Share

BAB 5

Author: Tithi
last update Last Updated: 2021-11-19 09:18:23

“Perempuan kemarin siapa, Kael?” tanya Bu Nur ketika mereka berada di dapur merapikan bahan-bahan yang baru saja datang.

Kael mulai mengingat seorang perempuan yang dimaksud Bu Nur.

Kemarin dia bertemu dengan Chea di dekat Restoran. Mereka hampir berbincang selama sepuluh menitan sebelum akhirnya, Chea pulang setelah dia menghentikan taksi untuk Chea.

“Chea, maksud Ibu?”

“Jadi namanya Chea. Bagus namanya. Pacarmu, Kael?”

Kael menggeleng sambil memasukkan tomat di tempatnya dengan rapi. Tomat yang lama dia taruh di paling depan dan tomat baru dia taruh di belakang. Dulu, dia pernah bekerja di Mini Market dan cara menata barang dia aplikasikan saat menata bahan-bahan dapur di Restoran.

“Murid saya, Bu.”

“Murid kok sampai pelukan seperti itu?” Bu Nur nampaknya tidak percaya dengan jawabannya.

Kael terkekeh, “Beneran. Dia lagi sedih dan saya cuman hibur dia dengan meluk dia. Itu aja kok.”

GUYS!” Bu Nur berteriak dari dapur membuat tiga orang yang sedang membersihkan bagian depan menoleh secara bersamaan. Mereka menghentikan pekerjaan mereka

“Ada yang lagi sedih? Kael mau....-”

“Bu Nur!” Kael memotong ucapan Bu Nur yang berniat menggodanya.

Bu Nur tersenyum melihat mantan muridnya itu panik, “Nggak jadi. Lanjutin kerjaan kalian!” ucap Bu Nur kepada tiga karyawannya yang kembali melanjutkan pekerjaannya.

Kael melanjutkan pekerjaannya. Kali ini, dia beralih menuangkan saus ke dalam botolnya.

“Baru pertama Ibu liat kamu peduli sama perempuan. Dulu semasa SMA, kamu bahkan nggak pernah nunjukin rasa suka kamu ke temen perempuan kamu.”

Bu Nur menatap langit. Otaknya dipaksa untuk mengingat kenangan ketika masih menjadi guru BK di SMA “Banyak siswi yang penasaran sama kamu tapi kamu selalu acuh. Sampai dibilang manusia es. Tapi kemarin, Ibu nggak sengaja liat kamu sama perempuan itu. Kamu begitu peduli sama dia.”

“Bukannya udah sewajarnya seorang tutor, seorang guru peduli sama muridnya. Ibu kan juga gitu.”

Bu Nur memang guru terbaik semasa SMA. Guru yang sangat mengerti dan memahami keadaan murid-muridnya. Tidak heran jika sewaktu Bu Nur akan pensiun banyak murid yang menangis karena harus berpisah dengan beliau. Bahkan mereka masih sering mengunjungi Bu Nur di Restoran untuk sekedar mampir, makan atau cerita.

“Jadi, hanya peduli ya?”

Kael hanya mengangkat kedua alisnya menatap bingung atas pertanyaan yang Bu Nur berikan padanya.

###

Chea benar-benar tidak mengerti dengan yang terjadi kepadanya. Dia sudah berada di Cafe tempat di mana dia dan Kael akan bertemu untuk belajar. Datang lima belas menit lebih awal dari pada biasanya. Tentunya bukan ingin memperhatikan Kael seperti yang dia lakukan saat pertama kali bertemu Kael tapi karena tidak ingin terlambat untuk les.

Chea melihat jam di ponselnya. Dia masih memiliki waktu untuk pergi dan lagipula, Kael belum menunjukkan batang hidungnya di Cafe. Chea tersenyum sinis mengingat ucapan Kael yang memastikan bahwa dia tidak akan terlambat tapi faktanya, Chea yang datang lebih dulu dibandingkan Kael.

Chea beranjak dari duduknya. Dia memilih pergi dan mungkin akan kembali ke Cafe saat jam dua tepat atau lebih. Lebih baik seperti itu memang.

“Mau ke mana?” tanya Kael.

Chea terperanjat saat mendengar suara Kael. Tubuhnya hampir saja oleng tapi untungnya dia bisa mengendalikan tubuhnya.

“Kok udah dateng?” tanya Chea.

