Ketika aku remaja, aku selalu terganggu setiap kali seseorang berbicara tentang suatu kehilangan. Ucapan tentang kepergian seseorang yang begitu kita cintai selalu membuat pikiranku terasa terhimpit. Aku membenci bagaimana perasaan itu menggelayuti diriku, perasaan yang membuat dada terasa sesak hanya karena mendengar cerita mereka, dan aku akan menolak untuk membayangkan diriku berada di posisi itu. Namun, di malam hari aku akan melupakan bagaimana raut wajah sedih mereka dan berkata:
"Selagi bukan diriku yang mengalaminya," lalu tertidur nyenyak.
Namun tanpa pernah aku duga,
"Sayang, tolong bangunlah." Hari itu aku menatap suatu pemandangan di hadapanku: ibuku berlutut dengan setengah tubuhnya bersandar pada jasad ayahku yang dibaringkan. Wajahnya tenggelam di antara kedua tangannya. Aku tahu, dengan cara yang tidak bisa dijelaskan, bahwa ibuku telah kehilangan akal sehatnya.
Ternyata, usia tiga puluh tahun--usia yang ketika remaja kupikir adalah usia untuk berdiri tegak, hidup mandiri, dan siap menghadapi segala hal, termasuk kehilangan--justru menjadi usia di mana aku merasa rapuh. Lebih rapuh dari yang pernah kubayangkan.
Menghadiri pemakaman ayahku sendiri di usia tiga puluh tahun akibat kecelakaan mobil tidak pernah terbayangkan akan mematahkan seluruh harapan hidupku dalam sekejap. Jalan yang kubangun untuk tiba di titik ini seolah terbawa angin topan, hancur lebur, dan menghilang begitu saja.
Aku memandangi sekeliling, melihat orang-orang yang berdiri di samping makam ayahku mulai menghilang satu per satu, menyisakan aku, ibuku, Farley, dan Ben di sana. Momen itu, seolah dianugerahi keajaiban oleh Tuhan, aku dapat mendengar isi pikiran mereka, seolah suara mereka menyentuh kesunyian yang memadati udara.
"Selagi bukan aku yang mengalaminya." Aku bergumam.
"Benar, kan? Itu kan yang mereka pikirkan? Mereka akan pulang ke rumah dan menjalani hari mereka seperti biasa. Benar, kan?" Dengan tautan kedua tangan yang tak terlepas dari Farley, aku berkata demikian.
Farley menoleh padaku dan menatapku bingung dengan kedua bola mata hazelnya. "Kau barusan bilang apa?"
"Selagi bukan ayahku yang mati tiba-tiba, aku tidak peduli. Aku akan menjalani hariku seperti biasa dan tidur dengan nyenyak di malam hari. Benarkah itu yang kau pikirkan, Farley?" tanyaku, mataku menatap tajam.
Farley terlihat terkejut. Langkahnya mendekat, dan dalam sekejap ia melingkarkan tangannya di tubuhku. Itu adalah pelukan, pelukan yang hangat; ia mencoba memberi kehangatan di tengah duka yang kualami. Namun rasanya, ia hanya memberi sesendok gula di tengah lautan.
Aku merasa jijik.
"Jangan sok mengerti," kataku tajam. Menyaksikan ayah yang terkubur tanah dan ibu yang seakan kehilangan dirinya sendiri. Apa yang dimiliki Farley untuk mengerti rasa sakitku? Apa yang bisa dia katakan setelah menjalani hidupnya yang sempurna? Apa yang bisa dia lakukan dengan wajah sedihnya itu?
"Pergi kau."
Wajahnya pucat pasi setelah kalimat itu keluar dari mulutku. Bibirnya bergetar dan berkata, "Kenapa?"
"Pergi," ucapku tajam, tanpa rasa menyesal.
Hari demi hari berlalu tanpa satu hari pun mataku kering dari air mata. Tanaman di halaman rumah mulai mengering, orang yang biasa merawatnya tak lagi ada. Suara mobil yang dulu sering terdengar di pagi hari kini juga tak ada. Semua terasa kosong, sepi, dan aku terperangkap dalam keheningan yang mulai menenggelamkan setiap bagian dari diriku.
