Bagaimana bisa Atasan dan Bawahan ini menikah dan menjadi pasutri diam-diam?
Jika mengingat hal tersebut ada sedikit rasa penyesalan di sudut hati Nita. Andai waktu bisa diputar kembali ia pasti akan menolak tawaran pindah ke divisi lain. Meskipun gajinya cukup menggiurkan dari tempat lama.
Betapa tidak, sejak awal pertemuannya dengan sang suami selalu berujung kesialan. Penyebabnya tak jauh dari persoalan ayam. Mulai dari kasus menu ayam, mangkok ayam, ayam kampus sampai tahi ayam. Bahkan keduanya juga bekerja di perusahaan yang bergerak dibidang perayaman.
"Hacim...hacim!" Langsung saja roh si ayam bersin dari dalam kubur mendengar hal itu.
"Aku juga yang kena salahkan," keluhnya pake bahasa ayam.
"Ya, maaf. Cuma mau ngasih tau pembaca saja biar tidak ada rasa penasaran diantara kita," jelas sesemakhluk.
"Oke lah kalau begitu jangan lupa bintangnya ya," kata roh si ayam sebelum kembali ke alamnya.
Baiklah pemirsa, kita kembali ke topik cerita. Kelihatan sih tidak sial-sial amat ya si Nita. Bisa punya suami yang sekaligus merangkap jadi atasan di kantor. Sudah good karir, good rekening, good looking pula. Kaum hawa mana sih yang tidak kelepek-kelepek dengan pesona Kandar?
Ada sih satu orang yang menganggapnya biasa saja, yaitu Nita sendiri. Bagi perempuan ini Kandar tidak ada bedanya dengan pria lain yang punya mata, bibir dan juga bulu hidung. Namun seiring waktu pendapat objektif itu perlahan luntur ketika Nita bergelar istri. Tanpa sadar ia mulai mengagumi sisi lain Kandar yang belum pernah terlihat. Walau kadang-kadang Nita sering menepisnya saat pikiran dalam mode waras. Lalu bagaimana akhirnya kedua makhluk tuhan ini menjadi pasangan suami istri?
Pernikahan Nita dan Kandar terjadi lantaran karena suatu musibah yang tak dapat dielakkan. Penyebabnya masih seputar perayaman juga. Mirisnya lagi mereka menikah tanpa perayaan bahkan pakaian pengantin sekalipun.
"Ya, Tuhan. Andai saja bukan karena tragedi tahi ayam, mungkin kami tidak akan pernah terjebak di kamar yang sama. Orang-orang pasti tidak akan menuduh kami berbuat mesum hari itu." Kenang Nita sambil menatap cermin wastafel kamar mandi. Saat ini otaknya sedang dalam mode waras.
Kilasan kisah sebulan yang lalu kembali hinggap di kepala. Betapa Nita merasa hidupnya kurang beruntung. Sudahlah nikah tanpa cinta, belum unboxing pula. Sedih yah bestie! Sesaat mengingat ekspresi sang suami hari itu, tiba-tiba membuat Nita merasa geram.
"Dia juga kenapa setuju-setuju saja. Apa tidak sadar kalau perusahan melarang hubungan asmara rekan sekantor? Bagaimana kalau sampai perusahaan tahu kami menikah diam-diam dan dipecat? Mau cari kerja dimana nanti?" gerutunya kemudian.
Nita tahu, ia dan Kandar tidak punya pilihan lain hari itu. Demi keamanan karir masing-masing keduanya sepakat merahasiakan pernikahan dari perusahan. Mengingat adanya peraturan larangan hubungan asmara sesama rekan sekantor.
"Nita, kamu masih lama di dalam?"
Tiba-tiba terdengar suara mengejutkan dari luar pintu kamar mandi. Siapa lagi kalau bukan Kandar, si atasan yang merangkap jadi suami. Baru saja dipikirkan orangnya malah langsung memanggil. Kuat sekali telepatinya!
"Sebentar lagi saya akan keluar, ada apa?" Suara Nita sedikit meninggi.
"Ada yang ingin saya tanyakan padamu? Ini sangat mendesak," sahut Kandar.
Garis di kening Nita langsung tercetak dengan jelas. Masalah sepenting apa yang sampai membuat Kandar mendatanginya ke kamar mandi. Apa jangan-jangan soal pekerjaan?