“Saya kan emang suka dateng lebih awal. Kamunya aja yang sekarang kecepetan.”

Kael menarik kursi di hadapan Chea dan kemudian duduk. Dia juga mempersilakan Chea untuk kembali duduk.

Chea merasa gugup secara tiba-tiba. Entah karena dirinya yang ketahuan datang lebih awal atau karena Chea teringat tentang kejadian kemarin ketika Kael menenangkannya dengan memberi semacam pelukan. Kejadian kemarin tiba-tiba saja muncul di kepala Chea bagai adegan film.

“Kita mulai sekarang?”

“Kan kesepakatannya jam dua. Ini masih kurang sepuluh menit,” protes Chea yang tidak ingin rugi.

Kael pun menuruti permintaan Chea.

Chea mulai berpikir untuk mencari topik pembicaraannya dengan Kael. Mereka masih punya waktu sepuluh menit sebelum memulai belajar. Tidak mungkin mereka hanya saling menutup mulut mereka selama itu dan membuat suasana di antara mereka menjadi canggung.

“Kael, kemarin kamu kerja di sana?” Chea memulai pembicaraan dengan bertanya tentang pekerjaan Kael.

Dia tidak mengetahui apapun tentang tutornya. Ayah hanya memberitahu bahwa Kael termasuk salah satu siswa pintar di SMA-nya dulu dan mendapatkan beasiswa Kedokteran di UI. Hanya itu saja. Selebihnya, dia hanya menebak bahwa bisa jadi Kael merupakan mahasiswa di sebuah Universitas mungkin anak Ekonomi atau Hukum yang sering melakukan pekerjaan sampingan untuk menambah uang jajan.

“Iya.”

“Terus Restoran malam itu?”

“Kerja juga.” Kae menyruput minumannya.

“Kamu punya berapa pekerjaan sih?”

Kael nampak berpikir, “Untuk sekarang sih tiga.”

Chea tidak percaya dengan jawaban Kael, “Emang bisa kamu atur waktu dari ngajarin aku, kerja di Restoran kemarin lalu Restoran malam kita ketemu dan kuliah?”

“Saya nggak kuliah, Chea.”

Chea menutup mulutnya. Dia menyadari kesalahannya saat berbicara, “Oh ... sorry.” Dia lupa tentang itu.

Kael menyunggingkan seulas senyuman kecil, “Kamu pasti udah denger dari Pak Cakra kalo saya dapet beasiswa Kedokteran tapi saya tolak, kan?”

Chea mengangguk. Dia memajukan kursinya mulai tertarik dengan topik mereka. Sejak awal, Chea penasaran alasan Kael tidak menerima beasiswa itu. Tidak salah jika saat menceritakan tentang Kael, Ayah sempat menyayangkan keputusan Kael sebab dia juga menganggap hal yang sama kepada keputusan yang Kael ambil. Tapi, Chea tahu Kael memiliki alasan sendiri dan dia ingin tahu itu.

“Jadi dokter itu bukan mimpi saya, Chea. Iya sih prospek ke depannya bagus tapi itu bukan kehidupan yang saya mau jalani di masa depan nanti.”

“Terus apa dong?”

“Musisi. Saya mau jadi musisi.”

Chea menatap dalam-dalam laki-laki dihadapannya itu. Ada kekaguman dalam diri Chea usai mengetahui alasan dibalik keputusan Kael. Di saat orang lain mencoba hidup realistis dengan mengenyampingkan impiannya, Kael justru sebaliknya. Kael mengetahui yang diinginkannya dalam hidup dan itu membuat Chea merasa iri sebab sejak Ayah memintanya menjadi dokter, Chea bahkan tidak berani bermimpi atau menginginkan sebuah profesi yang ingin dia lakukan.

###

Layaknya anak remaja pada umumnya, Chea memang sering pergi nongkrong di Cafe bersama teman-teman sekolahnya. Menghabiskan waktu bersama teman-temannya memang cara Chea mengusir rasa kesepiannya meski dia juga tidak pernah sedikitpun menunjukkan perasaan itu kepada teman-temannya.

Siang tadi dia mendapatkan pesan dari salah satu temannya bernama Anne. Gadis berkacamata minus yang kini mengenakan kaos dipadukan dengan rok jeans selutut itu mengajak Chea untuk pergi nongkrong di sebuah Cafe. Dia dan kekasihnya Barra bersedia menjemputnya sebelum mereka pergi mejemput Khalis yang kebetulan memiliki jalan searah dengan mereka.

