공유

Bab 3: Mobil Sama

작가: Ana Sh
last update 최신 업데이트: 2021-08-21 16:51:12

Entah dapat kekuatan dari mana. Aku justru tertantang untuk membuktikan bahwa sikap Nely itu hanya modus belaka. “Oke, mari kita lihat sampai kapan si Nely itu kuat membayar biaya hotel tiap kapal sandar.”

Aku tidak boleh terlihat gentar. Jangan karena informasi sepihak dari Mas Wildan, aku langsung percaya begitu saja pada sosok Nely yang diceritakannya. Bisa saja itu semua hoax, bukan? 

“Aku mau balik ke rumah sakit sekarang, Mas. Kamu mau ikut atau istirahat di sini terserah!” Kusiapkan juga baju-baju Rheza, perlengkapan mandi, dan skincare.

“Aku mau mandi dulu. Nanti aku nyusul. Oh ya, besok pagi aku harus balik. Karena sore kapal sudah muat. Aku enggak bisa ngajukan libur mendadak karena semua sudah terjadwal,” jelas Mas Wildan dengan tenang.

“Kamu bilang enggak bisa libur utuk jagain Rheza, tapi kamu liburan di tempat lain aku juga enggak tahu, Mas.” Biasanya aku langsung percaya apa yang ia katakan. Namun, sejak kasus ini terkuak, rasa curigaku membabi buta.

“Kamu sudah enggak percaya sama Mas sekarang?”

“Kamu sendiri yang merusak kepercayaan itu.”

Tak lama berbasa-basi, aku langsung mencari kontak motor. Kuambil tas isi baju dan perlengkapan yang tadi telah kusiapkan. Rasanya aku ingin segera menghindar dari Mas Wildan. Kenapa dia enggak balik kerja malam ini saja. Tidak bertemu dengannya untuk sementara waktu sepertinya lebih baik buat kesehatan jiwaku.

***

Waktu menunjukkan jam sembilan malam lebih. Arus kendaraan masih cukup ramai saat kutempuh perjalanan menuju rumah sakit. Jarak rumahku dan rumah sakit hanya tujuh kilo meter. Saat berhenti di perempatan lampu merah, air mataku kembali tumpah. Tiba-tiba terbayang perceraian atau aku harus berkompromi dengan si Nely itu? Aku masih belum bisa membayangkan bagaimana nasib rumah tanggaku setelah ini. 

Kucoba mengalihkan fokus ke anakku dulu. Rheza lebih membutuhkanku sekarang. Setiba di rumah sakit, aku segera menaruh tas di kursi tunggu ruang pemulihan pasca operasi. Kami belum mendapat kamar untuk rawat inap. Kata pihak rumah sakit, semua kamar masih penuh. Semoga besok sudah ada kamar kosong.

Ibuku menyandarkan kepalanya pada tepi ranjang pasien di ruang pemulihan pasca operasi. Rupanya beliau tertidur di samping cucunya. Wajah yang sudah keriput itu, haruskah kubebani lagi maslah? Sungguh, aku tak tega. Biarlah kusimpan sendiri dulu sampai batas kekuatanku. Baru jika aku sudah tak kuat menanggungnya, akan kulibatkan keluarga besar. 

“Bu, bangun! Biar Alya yang gantiin jaga Rheza,” kugoncang bahunya perlahan. Begitu melihatnya terjaga, aku kembali menitipkan pesan, “Oh ya, nanti kalo Mas Wildan sudah datang, ibu minta antar pulang saja. Dia ke sini bawa mobil.”

“Ibu pingin di sini, Nduk,” tolaknya.

“Ibu istirahat saja di rumah. Kita belum dapat kamar soalnya. Lagian sudah ada Mas Wildan. Besok saja ibu balik ke sini lagi. Karena Mas Wildan harus balik kerja.”

Wanita berusia kepala enam itu berjalan meninggalkan ruangan. Pandangan kualihkan kepada Rheza. Kuelus-elus tangan mungilnya. Seandainya aku tidak pernah keguguran, Rheza akan menjadi anakku yang ke tiga.

“Rheza, cepat sadar ya, Nak! Habis ini kita main kereta Thomas lagi.” Kuajak anakku bicara meskipun matanya masih terpejam. Tangan kecil yang tadi kupegang memberi reaksi.

“Bunda…” Suaranya lirih memanggilku.