Namun, Farley tetap datang. Setiap hari ia membawa bunga-bunga segar, beragam jenis yang tampak berbeda, berharap warna-warni itu dapat membenahi isi kepalaku yang kusut. Namun, kedua kakiku belum bisa menapak keluar dari ruanganku. Ia selalu mendekatiku perlahan, mendekap tubuhku dengan lembut. Setiap hari. Tanpa sepatah kata pun.
Dan setiap hari itu menjadi sepekan sekali, sebulan sekali, dan setelah satu tahun akhirnya Farley mendatangiku dengan melontarkan sebuah kalimat.
"Maaf. Maafkan aku."
Itu kalimat terakhir yang dia ucapkan, lalu ia tak pernah muncul kembali. Aku sadar bahwa dia mulai menyerah padaku.
Namun suatu hari, tanaman-tanaman yang mulai mati secara mengejutkan hidup sehat kembali. Suara mobil di pagi hari mulai terdengar lagi. Aneh, hari itu sinar matahari terasa begitu terang. Karena sinarnya yang menusuk mataku, kedua kaki ini akhirnya dapat mendarat di lantai.
Aku menengok keluar jendela, berharap ayahku yang mati telah hidup kembali, tetapi yang kutemukan adalah ibu. Dengan wajahnya yang memantulkan cahaya matahari, ibuku terlihat 'hidup' di hari itu. Lalu sebuah pertanyaan muncul di kepalaku.
"Apakah ibu sudah melupakannya?"
"Semudah itu?"
Sedangkan aku sudah kehilangan segalanya.
Malam mulai merayap pelan saat kami pulang. Lampu teras sudah menyala, membiaskan cahaya hangat ke pekarangan kecil rumahku.
"Siap-siap, mungkin ibumu bakal menginterogasi kita berdua," goda Ben, menyenggol pelan bahuku.
Aku menghela napas panjang. "Aku tahu, ibuku selalu penasaran dengan apa yang kita lakukan berdua," ujarku sambil memutar bola mata.
Ben menggeleng pelan, tapi senyum tetap mengembang di wajahnya. Saat kami melangkah masuk, aroma masakan hangat menyeruak di udara, bercampur dengan suara langkah kaki ibuku yang datang dari arah dapur.
"Kalian sudah pulang? Pas sekali, Ibu baru selesai masak," ujar ibu.
"Aku juga sangat lapar. Apa kita makan sekarang?" tanyaku sumringah.
Ben yang ada di sebelahku menghirup aroma itu dengan napas panjang. "Haa... Aku sangat mencintai aroma masakan rumah," ujarnya dengan senyum lebar yang tak lekang.
"Tapi ada hal lain yang kucintai selain aroma masakan." Sorotan matanya kini tampak berbeda. Aku dan ibuku sama-sama melirik ke arahnya dengan tatapan yang cukup serius.
"Apa lagi?" tanyaku sambil tertawa kecil.
"Rambutmu yang seperti kuda poni itu." Ia tertawa bangga, puas dengan candaan konyolnya.
Hari itu, Ben adalah satu-satunya orang yang berhasil menghangatkan suasana rumahku sejak pagi hari yang suram. Kemudian, makan malam berlangsung seperti biasa: obrolan ringan, beberapa lelucon yang hangat, dan aroma sup yang menguar dari mangkuk. Aku duduk berhadapan dengan ibu, dan Ben berada di sampingku.
Lalu, di antara suapan dan tawa kecil kami, Ben tiba-tiba bertanya, "Julie, rencanamu ke depan apa? Mau tetap jadi penyiar radio di sini, atau kau mau pindah ke kota lain?"
Aku mengangkat wajah, berpikir sejenak sebelum menjawab. "Mungkin aku akan ke London," ucapku. Aku sempat berhenti sebentar, tapi kemudian menambahkan, dengan nada yang lebih ringan, "Karena aku juga berencana untuk kembali bersama Farley."
