Sumirah kini tinggal di gudang padi milik Nyai Aminah karena bangunan utama rusak parah. Beruntung si jago merah tak sampai melahap gudang padi yang terletak di belakang rumah uwaknya tersebut.
Sumirah bertahan hidup dari hasil mengais sisa-sisa harta benda milik uwaknya.
Perut milik Sumirah berbunyi, pertanda minta diisi. Sumirah melahap nasi jagung yang tadi dia beli di pasar, uang dari hasil menjual perhiasan milik Nyai Aminah yang tak sengaja dia temukan di reruntuhan rumah sudah hampir habis untuk menyambung hidupnya selama sebulan ini.
Bukan niat Sumirah hanya ingin menghabiskan harta uwaknya, dirinya berusaha mencari rezeki dengan cara menawarkan tenaganya kepada penduduk, tapi entah kenapa semua menolak dirinya.
Ada yang merasa ketakutan jika bertemu dengannya, tapi kebanyakan dari mereka menatap jijik mukanya yang rusak karena luka bakar waktu itu.
Hidung mancungnya kini sedikit pesek karena banyak dagingnya yang berkoreng dan terkelupas. Mata kanannya sedikit kabur. Serta hampir separuh dari mukanya terdapat bekas luka bakar. Bagi mereka yang baru mengenal Sumirah tidak akan percaya jika dia dulunya adalah wanita tercantik di desanya.
“Uwak, Sumirah kangen....”
Bulir air matanya mengalir di pipinya. Sumirah meratapi nasibnya yang begitu hina di mata manusia.
Sumirah tak menyangka dirinya yang masih berusia dua puluh tahun harus berakhir dengan sangat mengenaskan.
Sumirah menghapus dengan kasar air matanya, menghabiskan segera makanannya karena dirinya akan mencuci di sungai.
Sumirah terseok-seok membawa tubuhnya ke arah sungai. Setiap orang yang berpapasan dengannya selalu membuang muka. Sumirah hanya bisa menundukkan wajahnya yang sudah dia tutup dengan selembar kain dalam-dalam.
“Heh, demit borok, minggat kowe, ojo ngumbahi ning kali kene, gawe banyune mambu.” ( Heh, hantu koreng, pergi kamu dari sini, jangan cuci baju di sungai ini. Nanti airnya bau)
Seorang gadis mendorong tubuh Sumirah yang tengah membawa ember yang terbuat dari anyaman bambu dari arah belakang. Baju kotornya tumpah seluruhnya di atas tanah. Sumirah terduduk, matanya menatap tajam si perempuan yang mendorongnya.
“Ngopo mlerok-mlerok matamu, nantangi hah!” (Ngapain matamu melotot? Nantang kamu?)
Terlihat si perempuan menendang tubuh kurus Sumirah hingga tengkurap, lalu dirinya melangkahi tubuh Sumirah sambil tertawa mengejek diikuti kelima teman sebayanya. Sumirah mengepalkan tangannya.
“Lestari!” Sumirah menyebut pelan nama si perempuan yang menghina dirinya.
Lestari adalah adik dari Permana, mantan suaminya. Sifatnya tak jauh berbeda dengan sang kakak, angkuh, sombong dan merasa berkuasa dengan harta yang dimiliki oleh Sumirah.
Lestari beranggapan bahwa Permana sang kakak lah yang kaya, sementara Sumirah hanya menumpang hidup di tempat sang kakak.
Serta yang paling membuat Lestari membenci Sumirah tentu saja karena dia adalah perempuan yang sangatlah cantik. Itulah mengapa dirinya sangat senang tatkala mengetahui jikalau Sumirah sudah menjadi si buruk rupa.
Lestari bahkan yang menyebarkan fitnah jika penyakit Sumirah akan menular kepada gadis-gadis yang lain sehingga Sumirah dikucilkan.
Sumirah memungut satu persatu bajunya yang berserakan di tanah. Lalu melangkahkan kakinya ke hilir sungai yang semakin jauh dari pemukiman warga. Lestari masih terus menatapnya dan tidak mengizinkan dirinya mencuci pakaian di sungai ini.
Terengah-engah Sumirah melangkahkan kakinya ke arah sungai demi bisa mencuci pakaian miliknya.
