Belum lama ia merasa lega, namun rupanya sang mama kembali membuatnya tersiksa dengan ancamannya itu.
"Si Bohay bohong, Ma," sergahnya seraya memelototi Rico agar diam. "Aku udah nggak ngedeketin Lily lagi, kok, sumpah," lanjutnya berbohong.
Rico yang duduk di samping dengan leluasa menggigit kedua jari telunjuk dan tengah Bara yang membentuk V. Bara kembali memelototinya, sahabatnya ini memang tidak bisa diajak kompromi.
"Jangan bohong kamu." Lily yang tengah melilit jempol Bara dengan kasa menginterupsi.
"Beneran, Ma. Aku nggak bohong, si Bohay emang asal jeplak aja. Mana tau, sih, dia tentang hubungan aku sama Lily, yang dia tau, tuh, cuma ... makanan!" ucap Bara sengaja mengeraskan kata 'makanan' tepat di telinga Rico.
Bella hanya menggelengkan kepalanya, melihat anak semata wayangnya itu masih bersikap kekanak-kanakan. Astaga, salahkan dia yang sering memanjakan Bara.
"Sudah selesai." Bella kembali merapikan peralatan P3K ke dalam kotaknya dan kembali meletakkan di tempatnya.
"Ada apa ini?"
Semua mata tertuju pada sosok lelaki yang baru saja datang dan berdiri di ambang pintu.
"Itu, Pa, si Ganteng ketiban meja," jawab Bella seraya berjalan mendekati sang suami.
Mimik wajah Bisma seakan menahan tawa, dan tak lama tawa itu benar-benar meledak. "Hahaha!"
Sedangkan Bella hanya mengulum senyum, mungkin ia pun merasa geli, tapi rasanya tidak benar menertawakan anaknya yang terkena musibah.
Rico malah ikut tertawa dan sudah dipastikan ia mendapatkan picingan mata yang begitu sengit dari Bara, namun tak lantas membuatnya berhenti tertawa.
Di ujung tawanya, Bisma menepuk-nepuk tangannya beberapa kali agar bisa menghentikan tawa yang rasanya tak mau berhenti.
"Udah, Pa. Ih! Anak lagi kena musibah malah ditawain," ucap Bella agar tawa suaminya berhenti.
"Oke oke." Bisma berdehem sebentar, lalu lanjut mengatakan sesuatu. "Abis lucu anakmu itu."
"Anakmu juga," koreksi Bella.
Bara melihat itu hanya bisa menekuk wajahnya, merasa tidak ada harga diri.
Argh!
Semua ini karena gadis itu, batinnya meronta kembali menyalahkan Rose.
Sekali lagi Bisma berdehem, kali ini ia merubah ekspresi wajahnya menjadi serius. "Koper Papa sudah siap, Ma?" tanya Bisma kemudian.
"Udah, Pa. Beres!" jawab Bella seraya mengangkat jempol.
Bara sedikit bingung, mendengar papanya menanyakan koper. Apa itu berarti papanya akan segera berangkat dinas?
"Lah, Papa mau berangkat hari ini juga?" tanya Bara penasaran. Pasalnya ia lupa tanggal berapa papanya akan berangkat dinas sebagai abdi negara.
"Iya, masa kamu lupa. Ckckck." Bisma berdecak sambil menggelengkan kepalanya.
Yang bisa dilakukan Bara hanya menggaruk tengkuknya, sambil menunjukkan gigi putihnya, tersenyum lebar sekali.
Bisma langsung memutar bola matanya, memiliki anak satu-satunya laki-laki pula, tapi tidak bisa diandalkan, bahkan hanya mengangkat meja saja harus tertiban. Bisma merasa telah gagal mendidik Bara menjadi lelaki tangguh sepertinya.
"Yasudah, kalian keluar sana, Papa mau kangen-kangenan sama Mama dulu," usir Bisma.
Mata Bara mendelik kesal, kakinya masih terasa sakit, tapi papanya malah mengusirnya.
"Bohay, bantu Bara jalan. Kalo badannya keberatan lemparin aja," tambah Bisma sarkastis.
"Siap, Om!" Rico langsung berdiri tegap mendengar titah dari sang tentara itu.
Bara langsung melotot tak percaya dengan ucapan papanya barusan, lalu membalas tak terima, "beratan juga dia, Pa!"
"Yasudah cepet sana!"
Dengan sigap Rico menarik Bara dan memapahnya keluar dari kamar orangtuanya dengan tertatih.
***
Rico sudah duduk tenang di atas motor Nmaxnya, lengkap dengan menggunakan helm.