“Waaaa!” teriak Chea, Khalis, Anne dan Barra ketika UNO balok yang sedang mereka mainkan jatuh saat Mero berniat mengambil salah satu balok yang tersusun.

Laki-laki berhidung mancung itu nampak kesal karena kalah dalam permainan. Dia sudah tiga kali kalah dan membuatnya harus menerima hukuman.

Barra menunjuk stage di depan mereka, “Lo joget-joget sekarang di sana!”

Hukuman Barra kepada Mero membuat gelak tawa para gadis yang duduk bersama mereka.

“Ada permintaan lain nggak selain bikin malu gue?”

“Gimana, girls?” tanya Barra menatap Anne, Khalis dan Chea secara bergantian.

Khalis mengangkat tangannya, “Terima pesanan salah satu tamu di sini.”

Mero terperangah tak percaya dengan hukuman yang gadis bermata sipit itu, “Lo awas ya kalo kalah!”

Khalis menjulurkan lidahnya kepada Mero.

“Udah pilih mana?” kata Anne.

Mero pun berdiri dan berjalan ke arah panggung. Laki-laki berambut agak ikal itu mulai berjoget tanpa iringan musik membuat para pengunjung dan karyawan Cafe tertawa dengan tingkahnya. Tidak terkecuali hea dan teman-temannya yang ikut tertawa karena puas telah menghukum Mero yang kalah dalam permainan mereka.

“Kael?” celetuk Chea saat melihat Kael berdiri di atas panggung membawa gitar hitam.

Kael meminta Mero menyudahi jogetannya dan meminta turun dari panggung.

Pandangan Chea tidak bisa lepas memandangi Kael yang mulai menyetel gitarnya dan mengatur tinggi stand mic agar sesuai dengan posisi mulutnya.

Kemarin Kael memberitahunya jika selain menjadi tutor dan bekerja sebagai waiters di Restoran, Kael juga sering manggung di Cafe atau Restoran yang mengadakan live musik. Chea menduga bahwa sore ini, Kael sedang melakukan salah satu pekerjaannya itu.

Chea menyunggingkan senyuman ketika dia dan Kael tak sengaja bertemu pandang.

“Lo kenal, Chea?” tanya Anne.

Chea menoleh pada Anne dan dia menjawab dengan menggeleng.

Bukan karena dia tidak ingin Anne dan teman lainnya tahu jika Kael adalah tutornya tapi dia hanya tidak ingin mereka menjadi kepo tentang Kael. Cukup dia saja yang tahu tentang laki-laki yang akan menemani waktu mereka dengan bernyanyi itu.

“Suaranya enak banget di dengerin,” puji Khalis yang nampak terpesona dengan suara Kael saat membawakan lagu milik Band Ungu.

Chea setuju dengan pendapat Khalis. Suara Kael tidak hanya enak di telinga tapi juga membuat ia yang mendengarkan merasa tenang. Chea tidak tahu bahwa laki-laki yang selalu bernada dingin saat berbicara dengannya memiliki suara indah seperti itu.

###

“Dari mana kamu?” suara Ayah menyambut kepulangan Chea.

Chea tidak terkejut dengan kehadiran Ayah sebab dia sudah melihat mobil Ayah parkir di depan rumah.

“Main sama temen.”

Ayah menatap jam dinding, “Sampai jam segini?”

“Ini baru jam delapan, Yah. Belum terlalu malem.”

Padahal biasanya Chea pulang sekitar jam sembilan malam atau bahkan lebih. Tentunya Ayah tidak tahu itu karena sibuk di Rumah Sakit atau ketika pulang, Ayah berpikir dia sudah tidur di dalam kamar.

“Chea, dari pada kamu kluyuran nggak jelas. Mendingan kamu belajar di rumah supaya nilai kamu itu bagus. Bentar lagi kamu akan ujian, kan? Ayah nggak akan tolerir lagi kalo nilai kamu masih tetap jelek atau lebih jelek.”

“Di rumah? Ayah pernah nggak sih mikirin aku gimana kalo di rumah? Aku sendirian, Yah makanya aku milih pergi sama temen-temen aku.”

“Ayah nggak keberatan kamu pergi sama temen-temenmu tapi kamu harus tahu waktu. Kamu udah kelas tiga dan sebentar lagi kamu akan ujian lalu masuk Universitas. Kurangi main kamu, Chea!”