"Apa itu?" tanya Nita memastikan.
"Aku tunggu kamu selesai saja baru kita bicara." Jawaban tanggung dari Kandar justru semakin membuat penasaran.
Ah, Nita tidak bisa tenang kalau rasa ingin tahunya belum terpecahkan. Tanpa pikir panjang perempuan itu bergegas keluar dengan kimono handuk. Padahal ia sudah membawa pakaian ganti saat mau pergi mandi tadi. Ia buru-buru keluar saking penasarannya dengan ucapan Kandar.
"Astaga!" Mulut Nita refleks berucap begitu pintu kamar terbuka.
Betapa ia kaget setengah mampus, mendapati keberadaan Kandar yang tak jauh dari pintu. Penampilan pria itu tidak ada bedanya dengan tadi. Masih dalam keadaan polos dan belum tertutup pakaian, kecuali balutan handuk yang masih melilit di pinggang. Rada tegang pula wajahnya.
"Ada apa ini?" pikir Nita curiga.
Belum sempat bertanya apapun tiba-tiba kejutan baru datang di depan mata. Entah bagaimana handuk milik Kandar tiba-tiba melorot, bahkan sampai menampakkan bonggol jamurnya. Astaga! ternyata dia tidak pakai celana dalam.
ARGGH! Nita langsung berteriak dan saat itu juga reflek menutup mata dengan tangan. Namun sayangnya jari-jari perempuan itu tidak tertutup rapat. Sehingga ia masih bisa dengan jelas melihat benda keramat milik Kandar
"Itu… itu!" teriak Nita sambil menunjuk-nunjuk ke arah si bonggol jamur dengan tangannya yang lain. Bermaksud agar sang suami segera menutupinya.
Namun yang terjadi, Kandar sama sekali tidak terpengaruh. Dia malah terlihat santai seakan tanpa beban. Bahkan sempat memandang 'miliknya' selama beberapa detik sebelum mengambil handuk di lantai.
"Ah, sial!" Gerutu Nita sebelum berlari menjauh.
***
Beberapa menit kemudian.
"Hey… Nita! Kamu marah sama saya?" tanya Kandar.
Pria ini berusaha membujuk. Sementara sang istri tidak menggubris dan pura-pura menonton televisi. Sejak insiden bonggol jamur tadi, Nita sama sekali tidak mau menoleh wajahnya.
"Begitu saja marah? Harusnya kamu senang dong bisa melihat aset berharga suamimu secara langsung," ujar Kandar dengan enteng.
Mendengar hal itu hati Nita mulai terbakar kesal dan akhirnya menatap dengan benar. "Senang kata bapak?"
"Bukan bapak Nita, tapi suami!" Kandar langsung menyela.
Begitulah kelakuan pasutri ini. Meskipun sudah sebulan menikah mereka terkadang masih terbawa suasana formal dari tempat kerja. Maka tidak heran ada kalimat 'Aku' dan 'Saya' yang tidak konsisten dari mulut salah satunya. Apalagi Nita, perempuan itu masih belum terbiasa bicara santai dengan sang suami layaknya seperti pasangan sungguhan.
"Terserah saya mau panggil bapak, suami ataupun pak suami. Pokoknya saya tidak terima dengan tingkah bapak barusan. Seharusnya benda itu sangat privasi bukan untuk dipamerkan," protes Nita.
"Namanya juga kecelakaan, siapa yang bisa mengira akan kejadian seperti ini. Lagipula yang lihat kan istri sendiri, apa salahnya?" Ada jeda sedikit sebelum Kandar melanjutkan.
"Memangnya kamu rela kalau benda ini dilihat perempuan lain dulu sebelum kamu?" Pria itu melirik tonjolan miliknya dan Nita secara bergantian.
"Hah, sudahlah! Malas bicara sama Bapak." Nita buru-buru memalingkan wajah, mukanya tampak memerah bagai kepiting rebus. Untuk beberapa saat bayangan bonggol jamur itu menari-menari di kepala.
"Benarkah? Yakin tidak ingin menanyakan sesuatu? Kamu tau kan kalau saya sudah sibuk tidak bisa diganggu?" Kandar seperti sengaja memancing.
Dalam hitungan mundur dari angka 3, masih belum ada tanda-tanda Nita merespon. Sampai akhirnya teringat alasan kenapa ia buru-buru keluar dari kamar mandi hingga terjadi insiden itu. Bukankah karena gara-gara penasaran dengan ucapan Kandar sebelumnya?