"Bro, gue balik dulu, ya. Salam buat Tante dan Om," pamitnya pada Bara.
Seharusnya ia mengantar Bara sampai ke kamarnya, tapi Bara menolak dengan dalih ingin duduk menikmati udara senja di teras rumah. Padahal alasan sebenarnya adalah sosok Rose yang dikurungnya dalam kamar.
Ah, mengenai sosok Rose, ada keinginan di hati Bara untuk bercerita pada sahabat gempalnya itu, tapi waktu tidak memungkinkan untuk bercerita sekarang, masih banyak yang harus ia pertanyakan pada Rose.
"Oke, hati-hati di jalan, ya," balas Bara yang tengah duduk di tangga teras rumah bergaya panggung itu.
"Sip!" Rico mengangkat tangannya membentuk hormat lalu tak lama ia hempaskan. "Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
Bara menatap kepergian Rico dengan seribu tanya, bukan mengenai si gendut itu melainkan tentang gadis yang ada di dalam kamarnya.
Tanpa berpikir panjang yang ujungnya akan memperkeruh otak, ia memilih bangkit dan berjalan menuju kamar tempat Rose kini berada, untuk lanjut memastikan sesuatu yang begitu mengganggu pikirannya.
Dengan hati-hati Bara memijak, takut jempol kakinya menyentuh benda keras yang pasti menambah rasa sakitnya. Kali ini langkah kakinya jauh lebih lambat dari biasanya, hanya dari teras menuju kamarnya saja sampai harus melewatkan waktu bermenit-menit.
Namun, setiap usaha pasti akan membuahkan hasil, berkat dirinya yang tidak pantang menyerah, pada akhirnya ia sampai di tempat tujuan.
Dengan tak sabaran Bara merogoh kunci di sakunya untuk membuka pintu. Betapa leganya saat pintu kamarnya terbuka, tak ingin membuang waktu, Bara langsung memutar knop pintu dan masuk ke dalam kamar, tak lupa mengunci kembali pintu tersebut.
"Hah!" Hembusan napas terdengar begitu panjang, Bara menyenderkan bahunya di depan pintu, lelah juga rasanya berjalan dengan jempol yang membengkak ditambah ada rahasia yang harus ia jaga.
Hari ini, ia cukup merasakan tekanan batin dan fisik hanya karena gadis bermata besar yang datang tanpa diundang dan tak jelas asal-usulnya.
Sekarang saatnya untuk melanjutkan misi, mengintograsi gadis tersebut. Mata Bara membulat sempurna untuk menangkap keberadaan gadis tersebut.
Suara mesin mobil dihidupkan menghentikan Bara dari aktivitasnya menarik rambut. Rambut yang memang sudah acak-acakan, bertambah mengenaskan sekarang. Terlihat wajahnya memerah, lelaki itu benar-benar menangis, kesal dengan kusutnya jalan hidup seperti benang tak terurus.Tidak mungkin 'kan ia berdiam diri saja kala telah mengetahui dirinya terancam dirukiah?Menyebalkan! Sudah pasti ia harus bangkit untuk menghentikannya.Bara meninggalkan lantai dan beranjak menuju jendela yang tirainya baru sebelah di buka. Dengan sekali tarik ia menyibak tirai sebelahnya lalu membuka jendela cepat-cepat.Terlihat si Merah melaju meninggalkan bagasi dan keluar dari halaman rumahnya.Mulut Bara terbuka. "Ma!" panggilnya berharap terdengar."Mama!""Mama!""Ma!"Tidak ada tanda-tanda Bella menyadari panggilannya, mobil BMW itu terus melaju hingga wujudnya terputus dari jangkauan pandang.