“Alhamdulillah. Anakku sadar. Ya sayang…bunda di sini.”

“Mimik .…” 

Sepertinya dia haus, tetapi aku harus tanya perawat dulu apa sudah boleh minum sekarang. 

“Sebentar ya, Sayang, tunggu dulu!”

Segera kuberlari kecil menuju perawat yang jaga di pojok ruang pemulihan. Dari penjelasannya, anakku sudah boleh minum air putih atau teh karena sudah lewat dari dua jam pasca operasi. 

Segera kuambil air mineral kemasan tanggung itu beserta sedotannya. Kuganjal kepala Rheza dengan bantal. Lalu kulepas masker yang terhubung ke tabung oksigen itu.     

“Diminum pelan-pelan ya, Sayang.”

Setelah menyedot tiga kali tegukan, Rheza kembali bicara. “Ayah…?”

Ya Allah, anakku mencari bapaknya. 

“Iya sayang, ayah pulang. Bunda teleponkan dulu ya.”

Dengan suara lirih kucoba melakukan panggilan ke Mas Wildan, tetapi ponselnya sedang sibuk. Kuulang sekali lagi masih saja nomornya ada di panggilan lain. Ya ampun, Mas. Kamu lagi telepon sama siapa sih malam-malam begini?

“Sebentar ya, Sayang. Ayah masih di jalan.”

Aku keluarkan boneka mobil Thomas untuk menenangkan Rheza. Hadiah dari temannya Mas Wildan ini menjadi teman tidur Rheza di rumah.

“Lepas! Lepas!” Tangan Rheza mencoba untuk mencopot masker yang dipasang di mukanya. 

“Jangan Sayang, biar adik sembuh dulu. Tetap dipakai, ya!”

Ponselku bergetar. Rupanya panggilan dari Mas Wildan. Aku tadi memang meninggalkan pesan agar ia segera masuk ke sini jika sudah tiba di rumah sakit.

“Ada apa, Dik?”

“Dicari Rheza. Dia sudah sadar.”

“Iya, iya. Ini aku sudah di dalam lift. Dua menit lagi nyampe.”

Selang beberapa menit kemudian Mas Wildan dberatang. Kuperhatikan dua laki-lakiku yang sangat mirip itu. Semoga kemiripan itu berhenti di fisik saja. Jangan sampai Rheza meniru kelakuan bapaknya juga saat berumah tangga nanti.

“Ayah, gendong!” Anak itu terlihat senang bapaknya pulang. 

Mas Wildan menatapku, seperti minta persetujuan. 

“Gendong saja. Hati-hati! Awas selang infus dan oksigennya.” Aku tinggalkan mereka berdua. Sebab penjaga pasien dibatasi satu orang saja.

***

Semalaman kami bergantian menjaga Rheza. Sehingga tak ada kesempatan berbicara. Hingga waktu pagi tiba. Ibu dan Kakak perempuanku datang membawa dua bungkus nasi pecel. Ibu menyuruh kami sarapan, tetapi kami kompak menolak. Jam tujuh pagi perutku belum menuntut haknya. 

“Bu, Wildan pamit balik dulu.” Diciumnya punggung tangan ibuku.

Oalah … kok sebentar?”

Inggih, Bu. Cuma dapat izin sebentar. Jadwalnya kru yang lain yang libur.”

Ya wis. Hati-hati ya, Nak. Kerjo adoh iku akeh penggudo. Sing rajin dungo,” pesan Ibu kepada menantunya yang terasa mengena sekali.

Mas Wildan beralih pamit padaku, “Dik, Mas berangkat dulu. Yang sabar ya!”

Kuraih tangannya dan kucium punggung tangan itu, “Maaf enggak bisa anter.” Biasanya aku selalu mengantar Mas Wildan ke terminal.

“Enggak apa-apa, kamu jaga Rheza saja. Aku usahakan mengurus libur secepatnya.” Dia mengecup keningku seperti biasa saat hendak balik kerja.

Ja’alallahu takwa zaadaka wa ghofaro dzambaka wawajjahaka lil khoiri haitsuma wajjahta.” Meski hati ini sakit, aku masih mendoakan keselamatannya. Sebuah rutinitas setiap mengantar kepergiannya mencari nafkah. Namun, kali ini ada rasa yang berbeda. Kulepas kepergian Mas Wildan dengan perasaan entah.

