dekat padanya. Aluna memeluk Kiara dengan erat, air matanya jatuh dalam diam. Sementara Kiara malah tersenyum dan tertawa dengan bahagia, merasa Ibunya sedang merindukan dirinnya. "Aku sayang sama Ibu, sayang sama ayah. Kata teman-temanku keluarga kita paling bahagia, dan itu benar. Aku pun sangat bahagia!!" pekik Kiara penuh tawa.Setelah hari itu, Aluna dan Revon tidak lagi bertemu. Perasaan Aluna mulai membaik, dia kembali mengurus keluarga kecilnya seperti biasa.Minggu kali ini, Arya mengajak Aluna dan Kiara ke pantai. Aluna sengaja bangun sangat pagi untuk membuat camilan dan makanan yang akan mereka bawa nanti. Arya juga sudah menyewa mobil untuk mereka, katanya bonus dari bos.Saat Arya bangun dan melihat istrinya tengah berkutat di dapur, dia langsung membantunya. Suasana menjadi lebih romantis dan cepat selesai. Ditambah, mendapatkan jatah pagi setelah selesai memasak.Mereka berangkat pukul 8 agar bisa di sana lebih lama. Aluna duduk di pinggir pantai sambil tersenyum manis melihat Arya dan Kiara yang saling mengejar. Kemudian tak lama dia juga ditarik ikut bermain kejar-kejaran. Setelah lelah, mereka duduk bersama dan makan siang. Lalu Kiara tertidur karena kelelahan."Ingat tidak dengan pantai ini?" Arya mulai buka suara sambil tersenyum manis dengan tatapan penuh arti, menoleh ke arah Aluna dengan
Aluna melancarkan tamparan keras ke pipi kanan Revon. Matanya melotot, kedua tangannya menggenggam erat."Maksudnya apa kamu ngomong kayak tadi?" pekik Aluna seraya menunjuk ke arah wajah Revon.Revon tertawa kecil, lalu menarik lengan Aluna dan menghimpit tubuhnya ke mobil. Revon merapatkan tubuhnya, wajahnya mendekat sampai hidung mereka bersentuhan. Aluna berusaha memberontak, membuat Revon mengeratkan cengkramannya pada lengan Aluna, satu tangan lainnya mencengkram pinggang Aluna. Dia sengaja menunggu wanita di depannya menyerah."Apa sih maumu?!" Aluna kembali memekik. "Kamu yakin mau memberikannya?" ujar Rivon sambil menyeringai.Kedua mata Aluna menelisik mata tajam laki-laki di depannya. Dia berusaha mencari tahu apa yang Revon pikirkan tapi nihil, dia tidak menemukan apapun."Aku mau Kiara. Bukan hanya tahu kalau aku adalah ayah kandungnya, tapi juga memiliki hak milik legal atas dirinya. Dia juga harus tinggal bersamaku!" tukas Revon tegas.Aluna memberontak kembali, namun
Aluna nampak sangat lelah dengan wajah tanpa make-up. Wanita yang telah melahirkan seorang gadis cantik itu, masih tertidur pulas dengan selimut tebal yang menutupi tubuh mungilnya. Kondisi kamar yang masih gelap dengan tirai yang sengaja tidak dibuka, Aluna merasa tubuhnya lebih santai dari biasanya. Satu minggu tidak bertemu sang suami nyatanya sangat cepat berlalu. Anehnya, tidak ada rasa rindu dalam hati Aluna. Dia malah senang, beban di hatinya seakan tidak pernah ada. Satu minggu, rasanya Aluna terbuai dan berharap ini akan menjadi selamanya. Tidak perlu bangun sangat pagi, menyiapkan seluruh kebutuhan rumah tangga. Bersih-bersih rumah, pergi ke pasar dan memasak. Tidak ada yang meneriakinya dan memakinya di pagi hari. Tidak ada yang memarahinya dan menyuruh ini itu. Aluna merasa, kehidupan yang dia dambakan telah tercapai. Senyum kecil terbit di bibir tebalnya. Sepasang mata bulat itu masih tertutup, belum mau keluar dari alam mimpi. Hingga sebuah tangan besar menangkup wajah
Sebuah silau mobil membuat tubuh Aluna tersentak. Dia segera bangkit dari sofa dan tersenyum sangat manis, berlari ke arah pintu dan membuka pintu dengan riang. Mulutnya terbuka, pikirannya tentang segala hal buruk sirna begitu saja. Perasaannya yang kesal, sedih dan kecewa seakan hilang ditelan malam. Namun, pakaian rapi dengan tuxedo mahal, kemeja putih bersih dan dasi senada itu sama sekali bukan suaminya. Aluna mendongak, matanya memicing menyesuaikan cahaya berusaha mengenali wajah di depannya. Jantungnya tersentak seolah baru saja tersandung dan terjun dari gunung dan masuk jurang. Wajah lelah itu pucat seketika, bibirnya bergetar, tubuhnya kaku. Kedua tangannya yang ada di kusen pintu jatuh ke samping kanan dan kiri tubuhnya. "Revon?" Dahi Aluna berkerut, kedua alis tebal itu hampir bersambung. Dia mundur beberapa langkah, kemudian semakin cepat saat tangan besar pria di depannya mendorongnya ke dalam. Memaksanya duduk di sofa. "Merindukanku, huh? Kamu benar-benar membuatku
Sudah lima tahun dia menikah dengan Arya, bahagia dengan kehidupan sederhana dengan seorang gadis kecil yang cantik dan pintar. Namun, Arya tidak pernah tahu jika gadis kecil yang sangat dia sayangi bukan darah dagingnya, dan Aluna juga tidak pernah punya nyali untuk mengatakannya. Saat Aluna menghembuskan napas resah, Arya tiba-tiba datang memeluknya dari belakang. Menyembunyikan kepalanya di ceruk leher sang istri, mencari rasa nyaman setelah pulang bekerja. Aluna menarik kedua tangan Arya, membuatnya semakin erat memeluknya. Dia tersenyum kecil, perasaannya masih campur aduk. “Hari ini lembur lagi, Mas?” tanya Aluna dengan nada lembut. Tangan kanannya terulur hendak mengelus kepala Arya. “Ya,” jawab Arya singkat. Pria itu menjauh, membuka kemejanya dan menaruhnya di sembarang tempat. Melihat itu, Aluna menghela napas panjang. Dia tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. “Mas, tidak pernah kamu melihat keranjang kotor di dekat pintu kamar mandi, hum?” ujarnya pelan dan le