“Aaa!”
Tiba-tiba rambut kusut Sumirah ditarik paksa oleh seseorang. Di tengah rasa perih di kepalanya mata Sumirah berusaha mencari siapa pemilik tangan tersebut.
“Permanaa ...!” Sumirah mendesis saat tahu siapakah gerangan yang telah membuatnya sakit seperti itu.
"Apa lihat-lihat! Dasar perempuan buluk, bau dan sundal!" Tubuh Sumirah terpelanting saat dengan kasar Permana melepaskan tangannya dari rambut mantan istrinya itu.
Sumirah tidak menanggapi ocehan Permana dan memilih untuk membuang wajahnya. wanita itu sungguh jijik dengan lelaki yang sedang berdiri di hadapannya itu dengan angkuhnya.
"Woy wanita hina, cium kakiku sekarang dengan begitu aku akan membiarkanmu hidup." Selesai berkata Permana dengan angkuhnya meludahi kepala Sumirah yang ada dibawahnya itu.
"Keparat! Tak puaskah kamu melakukan itu kepadaku. Tak puaskah kamu mengusirku dari rumah bapakku dan sekarang kamu menghinaku seperti ini. Kamu benar-benar manusia tak punya hati!" Sumirah meluapkan emosinya sambil menahan air mata yang hampir tumpah itu. Setidaknya, Sumirah tidak ingin terlihat lemah dan mengemis dihadapan lelaki yang telah membuat hidupnya hancur tersebut.
Permana mengangkat tangan kanannya dan tak menunggu waktu lama ada sepuluh lelaki mengelilingi Sumirah yang terduduk di atas tanah.
“Lakukan seperti yang aku perintahkan tadi!” Permana memberikan instruksi kepada anak buahnya.
“Aaa!” Sumirah melawan saat bajunya dirobek paksa oleh anak buat Permana.
“Brengsek kamu, Permana. Apa yang kau lakukan padaku hah! Tak puaskah kamu menyiksaku, Permana!” Sumirah berteriak.
Permana mengangkat sebelah tangannya, para anak buahnya menghentikan aksi mereka. Dia mendekati Sumirah yang berusaha menutupi kembali tubuhnya yang sebagian telah terbuka.
“Aaa...!” Sumirah menjerit kesakitan dengan tangan memegangi rambutnya yang ditarik oleh Permana.
Permana melotot tepat di mata Sumirah sambil tersenyum mengejek.
“Kamu harus mati, Sumirah. Gendis tak suka jika kamu tetap hidup. Aku ingin Gendis bahagia, jadi kamu harus mati, dengan syarat aku akan membuat kamu mati perlahan.” Permana tertawa puas melihat wajah Sumirah.
“Aaa...!”
Sumirah kembali menjerit saat Permana menempeleng kepalanya.
Permana menganggukkan kepalanya pertanda agar mereka kembali menyiksa Sumirah.
Sumirah dijamah secara bergantian oleh sepuluh anak buah Permana, sementara Permana tertawa terbahak-bahak menyaksikan Sumirah tersiksa.
Tubuh Sumirah lebam karena berkali-kali ditendang dan dipukul, bahkan anjing pun lebih mereka hargai daripada Sumirah.
Wajah Sumirah penuh luka, hidungnya mengalirkan darah. Pakaiannya terlepas seluruhnya. Kehormatannya dirampas dengan cara yang sangat hina.
“Permana....” Suara serak Sumirah masih terdengar.
Permana mengarahkan pandangannya ke salah satu anak buahnya.
Detik kemudian kepala Sumirah dihantam batu, darahnya mengalir. Tubuh Sumirah ambruk begitu saja di atas tanah.
“Heh, kok batunya kecil, Jo! Kurang besar. Buat supaya kepala Sumirah hancur!” Permana melotot ke arah Paijo karena memukul kepala Sumirah hanya dengan batu sebesar genggaman tangannya.
“Batunya berat, Juragan. Lagi pula Sumirah juga sudah mati. Kasihan kalau mayatnya hancur. Nanti kualat loh, Juragan.”
“Halah, kamu itu, penakut! Tidak akan kualat. Cepat ambil batu itu! Pukul Sumirah sampai kepalanya hancur.”