Chea enggan menatap Ayah karena merasa kesal dengan sikap Ayah yang masih belum memahaminya.

“Ayah tahu kamu kesepian. Ayah memang nggak bisa selalu ada buat kamu. Ayah minta maaf. Tapi pekerjaan dokter nggak seperti yang kamu pikirin selama ini. Pekerjaan dokter adalah pekerjaan yang hebat makanya Ayah mau kamu seperti Ayah.”

Chea pun memandang Ayah.

“Kael kasih tahu semuanya sama Ayah. Harusnya, Ayah tanya kenapa nilai kamu bisa turun sedrastis itu bukan malah cari tutor supaya nilai kamu jadi bagus lagi.”

Chea terkejut saat mendengar nama Kael disebut oleh Ayah. Dia tidak menyangka bahwa Kael akan memberitahu Ayah tentang alasannya tidak ingin mengikuti jejak Ayah menjadi dokter.

“Maafin Ayah yang belum bisa ngertiin kamu, Chea.”

Chea menahan nafasnya saat kembali membuang muka dihadapan Ayah. Tentu saja dia lakukan itu karena tidak ingin menangis dihadapan Ayah. Dia menghapus air matanya yang menetes secepat mungkin.

Rasa sesak di dalam diri Chea pun mulai berkurang. Dia mulai bisa bernafas normal lagi.

Makasih, Kael.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 3 Minutes With You   EPILOG

    “Jadi, setelah aku tahu kamu menghilang. Aku sempet lihat kamu di Singapura ...,” Chea menggeleng mengingat peristiwa itu, “Aku pasti udah gila karena halusinasi kamu ada di sana karena terlalu khawatirin kamu.” Kael meletakkan cangkir latte panas di atas meja, “Singapura? Di Stasiun Jurong East?” Chea terkejut ketika Kael mengetahui di mana dia melihat Kael saat masih berada di Singapura. Kael tersenyum melihat Chea yang terkejut, “Itu emang aku lagi. Kamu nggak lagi berhalusinasi.” Alis Chea menyatu karena keningnya yang berkerut. “Aku emang ke Singapura untuk cari kamu dan nggak sengaja aku malah lihat kamu sama sepupumu. Awalnya aku mau langsung temuin kamu tapi ternyata masih ada yang ngenalin aku sebagai K jadi aku nggak jadi nemuin kamu karena takut malah jadi berita baru,” jelas Kael. Chea memberikan pukulan ke Kael membuat Kael merintih terkejut. “Kok dipukul sih?” tanya Kael. “Habisnya kamu buat aku kayak oran

  • 3 Minutes With You   BAB 44

    Hari bahagia Zafri dan Shena pun tiba. Keluarga kedua belah pihak beserta tamu undangan yang hadir menyaksikan penyatuan cinta mereka yang diadakan di sebuah taman. Beberapa tahun belakangan ini konsep outdoor memang sedang menjadi trend untuk pasangan pengantin muda seperti mereka. Garden party. Zafri terlihat tampan dan gagah dengan setelan tuxedo putih yang pernah diperlihatkan Shena di obrolan grup mereka bertiga. Bedanya rambut Zafri disisir rapi dihari istimewa Zafri. Shena tak ingin kalah dari Zafri. Dia terlihat cantik dan anggun dengan mengenakan gaun yang warnanya senada dengan Zafri. “Permisi,” ucap seseorang. Sosok pria mengenakan setelan jas hitam menghampiri Chea. Parasnya tampan dengan sepasang mata cokelat menatap Chea dengan lembut. “Saya Richard,” ucapnya mengulurkan tangan kepada Chea. Sedikit ragu Chea menyambut uluran tangan pria itu, “Chea.” “Iya saya tahu. Kamu sepupunya Shena kan?”