***

Jarum jam dinding belum tepat menunjuk pukul sembilan pagi. Mbak-Mbak perawat memberi kabar akan ada kamar untuk anakku. Kamar VIP penuh. Sehingga kami dipilihkan kamar kelas satu, tetapi dicarikan yang pasien satunya juga anak-anak. Akhirnya, Rheza sudah boleh pindah dari ruang pemulihan ke kamar rawat inap. Di kamar ini kami lebih leluasa mengobrol. Tak lama kakak laki-lakiku datang bersama istrinya.

Loh, kamu di sini toh, Al?” tanyanya dengan dahi berkerut.

“Iya, dari tadi aku di sini. Kenapa emangnya, Mas?”

“Tadi pas aku mau parkir beli cemilan buat Rheza, aku lihat Wildan masuk mobil. Lah mobile sama persis warnanya dengan punya kalian, neh. Aku pikir ya sama kamu. Di kursi depan ada perempuan berkerudung,” ucap Kaka lelakiku berapi-api.

“Mas salah lihat kali. Mas Wildan sudah balik pagi tadi,” sangkalku.

“Enggak lah. Aku yakin itu suamimu,” kekeh Kakakku.

“Lah mobilku di parkiran kok, Mas. Ini kontaknya ditinggal sama Mas Wildan.” Aku tunjukkan kontak yang masih tergeletak di atas nakas.

“Aneh, enggak mungkin aku salah lihat. Tahu gitu aku samperin dia tadi. Biar yakin.”

Wis toh, Mas. Kamu ini niat jenguk Rheza apa bikin Alya kepikiran!” pungkas kakak iparku.

“Ya nantilah aku tanyakan. Biar Mas enggak penasaran.” Kupaksakan menyunggingkan senyuman. Sepertinya mulai sekarang aku harus belajar bersandiwara.

Laki-laki yang mulai beruban itu pun mendatangi keponakannya. Selain dibawakan cemilan, Rheza juga dibelikan kereta warna merah, James namanya. Temannya Thomas yang suka kebersihan. Rheza sangat senang mendapat hadiah dari pamannya.

Sementara itu, aku menahan rasa penasaran. Benarkah yang dilihat kakak laki-lakiku itu Mas Wildan? Informasi suamiku naik mobil bersama seorang wanita berkerudung membuatku linglung. Mungkinkah itu Nely? Rumahnya di mana kok sampe menjemput Mas Wildan ke sini?

Andai anakku tidak sedang sakit, pasti aku bergerak cepat menyelesaikan teka-teki ini. Aku berpikir keras siapa kira-kira yang bisa kuminta bantuan mengumpulkan informasi tentang Nely.

.

.

[Bersambung]

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 98: Kelahiran (Tamat)

    Sebuah mobil jenis MPV berhenti tepat di rumah lantai dua dengan pagar warna putih. “Hati-hati ya Sayang, yang patuh sama Bapak Ibu Guru di sekolah,” pesan Alya kepada Rohim.“Iya, Bunda. Assalamu’alaikum.”Alya pun segera menjawab salamnya Rohim. Kemudian anak itu mencium pungung tangan Alya dan Alya balik mencium keningnya. Sejak Alya mengambil cuti melahirkan, Rohim diikutkan travel sekolah sebab Akmal sendiri tidak bisa dipastikan dapat mengantar jemput setiap pagi. Termasuk pada hari ini. Bakda Subuh Akmal bersama timnya harus pergi ke luar kota sebab ada agenda pembebasan lahan untuk proyek pembangunan perumahan baru.Saat Rohim hendak naik ke mobil, suara motor berhenti di depan rumah Alya. Menghalangi laju mobil yang akan berangkat.“Rohim!”Panggilan itu memalingkan Rohim juga Alya.“Mas Wildan!”

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 97: Menebus Rasa Bersalah

    Lantunan kalimat tahlil terdengar menggema di rumah Pak Danu. Kali ini tidak ada kaitannya dengan ritual selamatan kematian. Pak Danu mendapat giliran tahlil dari rumah ke rumah. Acara rutin yang diadakan warga kampung. Di tengah acara, datang laki-laki bercelana hitam dan berbaju koko putih. Dia ikut duduk di teras dan mengikuti bacaan tahlil. Lima belas menit kemudian bacaan tahlil telah usai dilakukan. Suguhan lontong sayur mulai diedarkan kepada seluruh warga yang datang. Setelah selesai menyantap suguhan, mereka semua pamit dengan membawa berkat nasi dan kue. Kecuali laki-laki berbaju koko putih dan bercelana hitam itu tetap di tempat. Sosok itu lalu berdiri dan mendekati Pak Danu begitu semua anggota jemaah tahlil sudah angkat kaki.“Assalamu’alaik