Paijo menggelengkan kepalanya, menolak permintaan Juragannya yang menurutnya sudah keterlaluan itu.
Karena perintahnya tak dituruti oleh Paijo dan anak buahnya yang lain, Permana akhirnya bangkit dari duduknya, lalu mengangkat batu sebesar kepala manusia dewasa.
Saat hendak mengarahkan batu tepat di kepala mantan istrinya. Tiba-tiba langit gelap gulita, petir menyambar dan hujan turun dengan derasnya. Permana meletakkan dengan kasar batu yang telah dia angkat di sebelah kepala Sumirah.
“Kalian! Ayo balik, hujan!”
“Siap, Juragan!”
Permana dan anak buahnya berlari menerobos hujan yang turun dengan sangat derasnya.
Ternyata Sumirah masih hidup, tangannya berusaha menggapai sesuatu, suara seraknya terdengar memohon serta memanggil sebuah nama.
“Kanjeng Ratu, tolong saya ....”
"Tenang, Pak Ahmad." Kyai Ibrahim, yang juga melihat apa yang dilihat oleh Pak Ahmad, berusaha menenangkan tamunya itu, padahal dirinya sendiri tidak dalam keadaan baik-baik saja."A'udzu billahi minasy-syaithanir rajim."Kyai Ibrahim segera melafalkan doa, suaranya tegas dan penuh keyakinan. Seketika, sosok gelap di sudut rumah itu menjerit keras, suaranya melengking menusuk telinga.Pak Ahmad dan yang lainnya refleks menutup telinga mereka, kecuali Kyai Ibrahim yang terus melanjutkan doanya tanpa gentar. Suara jeritan semakin menggema, hingga tiba-tiba...Ckkkrrsshhh...Bau gosong menyengat memenuhi ruangan, bersamaan dengan lenyapnya sosok hitam itu.Bu Nyai Ambar masih terisak di sudut ruangan, tubuhnya bergetar hebat. Tangannya mencengkeram gamis yang dipakainya, mencoba menenangkan diri setelah menyaksikan kejadian yang begitu mengerikan.Seruni terduduk di lantai dengan tatapan kosong. Napasnya memburu, tangannya yang terluka masih meneteskan darah akibat goresan keris Wulu Ire
"Aku masih tidak setuju sebenarnya, Pak," Bu Nyai Ambar berkata pelan setelah memastikan bahwa Pak Ahmad sudah pergi."Yang ikhlas ya, Bu. Ini juga demi Nur. Pokoknya, Bapak punya rencana, Ibu bantu doakan," Kyai Ibrahim tersenyum sambil mengusap pelan lengan istrinya."Baik, Pak. Saya percaya sama Bapak." Bu Nyai Ambar lagi-lagi hanya bisa pasrah dan berdoa agar keputusan suaminya membawa kebaikan bagi semuanya.Sementara itu, Pak Ahmad berlari tergesa-gesa menuju rumahnya. Napasnya memburu, pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan. Ia harus segera membawa Seruni ke rumah Kyai Ibrahim sebelum berangkat menemui Mbah Bejo.Setibanya di rumah, tanpa ragu, ia langsung menuju kamar Seruni. Dengan sekali dorongan kuat, pintu kamar terbuka lebar, menimbulkan suara dentuman yang cukup keras."Seruni! Bangun, Nak!" suara lantang Pak Ahmad memenuhi ruangan.Gadis itu terkejut. Matanya yang masih berat karena kantuk terbuka perlahan. Tubuhnya yang kurus tampak menggeliat, berusaha menyesuai
Begitu sampai di dalam kamar Seruni, Pak Ahmad mendapati anak gadisnya hanya sedang tidur lelap. Sinar matahari sore menembus jendela kamar, membiaskan cahaya ke wajah Seruni yang tampak damai. Namun, bagi Pak Ahmad, pemandangan itu justru membuatnya semakin waspada. Ia berdiri di ambang pintu, menahan napas, memastikan apakah ada hal yang tidak biasa. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya, membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada Seruni. Lututnya mendadak lemas, membuatnya terduduk di lantai. Ia bersandar pada pintu kamar sambil mengusap wajahnya yang dipenuhi keringat dingin. "Apa benar dia baik-baik saja? Apa Sumirah sudah menyentuhnya?" gumamnya dalam hati. Di luar, suara burung yang kembali ke sarangnya bersahut-sahutan, mengingatkan bahwa sebentar lagi Magrib tiba. Namun, Pak Ahmad tidak bisa tenang. Ia masih merasakan hawa yang tidak biasa, seolah-olah Sumirah masih mengintainya. "Ini nggak bisa begini. Aku harus segera bertemu dengan Kyai Ibrahim s