  • 3 Minutes With You   BAB 43

    Chea asyik dengan ponselnya mencari tahu perkembangan berita Kael yang sudah tiga hari ini menghebohkan jagat hiburan. Media nampaknya mulai mecari tahu alasan Kael mundur dari dunia yang sudah membesarkan namanya. Mulai dari Kael akan menikah dengan seorang gadis dan hidup di pinggir kota, Kael yang mengidap sebuah penyakit dan masih banyak kabar miring tentang Kael. Tapi pihak agensi Kael lekas membantah semua kabar tersebut dan membuat Chea merasa lega meski belum mengetahui keberadaan Kael. “Chea, kamu dengerin aku?” tanya Shena kesal dengan mendorong tubuh Chea pelan. Chea menatap Shena yang berdiri di sampingnya dengan terkejut. Mereka sedang berada di Stasiun. Chea melihat Shena yang kesal karena sudah mengabaikannya. “Ha?” tanya Chea mungkin sebelumnya Shena sempat mengatakan sesuatu tapi tak dia hiraukan karena sibuk dengan ponselnya. Shena memasang wajah gondok, “Kamu masih cari tahu tentang Kael?” Chea enggan menjawab dan ha

  • 3 Minutes With You   BAB 42

    Singapura. Sudah hampir sebulan Chea menjadi tutor Karina dan dalam kurun waktu sebuan, Karina bisa dia taklukan. Gadis yang sedang memasuki fase mencari jati diri itu sudah mulai mendengarkan ucapannya. Hadir tepat waktu saat jadwal mereka bertemu untuk belajar. Tidak jarang hadir lebih dulu dibandingkan Chea. “Kak, aku boleh minta sesuatu?” tanya Karina dengan wajah ragu. “Apa?” Karina mulai menimbang-nimbang permintaan yang ingin dikatakan gadis itu kepadanya. Nampaknya sebuah hal yang serius. “Kak, aku kan ikut pameran dan lukisan aku menang.” “Waaah. Selamat, ya,” ucap Chea yang bahagia dengan prestasi Karina. “Tunggu dulu! Masalahnya, yang ambil hadiah harus sama orang tuanya. Kakak bisa nggak wakilin aku sebagai Kakak aku? Nanti aku akan bilang kalo orang tua aku lagi tugas di luar jadi Kakak yang ngegantiin. Mau ya?” “Kenapa kamu nggak bilang aja sama Tante Dewi kalo kamu menang? Beliau pasti seneng deh

  • 3 Minutes With You   BAB 41

    Singapura. “Chea! Makan!” teriak Tante Monic memanggilnya untuk lekas keluar dari kamar. Chea pun keluar dan menghampiri Tante Monic yang sudah duduk bersama Paman Joe, suami Tante Monic. Hidangan makan malam sudah tersaji siap untuk mereka santap. Shena tidak ikut bergabung makan malam dengan mereka karena lembur bekerja. Akhir-akhir ini Shena sering lembur bahkan akhir pekan pun Shena masih harus bekerja. “Gimana Karina?” tanya Tante Monic sembari mengambilkan nasi untuk suaminya. Chea menghela nafas. “Tante kan udah bilang kalo anaknya susah diatur. Kamunya ngeyel mau jadi tutor dia.” Tante Monic memang sudah mewanti-wanti karena tidak ingin Chea menjadi terbebani dengan sikap Karina. “Udah terlanjur juga. Lagipula anaknya udah mulai nurut kok,” jawabnya kemudian menyantap makan malamnya. Saat mengunyah masakan Tante Monic tiba-tiba saja Chea rindu masakan Bu Nur. Masakan Tante Monic tidak buruk. Dia bahkan

  • 3 Minutes With You   BAB 40

    Bu Nur masih enggan melepaskan Chea yang kini berada dalam dekapan pelukannya. Siang ini adalah hari keberangkatan Chea ke Singapura. Chea mampir ke Restoran askara untuk berpamitan kepada wanita yang sudah seperti Ibu baginya selama kurun waktu setengah dekade dalam hidupnya. Derai air mata tentu tak absen hadir di tengah keduanya yang sudah seperti pasangan Ibu dan anak itu. Padahal Chea sudah bertekad untuk tidak menangis saat berpamitan dengan Bu Nur. Dia bahkan sempat meledek Bu Nur yang menyambutnya dengan mata berkaca-kaca. Ketegarannya runtuh saat Bu Nur memeluknya seakan memintanya untuk tidak perlu pergi padahal beliau juga yang menyuruhnya untuk menenangkan diri ke Singapura. “Bu, udahan pelukannya. Nanti Chea ketinggalan pesawat,” kata Zafri mengingatkan. Bu Nur pun akhirnya melepaskan pelukannya, “Kamu hati-hati ya. Jaga diri baik-baik. Jangan lupa telpon Ibu. Oke?” Chea mengangguk, “Makasih ya Bu udah baik sama aku selama ini.” “

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status