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 96: Kematian

    “Yang … jangan tinggalin aku.” Nely setengah berteriak memanggil Wildan. Dia sedang berjuang mengapung agar tak tenggelam. Tangan dan kakinya bergerak tak tentu arah. Mulutnya megap-megap sebab air laut mulai masuk ke dalamnya.“Yang …” Panggilan itu terus terulang.Namun, sosok yang dipanggil sama sekali tak bergerak mendekat. Situasi ini sangat berbeda saat Nely terjatuh dari kapal karena selfie dulu. Nely kian frustasi. Satu-satunya harapan dia selamat adalah pertolongan laki-laki yang pernah tergila-gila padanya itu. Harapan tinggal harapan. Wildan hanya memejamkan mata dan menggerakkan kedua kakinya ke kiri dan ke kanan agar memperoleh keseimbangan. Saat ini yang ada dalam benaknya adalah ibunya yang meninggal lantaran ulah wanita yang kini berteriak meminta tolong kepadanya. Ada pergul

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 95: Ekspresi Terima Kasih

    Di sebuah baby shop, terdapat pakaian bayi dan anak-anak yang lucu. Sebagian terlipat rapi dalam rak. Sebagian lain digantung. Hari ini Akmal sekeluarga jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Begitu melihat baju bayi terpampang di balik kaca, Alya spontan membelokkan kakinya.“Mas, ini bagus, enggak?” Alya mengambil satu baju motif bunga warna merah muda.Akmal hanya mengacungkan dua jempolnya. “Tapi itu baju anak cewek, Yang. Kita kan belum tahu jenis kelaminnya?” Tangan Akmal mengelus perut Alya perlahan.“Feeling-ku mengatakan anak kita perempuan, Mas.”“Aku pingin laki-laki,” sahut Akmal.“Kalo yang lahir cewek?”“Ya kita bikin lagi,” jawab Akmal sambil nyengir.“Sampai dapet baby boy?” Alya mempertegas maksud suaminya.

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 94: Kunci Istikamah

    “Mau kemana, Bro? Dah rapi banget. Pake baju koko macam ustaz saja.” Joseph yang sedang tidur-tiduran keheranan melihat teman sekamarnya.“Aku rencananya tiap kapal sandar di Penang akan ke pondok Syaikh Saleh, Jo. Itu, orang yang nolong aku.”“Oh, baguslah. Oya, soal Nita. Gue minta maaf ya, Bro,” ucap Joseph sambil menepuk-nepuk punggung lelaki yang saat ini mengenakan peci warna putih. Benda yang sudah lama tersimpan di dalam lemari.“Malam itu sebenarnya gue lihat Nita yang lepasin baju lo. Dia minta bantuan gue tuk dapetin lo. Makanya gue disuruh cerita yang baik-baik tentang Nita,” jelas Joseph.“Aku sudah lupain semunanya kok, Jo. Dah, enggak usah dibahas. Aku berangkat dulu, ya. Mau, ikut?” tawar Wildan serius. Barangkali saja temannya itu ikut tobat.“Thanks, Bro! Tar deh kalo gue dah tobat,” sahutny

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 93: Raungan Ibu

    “Pak, aku mau nyari Nely.” Perempuan yang sudah mempunyai lima cucu itu hanya membolak-balik tempe goreng yang sudah tercampur bumbu pecel.“Mau nyari ke mana toh, Buk’e?”“Aku tak ke rumah Wildan iku, Pak. Mestinya Nely di sana.”“Lah emange ngerti rumahnya?”“Ngerti, Pak. Dulu ‘kan pas Nely jatuh dari sepeda terus keguguran, aku dampingin dia pulang ke rumah Wildan,” ucap Bu Danu yang sudah tak kuat menanggung rindu.“Oalah, Buk, Buk. Nanti malah bikin masalah.”“Ora, Pak. Atiku enggak tenang iki,” kilah Bu Danu sambil mencak-mencak. “Assalamu’alaikum!” Perempuan berwajah ayu mengucapkan salam di pintu pagar. Pak Danu dan istrinya yang sedang menikmati

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status