"Tunggu, tunggu sebentar!" Nita menahan suaminya yang sudah siap bergerak pergi.
"Kenapa, berubah pikiran?" Wajah Kandar menyiratkan sebuah kemenangan.
"Anggap saja seperti itu. Tadi hal mendesak apa yang mau bapak tanyakan?" tanya Nita.
"Panggil Suami, Nita. Bukan bapak!" Perintah Kandar.
"Baiklah Pak suami, masalah apa yang mau anda bahas tadi?" tanya Nita dengan senyum tidak ikhlas.
"Oh itu, saya mau pinjam charger milikmu. Punya saya ketinggalan di mobil," jawab Kandar dengan tenang.
Suasana mendadak hening beberapa saat. Nita nyaris tidak percaya dengan apa yang terjadi. Ia buru-buru keluar dari kamar mandi tanpa ganti pakaian dan bahkan sampai menyaksikan bentuk polosan kejantanan Kandar secara langsung, hanya karena alasan ini?
"Jadi hanya karena itu?" tanya Nita berusaha memastikan.
"Iya, hanya itu. Memangnya apa yang kamu harapkan?" Lagi-lagi Kandar menjawab dengan tenang.
Sungguh rasanya Nita ingin mengumpat kalimat kasar sekarang. Dalam hitungan 3 mundur ia refleks melempari Kandar dengan bantal kasur. Saking kesalnya!
"Hah, dasar!"
Selama hampir tiga tahun bekerja di perusahaan perayaman, Nita baru dua kali bertatap muka langsung dengan direktur utama. Pertama, saat tes wawancara dan yang terakhir sewaktu penandatanganan kontrak. Setelah itu sosok petinggi mereka bagai tenggelam di dasar bumi. Keberadaannya benar-benar langka untuk ditemukan. Lantas sekarang, kenapa tiba-tiba malah ngajak bertemu? Mencurigakan! "Ada masalah apa kalau boleh tahu?" Pertanyaan Nita menahan posisi Vivian di dekat pintu. "Soal itu saya kurang tahu. Tugas saya hanya menyampaikan pesan dari pihak direktur utama," jawabnya dengan senyum formal. Otak Nita mulai menduga berbagai hal tentang kemungkinan-kemungkinan yang masuk akal. Mengingat momen seperti ini cukup langka baginya. Sementara wanita dua tahun diatas Nita itu nyaris beranjak dari posisinya. Namun terhalang oleh sahutan Kandar yang tiba-tiba. "Terimakasih atas informasinya, Vivian. Sebentar lagi kami akan datang ke sana," ucap pria itu. "Oh, baiklah. Nanti akan saya
"Leherku?" Nita tertegun sesaat mendengar penuturan Mimi. Dalam waktu bersamaan tangan rampingnya mengusap batang leher dengan gerakan cepat. Berusaha menyembunyikan rasa keterkejutannya yang hampir meledak. Padahal, Nita sangat yakin bekas kemerahan itu nyaris hilang. Bahkan masih bisa tertutup oleh kerah kemeja yang dipakainya. Lantas, bagaimana bisa tanda kemerahan yang hampir memudar itu masih terlihatan oleh Mimi? Memangnya mata gadis itu mengandung sinar X-ray apa? "Ah, itu bukan apa-apa. Hanya bekas gigitan nyamuk saja," kilahnya beralasan. Nita sangat berharap rekannya itu percaya. "Benarkah?" Senyum Mimi melebar seperti meragukan ucapannya. "Tentu saja..." Nita memasang raut wajah yang meyakinkan. "Kamu tahu, aku memiliki tipe kulit yang susah hilang bekasnya kalau digigit nyamuk. Kata orang itu disebut darah manis." Khusus yang ini Nita berkata sesuai fakta. Tubuhnya memang rentan diincar nyamuk, terutama saat menjelang datang bulan. Jadi ia sangat ketergantungan