Pak Ahmad masih berdiri terpaku di tempatnya, nafasnya memburu. Cairan hitam yang mengepulkan asap di lantai mengeluarkan bau anyir yang semakin menusuk hidung.Seruni, yang masih tak bergeming di posisinya, mengambil gelas kopi yang lain. Dengan tenang, ia mengangkatnya ke bibir dan menyeruput isinya."Sayang sekali, Bapak tidak meminumnya," ucapnya pelan. Suara lembutnya terdengar janggal di tengah keheningan malam.Pak Ahmad menelan ludah. Ada sesuatu yang mengerikan dalam caranya berbicara—terdengar seperti Seruni, tapi ada yang berbeda.Seruni menatap Pak Ahmad dengan sorot mata yang kini berubah aneh. Pupilnya tak lagi bulat seperti manusia, melainkan menyerupai mata seekor ular—tajam, sempit, dan bersinar redup dalam kegelapan.Pak Ahmad mundur selangkah. Dadanya berdebar kencang."Kamu... kamu bukan Seruni..." suaranya nyaris tak terdengar.Seruni hanya tersenyum. Senyum yang dingin, tak berperasaan."Kenapa, Pak? Takut?"Pak Ahmad semakin panik. Keringat dingin mengalir di pe
Pak Ahmad masih duduk termenung di ruang tamu rumahnya. Lelaki itu ingin segera bertemu dengan Kyai Ibrahim agar bisa lebih jelas menanyakan perihal apa yang terjadi dengan Seruni.Namun, entah mengapa, ada keraguan yang menahannya untuk melangkah. Pada akhirnya, ia masih saja tetap duduk di sofa, terpaku dalam lamunannya.“Hah~” Pak Ahmad menghela napas panjang.Tubuhnya terasa begitu lelah. Ia baru saja pulang setelah bertemu dengan Mbah Bejo, dan kini pikirannya kembali dipenuhi kebingungan akibat tingkah aneh Seruni. Lebih parahnya lagi, Kyai Ibrahimlah yang saat itu ada di rumahnya saat kejadian aneh itu terjadi."Apa yang sebenarnya terjadi..." gumam Pak Ahmad sambil memijat pelipisnya yang terasa nyeri karena terlalu banyak beban yang menghimpit pikirannya.Dalam hati, ia ingin sekali menyeruput secangkir kopi hitam kental dan pahit, dengan sedikit gula, serta menikmati sebatang rokok tembakau kesukaannya. Namun, tubuhnya yang letih membuatnya enggan beranjak ke dapur untuk sek
"Argh! Sialan! Manusia keparat! Dasar Kyai keparat! Berani-beraninya dia membuatku seperti ini! Akan ku bunuh kau!"Sumirah berteriak sambil memegangi wajahnya yang sudah tak elok dipandang.Wajah wanita yang pernah menyerahkan jiwanya kepada iblis itu kini terlihat pecah-pecah, seperti tanah tandus yang merekah di musim kemarau panjang."Kyai Ibrahim! Melihat dia, aku jadi teringat pada tua bangka yang menjadi cinta dari Nyai Mutik yang kini telah musnah itu! Kenapa makhluk-makhluk yang hampir mati itu terus saja mengganggu rencanaku?!" Sumirah terus mengumpat."Arrgh! Keparat! Sialan!" Sumirah kembali berteriak, melampiaskan emosinya yang meluap-luap.Setiap kali ia berteriak, kulit wajahnya yang penuh retakan akan terkelupas, jatuh ke air rawa dengan warna hitam pekat dan bau menyengat yang memuakkan.Ya…Kini Sumirah berada di dimensi lain, sebuah dunia di mana hanya ada malam yang abadi, tempat para lelembut pemuja Kanjeng Ratu Lintang Pethak tinggal.Tempat ini adalah tempat di