Bella keluar kamar tergesa-gesa, gamis cokelat susu melekat pas di tubuhnya, lengkap bersama kerudung yang berwarna serasi. Wajah ibu kandung Bara itu terlihat gelisah, nafasnya memburu seraya mengunci pintu kamarnya dengan tangan yang gemetar."Ma." Bara datang menghampiri Bella untuk melihat kondisi sang mama yang sebelumnya ia duga tidak sedang baik-baik saja, dan dugaannya itu dibenarkan saat tangan dingin Bella menarik Bara untuk mendekat padanya."Ganteng!" sambut Bella sedikit berteriak namun tertahan, kini tangan memucatnya itu menggenggam erat telapak tangan milik Bara."Ada apa, Ma? Mama tadi kenapa teriak? Terus ini Mama kenapa jadi dingin dan pucat? Mama sakit?" tanya Bara beruntut, berlagak tidak tahu dan tidak mengerti padahal hatinya tengah berdetak kencang mencemaskan posisi Rose yang terancam.Bella menggeleng. "Mama baru aja dapet musibah.""M
Bara bersingut mundur dengan cepat, matanya membola saat Rose tiba-tiba melempar sihirnya dan sengaja dipantulkan ke lantai tak jauh dari posisinya. Mata gadis itu menajam, berubah gelap dan menampilkan wajah yang tidak menyenangkan melainkan menyeramkan. Matanya berkaca-kaca, memancarkan ketidaksukaan atas apa yang baru saja terjadi. Bara menelan salivanya kuat-kuat, untuk kedua kalinya ia merasakan seluruh persendiannya mati rasa setelah bertemu Rose. Begitupun ketakutannya akan kematian selayaknya tempo hari. "Ro-Rose ... ma-maafin gue," pintanya memohon masih dengan posisi terlentang ditahan siku sama seperti saat pertama kali dirinya melihat keajaiban dunia di mana Rose keluar dari cermin. "Ja-jangan Rose." Tangan kanan Rose kembali bergerak memutar, dari gerakan tersebut dengan mudahnya asap hitam yang bercahaya penuh glitter muncul di atas
"Ngung! Ngung!" Bibir kecil dan tipis Rose maju mengikuti ucapannya. Tampak lucu seperti anak kecil yang senang melihat sesuatu yang baru dan langsung ia sukai, sehingga menarik imajinasinya ke tingkat yang lebih tinggi. Menggemaskan. Tapi tidak untuk Bara, ia memutar bola matanya kesal, menarik bahunya untuk bangkit dan terduduk. Ia mengharapkan ketenangan seperti sebelum gadis itu datang, serta harapannya yang utuh terhadap Lily untuk menjadi kekasihnya. Tatapan sendunya penuh menatap Rose, bibirnya tertekuk ke bawah, sedih. "Bisakah?" tanyanya mengalihkan pandangan pada langit-langit kelambu, mungkin saja Tuhan mau mengasihaninya. "Hiks!" Bara membanting tubuhnya ke belakang kembali berbaring, menutup telinganya dengan bantal tak memberi kesempatan suara untuk masuk sedikitpun. Paman Tikus di sampingnya, sudah lebih dulu tenggelam di alam bawah sadarnya. Sedangkan Rose, gadis itu masih asik menikmati imajinas
Wah apa lagi ini? Karakter tersembunyi yang baru saja Rose tunjukkan membuat Bara takjub dalam hitungan detik. Gadis unik itu bukan hanya berotak cerdas dan peka, tapi juga suka melucu rupanya.Bara menahan senyumnya agar tidak mengembang, meski terbilang gurauan Rose garing, melihat tingkah lucunya cukup menjadi pengganti dorongan untuk membuat orang yang menyaksikannya tersenyum.Terlepas dari itu, terserah sajalah Bara tidak ingin terbawa perasaan. Jika ia tersenyum, takutnya sama saja membuka peluang tabir harapan Rose.Esok harinya Minggu datang, hari di mana Bara bebas dari mata kuliah dan dapat bersantai dengan ketenangan pikiran.Ah, berbicara tentang ketenangan pikiran sepertinya Bara sudah kehilangan hal tersebut semenjak Rose hadir dalam hidupnya dan Lily yang tidak pernah mau menjadi kekasihnya hingga meninggalkan ia memilih lelaki lain.Bara keluar dari kamar mandi dalam keadaan menggosok rambutnya yang basah me
"Sini biar gue aja." Tanpa permisi lelaki yang tengah mengalami patah hati itu merebut tissue dari tangan Paman Tikus membuat sang empu menyipit tak terima. "Lambat!" ejek Bara kepada Paman tikus, dan tanpa meminta izin kepada Rose, Bara langsung mengelap pipi Rose dengan tissue tersebut menggantikan Paman Tikus. Rose mengerjapkan mata bulatnya, memperhatikan wajah Bara dari dekat ada sensasi tersendiri. Sedangkan Bara tak mempedulikan itu, ia lebih memilih fokus mengelap wajah Rose yang masih tersisa bercak cokelat separuh. "Ngapain liat-liat?" tegur Bara tiba-tiba. Rose yang tertangkap basah anehnya tidak gugup sama sekali, ia menggeleng calm dengan tatapan polos yang tidak hilang. "Nggak usah heran, gue emang udah ganteng dari lahir, makanya dapet julukan si Ganteng," cetus Bara percaya diri menarik sudut bibir membentuk senyum miring. Mendengar kalimat itu Rose tak bereaksi, masih betah menyapu tatapannya di s