Share

Chapter 3

"Apa yang di ucapkan sama Ayah kamu itu, nggak ada benarnya. Perginya Bunda kamu, bukan karena kesalahan kamu. Melainkan takdir Bunda kamu yang udah harus pergi." 

Jia menjelaskan secara perlahan. Dia tahu bagaimana rasanya tidak diinginkan. Di tuduh membuat seseorang pergi, padahal itu bukan kesalahan kita.

Cukup dia saja yang merasakan bagaimana sakitnya. Ia tidak ingin jika anak dari sahabatnya merasakan apa yang ia rasakan selama ini.

"Tapi, memang itu benar, kan, Bi? Bunda pergi karena Raja. Raja itu..." 

"Raja pengen nyusul Bunda...."

"Kapan Raja bisa ketemu sama Bunda?"

"Kapan Raja bisa dipeluk sama Bunda?"

"Kapan Raja bisa tidur bareng sama Bunda?" 

"Kapan itu semua bisa terjadi dengan Raja?"

***

Sebuah buku yang sejak tadi ia pegang. Memperlihatkan deretan tulisan yang siapa saja melihatnya, pasti enggan membacanya.

Dia memperbaiki kacamata yang sedikit melorot, lalu tersenyum tipis.

"FILA! KELUAR KAMU!" 

Teriakan dari luar kamarnya, benar-benar mengganggu ketenangan perempuan itu. Dengan langkah malas, ia meletakkan kembali buku novel yang telah selesai ia baca ke tempatnya, lalu berjalan keluar kamar.

Terlihat dengan jelas, seorang wanita dengan daster bunga-bunga berkacak pinggang, menatapnya tajam.

"Baca novel lagi?" 

Suara mengimitasi itu mengudara.

"Enggak." 

Tentu saja dia bohong. Jika ketahuan membaca novel, dan mengabaikan deretan angka, yang selalu memenuhi hari-harinya, maka akan dipastikan jika sapu akan melayang dan mendarat di tubuhnya.

"Belajar apa tadi?" 

Pertanyaan yang selalu membuatnya muak, kembali terdengar.

"Kimia." 

Singkat, padat dan jelas.

"Tentang?" 

"Kimia?" 

Tampaknya wanita itu ingin rasanya mencekik leher perempuan di hadapannya. Dia menghela napas, lalu meninggalkan perempuan itu begitu saja. Fila masih terbengong, melihat tingkah Mama nya yang tidak seperti biasa.

Tak ingin mengambil pusing, Fila langsung masuk ke dalam kamarnya dan melanjutkan membaca novel miliknya yang lain.

***

"Raja mana?" 

Seorang wanita bertanya pada suaminya.

"Kok tanya aku? Mana lah aku tahu, kan aku baru pulang kerja," jawab sang suami.

"Loh, kamu nggak jemput Raja? Kan, ini udah jam pulang?" 

Sang wanita itu kembali bertanya.

"Dia nggak ada kirim pesan atau telepon aku. Jadi, ya, aku kita dia udah pulang." 

"Ya, seharusnya kamu---" 

Perkataan wanita itu terhenti karena mendengar teriakan dari luar.

"RAJA PULANG!" 

Teriakan itu mengalihkan pandangan pasangan itu.

"Astaga, pulang sama siapa kamu?" 

Wanita itu menghampiri lelaki itu.

"Mama nggak perlu khawatir gitu sama Raja. Tadi, Raja pulang sama teman. Makanya nggak kasih tahu ke Papa." 

Lelaki itu menjelaskan pada Mama nya.

"Bagus deh kalau gitu. Besok, Papa beliin motor aja kamu, biar nggak terus-menerus di antar jemput. Kalau seandainya kamu punya pacar, biar nggak malu-maluin," ujar sang Papa.

"Apaan sih, Mas. Kalau nanti Raja kenapa-kenapa bagaimana? Kalau seandainya Raja kecelakaan gimana? Aku nggak akan izinkan Raja untuk naik motor sendiri. Apa gunanya dia punya Ayah, kalau nggak mau antar anaknya?" Wanita itu membantah.

"Kan memang Ayah nggak mau antar aku. Yang sering antar aku itu Papa, bukan Ayah." Raja menyela.

Keduanya bungkam. 

Raja langsung melongos pergi begitu saja, masuk ke dalam kamar tanpa memperdulikan tatapan orang tuanya.

"Salah kamu. Tinggal iyain aja kenapa sih." Heru menatap Jia kesal.

"Loh, kok jadi salah aku?" Jia menatap Heru tidak terima.

"Ya, coba kamu lihat sendiri. Semenjak kejadian itu, Raja tidak sedikitpun kamu beri dia kebebasan. Dia terus-terusan berada di bawah kendali kamu." 

"Ini kehidupan Raja, kamu jangan ikut campur kehidupan dia. Lagian, Raja udah besar, tahu mana yang benar dan mana yang salah. Dia bukan anak kecil lagi yang terus-terusan kamu atur hidupnya. Dia berhak atas diri dia sendiri." 

"Kamu bukan siapa-siapa Raja, jadi stop ngekang Raja seperti ini, Jia!" 

Heru memberikan tatapan tajam pada Jia.

"Tapi aku yang ngurus dia sejak Widya meninggal kalau kamu lupa!" teriak Jia.

"Dan kamu jangan pernah lupa, kalau kamu adalah orang yang sudah membuat Widya meninggal!" balas Heru melongos pergi.

Jia menarik rambutnya sendiri. Frustrasi. Lalu, dia menyusul langkah suaminya, yang pergi entah kemana.

Seseorang mendengar itu semua. 

Dia adalah Raja.

Sejak tadi, Raja sebenarnya tidak sepenuhnya pergi ke kamarnya. Tadi, Raja berniat untuk meminta maaf, karena menurutnya tidak sopan, namun saat mendengar obrolan kedua orang tua sambungnya, Raja tidak melanjutkan perjalanan, melainkan mendengarkannya saja.

Banyak pertanyaan yang hinggap di pikirannya. Maksud ucapan Papa nya itu apa? Mama nya adalah sosok yang membuat Bunda nya meninggal? Apakah itu benar? 

"Raja?" panggil seseorang.

"Papa?" Raja melotot kaget.

"Kamu ngapain disini? Nggak ganti baju?" tanya Heru.

Raja mendadak gelisah. "Eh, iya. I-ini aku mau ganti baju kok, Pa." Raja menjawab dengan senyum kikuk.

Berjalan meninggalkan Papa nya yang menatapnya dengan tatapan sulit di artikan.

"Kamu dengan semuanya?" 

Raja menghentikan langkahnya. Jantungnya berpacu dengan cepat.

Heru berjalan mendekati Raja, dan menarik tangannya, berjalan menuju ruang kerja Heru. 

Sesampainya di sana. Heru menyuruhnya untuk duduk. Sebenarnya, untuk apa Papa nya membawanya ke sini? Apakah ada yang ingin di bicarakan? 

"Kenapa, Pa? Ada yang mau di bicarakan?" Raja bertanya.

"Kamu dengar semuanya?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status