Tiba-tiba, suara benturan tajam memenuhi ruangan. Ibu membanting sendok ke piringnya dengan keras, nadanya menggema di udara, mengalahkan semua suara lain. Aku dan Ben tersentak di tempat duduk kami.
"Julie." Suaranya bergetar, tetapi penuh ketegasan. "Kau harus melupakan Farley. Dia adalah masa lalu, cukup sampai situ saja."
Keheningan menyeruak bagai kilat, seakan menelan seluruh ruangan dalam satu tarikan napasnya. Aku menatap Ibu, mencari alasan di balik kemarahan mendadaknya, tetapi matanya tak bisa kuterjemahkan. Ben pun diam, mungkin merasa bersalah karena pertanyaan yang ia ajukan membawa kami pada kemarahan ibu yang tanpa alasan.
Aku menelan ludah, jantungku berdetak lebih cepat dari yang seharusnya.
"Maaf." suaraku terdengar lebih kecil dari yang kuinginkan. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mendorong kursiku ke belakang. "Aku mau ke toilet dulu."
Aku bangkit tanpa menunggu jawaban, melangkah keluar tanpa menoleh ke belakang. Tapi bahkan setelah aku pergi, aku masih bisa merasakan sisa getaran dari suara Ibu yang memerintahkanku untuk melupakan seseorang yang bagiku, adalah satu-satunya masa depan yang kuimpikan.
Ketika hendak kembali menuju ruang makan, aku dapat mendengar tangis ibuku untuk kedua kalinya di hari itu. Aku memundurkan langkahku dan menyembunyikan tubuhku dari balik dinding.
"Dia tak henti-hentinya membicarakan orang itu. Aku begitu takut menghadapinya belakangan ini. Aku bahkan pergi ke makam suamiku pagi ini bersamanya, berharap dia setidaknya sadar dengan kejadian hari itu. Tapi..." belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, ibuku terpatah kembali oleh tangisannya.
"Aku... aku berjanji akan selalu di sisinya, jadi ibu tidak perlu khawatir. Aku kenal seseorang yang mungkin bisa membantunya. Dia terkenal di kota tempat ayahku tinggal." ucap Ben, mencoba menenangkan.
Setelah itu, hanya terdengar tangis ibu. Perlahan, suara mereka menghilang, tergantikan dengungan aneh di kepalaku. Seperti ada ruang kosong yang tiba-tiba terbuka. Kesunyian yang pekat. "Apakah aku melewatkan sesuatu?" tanyaku dalam hati. Lalu, seketika kesunyian itu lenyap, menyisakan gema samar percakapan mereka.
"Kau tidak tahu betapa senangnya aku melihatmu datang tadi, aku sangat lega. Aku juga yakin Julie setidaknya bahagia selagi kau ada di sisinya." ucap ibuku lembut pada Ben.
Aku membalikkan tubuhku dan melangkahkan kaki mendekat ke sana. Ibu menangkap keberadaanku dan matanya melebar.
"Julie, Kemarilah. Maafkan ibu soal tadi." panggilnya, seolah percakapan dengan Ben sesaat sebelumnya tidak pernah terjadi. Ben menoleh ke arahku dan tersenyum.
"Ayo, habiskan makananmu."
Aku membalas dengan lekukan di kedua sisi bibirku. Bersama dengan isi kepala yang terus menciptakan pertanyaan-pertanyaan baru.
"Apa yang sebenarnya telah kulewatkan?"