Jam sudah menunjukkan pukul 06.45 pagi. Bagi seorang Nita, ia sedang dalam masalah besar. Perempuan itu tampak bergegas mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Meskipun rutinitas produktif akan dimulai 75 menit lagi, tetap saja ia merasa terancam akan telat datang ke kantor. "Kalau saja sekarang bukan hari senin pasti aku tidak sepanik ini," gumamnya cemas sambil meraih tas kerja dan bergegas keluar kamar. Bagaimana tidak panik kalau setiap senin jalanan selalu diwarnai dengan kemacetan. Belum lagi sulitnya mencari ojek yang bisa mengantar tepat waktu. Betapa Nita sangat menyesal karena gara-gara salah setel jam alarm, ia sampai bangun kesiangan. Lantas, bagaimana dengan Kandar? Tampaknya pria itu belum terlalu lama pergi. Jejak aroma apel segar miliknya masih tercium hingga ke pintu depan. Hal itu tidak menjadi masalah bagi Nita. Sebab, selama ini mereka selalu berangkat kerja secara terpisah demi menghindari kecurigaan orang-orang di kantor. Belum lagi setelah kejadian kemarin
SREEG! Pintu kamar terbuka pelan. Nita terlonjak kaget mendapati kemunculan Kandar yang tiba-tiba bersama bantal dan selimut di tangannya. Mau apa dia kemari? Jangan-jangan... "Saya masuk ya." Kandar langsung bicara, sebelum Nita sempat bertanya. "Ah, iya. Silahkan!" ucapnya setengah terpaksa. Mau ditolak juga percuma, Kandar sudah terlanjur memasuki kamar. Nita yang tadinya sedang berbaring buru-buru bangkit dan duduk di atas kasur. Bersamaan dengan itu pendengarannya menangkap suara khas anak kunci yang diputar cepat. "Kenapa pintunya dikunci? Jangan katakan kalau bapak mau..." Nita menatap tajam ke arah Kandar yang semakin mendekat. "Ini bagian dari rencana kita sebelumnya. Hanya sebagai alibi supaya Rudy tidak curiga." Kandar buru-buru menjelaskan. "Yakin hanya itu?" Nita memasang tampang ragu. Kandar mengangguk, seolah membenarkan. Raut wajahnya sangat meyakinkan di mata Nita. Haruskah ia mempercayainya? Sekalipun pria itu berbohong, tetap saja tidak akan menjadi
Suara dering ponsel memecah ruangan kamar bernuansa gelap. Menarik kesadaran Kandar dari ingatan masa lalu hingga membuatnya terkesiap sesaat. Buru-buru dia meraih ponsel. Sebuah nama familiar yang tertera di layar membuat dahinya mengernyit. Tumben sekali orang ini menelpon.“Halo?” sapa Kandar saat menjawab panggilan."Hai Bro, kau di mana sekarang?" tanya pria di seberang sana tanpa banyak basa-basi."Sekarang masih di rumah. Kenapa kau bertanya?" Kandar seperti mencurigai sesuatu. Tidak biasanya Rudy menelpon jika bukan karena hal darurat."Aku sekarang ada di kota L. Apakah pengantin baru menerima tamu di akhir pekan? Rencananya aku ingin mengujungimu hari ini," kata Rudy.Otak Kandar langsung berpikir cepat. Dia nyaris berkata tidak karena sudah merencanakan sesuatu bersama Nita nanti malam. Tapi setelah dipikir-pikir, justru dengan kemunculan Rudy akan memuluskan ide tersebut."Tentu, ka
Sore yang cerah, namun tidak secerah hati Nita. Perempuan itu duduk melamun di kamar sambil menatap sembarang ke luar jendela kaca. Segenap pikirannya sekarang masih tidak lepas oleh kejadian beberapa jam yang lalu.Saat itu Nita sedang bersiap untuk makan siang bersama Kandar. Dengan tatapan intens ia terus memperhatikan detik-detik sang suami menyantap masakannya. Perasan khawatir mulai menyerang jika rasanya tidak sesuai selera. Begitu makanan itu berhasil melewati kerongkongan Kandar tidak ada kesan mengecewakan yang terlihat. Benarkah demikian?"Bagaimana rasanya?" Nita memberanikan diri untuk memastikan."Sangat luar biasa," jawab Kandar singkat. Tapi sejurus itu tangannya langsung menyambar gelas minuman.Entah kenapa Nita merasa tidak yakin. Baginya gelagar Kandar agak sedikit meragukan. Apalagi ia lupa mencicipi rasa masakannya dan hanya bermodalkan feeling."Kamu tidak ikut makan?" Pertanyaan Kandar men