Share

Chapter 2

"Memangnya kamu siapa Raja, sampai-sampai kamu berani membawa anak saya?" Ayah Raja kembali bertanya.

"Saya yang mengasuh Raja sejak kecil. Dan, saya juga orang yang dipercayakan oleh nyonya Widya untuk menjaga anak kandungnya!"

Ayah Raja menatap wanita itu nyalang.

Tangan yang tadinya hendak melayangkan sebuah tamparan kepada perempuan itu, kini seakan tertahan dan seperti ada yang menghalanginya.

"Jangan pernah kasar dengan perempuan!"

Sang penghalang menyentak tangan Ayah Raja dengan kasar, lalu memberikan bogeman mentah.

Bugh

Raja yang melihat itu, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher milik Jia. Dia sangat ketakutan. Apalagi pada saat tatapan Ayahnya menatapnya dengan sangat tajam.

"Mau apa kau ke sini?"

Suara Ayah Raja mengudara. Menatap sang penghalang dengan tajam dan tidak suka. Rahang kokoh itu terlihat mengeras, menahan amarah yang bergejolak.

"Menyingkirkan Ayah tidak berguna seperti dirimu." Pria itu menjawab dengan tenang.

"Apa maksudmu?"

Rizal mengepalkan tangannya hingga kukunya memutih.

"Bawa Raja pergi dari sini bersama temanku. Mereka sudah menunggu di depan gerbang."

Pria itu memerintahkan perempuan muda itu membawa Raja pergi dari sini. Jia mengangguk lalu pergi keluar dari rumah itu, menghiraukan teriakan dari tuan majikannya. Mungkin.

Begitu sampai di depan gerbang, Jia di sambut oleh beberapa pria yang menatapnya. Lantas, perempuan itu tersenyum kikuk. Entah mengapa, dia agak risih dengan tatapan itu.

"Oh, jadi ini calon istrinya Heru?"

Suara seorang pria dengan kalung rantai di lehernya, mengalihkan pandangannya pada pria itu.

"Jia?"

Suara itu kembali terdengar, namun dari orang yang berbeda.

"Jia temannya Widya?"

Pria itu melanjutkan ucapannya. Jia mengangguk sambil tersenyum canggung.

"Dan, itu Raja?" tunjuk pria itu kearah Raja yang terlelap di gendongan Jia.

"Iya." Jia menjawab singkat.

"Masuk," perintah seorang pria dari belakang Jia.

Sontak, perempuan itu membalikkan tubuhnya, dan melihat sosok yang ia kenal. Heru.

Jia segera masuk kedalam mobil tepat di samping kursi kemudi.

Heru menatap teman-temannya secara bergilir.

"Sudah siap semuanya?"

"Sudah. Lo tinggal berangkat aja."

Pria berbaju ungu menjawab. Heru mengangguk. Tanpa mengucap apapun lagi, dia memutar mobil dan masuk ke dalam kursi kemudi, lalu mobil itu meninggalkan pekarangan rumah tersebut.

Tidak ada yang membuka suara. Hening, dan damai. Hanya terdengar suara helaan napas teratur yang berasal dari Raja, yang tengah terlelap di dekapan Jia.

"Kita mau kemana?"

Jia memecah keheningan.

Heru diam. Tidak menjawab. Hanya fokus dengan jalanan yang cukup padat.

"Her, kita mau kemana?"

Jia bertanya lagi. Alih-alih mendapatkan jawaban, Heru justru hanya diam saja, tidak menanggapi pertanyaan itu.

Jia mendengus kesal. Apakah terlalu sulit menjawab pertanyaannya itu? Ah, hampir saja dia lupa. Yang ia ajak bicara adalah Heru Adigantra, sosok yang irit bicara dan diam ketika merasa pertanyaan yang mengarah padanya adalah pertanyaan yang sama sekali tidak penting.

"Shhh...."

Suara ringisan berasal dari Raja.

Jia maupun Heru mengalihkan pandangan mereka ke anak laki-laki itu yang seperti menahan sakit.

"Sa....sakit..."

Heru melihat baju Jia basah.

Raja menangis.

Dan, tidak sadarkan diri.

***

Dalam ruangan yang berbau obat, membuat siapa saja tidak betah dalam ruangan tersebut. 

Banyak orang yang tidak ingin masuk ke dalam ruangan itu. Ruangan yang menimbulkan rasa mual dan pusing secara bersamaan.

Tapi, tidak berlaku bagi seorang anak laki-laki yang sejak empat jam yang lalu, setia memejamkan matanya, dan enggan membukanya.

"Her, Raja nggak bakal pergi, kan?" 

Jia bertanya dengan nada lirih.

Setelah mendengar penjelasan dari dokter tadi, Jia menjadi takut luar biasa. Beberapa pikiran negatif, muncul di benaknya.

"Raja nggak akan kenapa-kenapa. Dia kuat, dan kamu tahu itu." 

Heru membawa Jia dalam pelukannya, mengusap punggung perempuan itu. Memberikan ketenangan.

Dia sama seperti Jia. Hancur saat tahu keponakannya harus menderita sejak dini. Setelah mendengar penjelasan dari dokter, mendadak pikirannya melayang entah kemana. 

Terbayang di saat Kakak kandungnya yang meninggal akibat melahirkan Raja, dan juga kambuhnya penyakitnya. Dan, merenggut nyawanya.

"Raja nggak akan pergi sama seperti Widya, kan?" 

Jia menangis sejadi-jadinya dalam pelukan itu.

Heru tidak bisa berkata apapun lagi.

"Sakit...." 

Suara lemah itu, mengalihkan perhatian mereka. Jia sedikit mendorong tubuh Heru. Menjauh. Lalu, menatap Raja yang sesekali mengatakan kata sakit.

"Raja?" 

Di genggam nya tangan mungil dan dingin itu. Lalu, di usapnya dengan sangat lembut.

Perlahan, mata Raja terbuka. Menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya, lalu menatap kedua orang tersebut dengan bergilir.

"Ada yang sakit?" 

Raja menggeleng sebagai jawaban.

"Raja mau pulang." 

Jia menatap Heru meminta jawaban.

"Nanti ya, pulangnya. Kalau udah sembuh, baru boleh pulang." 

Heru duduk di sisi bangsal, menggenggam tangan mungil Raja yang tidak di infus.

"Nggak mau. Raja mau pulang. Raja mau minta maaf sama Ayah. Pasti Ayah marah karena udah bikin Ayah malu tadi di sekolah." 

"Memangnya kenapa pula Ayah harus marah?" Jia bertanya.

"Tadi, Ayah bilang kalau Raja itu nggak di inginkan. Raja, udah buat Bunda pergi. Raja...." 

Ucapan Raja terpotong karena Heru menatapnya tajam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status