Hening menyelimuti mobil saat Ben mengemudi, hanya diisi suara mesin yang berdengung pelan dan lampu kota yang menari di kaca jendela. Julie duduk terpaku, menatap kosong ke luar, pikirannya berkecamuk seperti badai yang tak kunjung reda."Seharusnya kita minta saja nomor keluarga Beaumont pada orang itu." ujar Ben memecah keheningan."Kau kira aku tidak punya nomor mereka? Nomor itu sudah lama tidak aktif, Ben. Jadi percuma saja." Keluh Julie. Dahinya menampilkan kerutan yang cukup dalam, dan di balik pelupuk mata itu, air matanya sudah terbendung.Ben akhirnya memarkir mobil di sebuah sudut kota yang sepi, jauh dari hiruk-pikuk. Ia mematikan mesin, membiarkan keheningan merayap di antara mereka. "Kita istirahat sebentar. Aku beli air minum dulu." Ben melangkah pergi, langkahnya berat seperti pikirannya yang dipenuhi dengan kecemasan tentang Julie. Lampu dari toko kecil di sudut jalan memantulkan bayangan samar di aspal basah. Ia membeli dua botol air, tangannya gemetar saat membaya
Ben menjemput Julie dengan mobil tuanya yang berderit pelan saat melewati jalanan kota yang basah setelah hujan. Radio memutar lagu lama yang tak dikenal Julie, tapi Ben tetap bersenandung pelan, mencoba mencairkan suasana. Julie hanya diam, menatap keluar jendela, pikirannya melayang entah ke mana."Tidak usah tegang, Smith kenalan lamaku. Orangnya hangat, jangan begitu khawatir," kata Ben sambil melirik sekilas ke arah Julie. Julie masih tampak kesal."Lain kali ucapan ibuku jangan terlalu didengar. Dia selalu menjadwalkan terapi untukku, tapi kali ini sampai minta rekomendasi darimu. Sejak ayahku meninggal, dia memperlakukanku seperti orang gila," keluh Julie."Sudahlah, mungkin ibumu hanya ingin menghilangkan rasa khawatirnya," hibur Ben.Di tengah obrolan itu, Julie merogoh saku dan mengambil ponselnya dari sana. Jemarinya dengan cepat mengetikkan satu nama untuk dihubungi. "Aku harus mengabari Farley," ucapnya.Namun entah berapa kali pun panggilan yang ia lakukan, tak ada balas
Ketika aku remaja, aku selalu terganggu setiap kali seseorang berbicara tentang suatu kehilangan. Ucapan tentang kepergian seseorang yang begitu kita cintai selalu membuat pikiranku terasa terhimpit. Aku membenci bagaimana perasaan itu menggelayuti diriku, perasaan yang membuat dada terasa sesak hanya karena mendengar cerita mereka, dan aku akan menolak untuk membayangkan diriku berada di posisi itu. Namun, di malam hari aku akan melupakan bagaimana raut wajah sedih mereka dan berkata:"Selagi bukan diriku yang mengalaminya," lalu tertidur nyenyak.Namun tanpa pernah aku duga,"Sayang, tolong bangunlah." Hari itu aku menatap suatu pemandangan di hadapanku: ibuku berlutut dengan setengah tubuhnya bersandar pada jasad ayahku yang dibaringkan. Wajahnya tenggelam di antara kedua tangannya. Aku tahu, dengan cara yang tidak bisa dijelaskan, bahwa ibuku telah kehilangan akal sehatnya.Ternyata, usia tiga puluh tahun--usia yang ketika remaja kupikir adalah usia untuk berdiri tegak, hidup mand
Ketika denting jam dinding hampir menabrak angka sepuluh, Julie terbangun dengan kepala yang terasa sedikit berat, diikuti suara ketukan lembut di pintu kamarnya. Dia mengerjap beberapa kali, lalu duduk di tepi ranjang, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Dengan enggan, ia bangkit dari selimut yang masih menyimpan sisa hangat mimpi semalam. Pintu itu terbuka, memperlihatkan sosok ibunya, berdiri di ambang dengan handuk putih tebal di tangan."Ada apa?" tanyanya dengan kening berkerut ringan. Biasanya, ibunya tak peduli kapan ia bangun, apalagi sampai mengantarkan handuk."Mandilah dulu," jawab sang ibu singkat, suaranya serupa angin sepoi di antara daun-daun jendela.Julie meraih handuk itu, terasa dingin meski kering, lalu melangkah menuju kamar mandi, membiarkan air menghapus sisa kantuk yang tertinggal di sudut matanya.Usai membersihkan diri, aroma sup hangat membimbing langkahnya ke dapur. Ibunya berdiri di sana, ditemani uap yang menari-nari di atas panci besar."Untukku?" tanya