Home / Romansa / 3 Stages of Grief / 4. The Future I Long For

Share

4. The Future I Long For

Author: Ann Pearl
last update Last Updated: 2025-06-23 15:08:03

Hening menyelimuti mobil saat Ben mengemudi, hanya diisi suara mesin yang berdengung pelan dan lampu kota yang menari di kaca jendela. Julie duduk terpaku, menatap kosong ke luar, pikirannya berkecamuk seperti badai yang tak kunjung reda.

"Seharusnya kita minta saja nomor keluarga Beaumont pada orang itu." ujar Ben memecah keheningan.

"Kau kira aku tidak punya nomor mereka? Nomor itu sudah lama tidak aktif, Ben. Jadi percuma saja." Keluh Julie. Dahinya menampilkan kerutan yang cukup dalam, dan di balik pelupuk mata itu, air matanya sudah terbendung.

Ben akhirnya memarkir mobil di sebuah sudut kota yang sepi, jauh dari hiruk-pikuk. Ia mematikan mesin, membiarkan keheningan merayap di antara mereka. "Kita istirahat sebentar. Aku beli air minum dulu." 

Ben melangkah pergi, langkahnya berat seperti pikirannya yang dipenuhi dengan kecemasan tentang Julie. Lampu dari toko kecil di sudut jalan memantulkan bayangan samar di aspal basah. Ia membeli dua botol air, tangannya gemetar saat membayar, seolah tubuhnya tahu apa yang pikirannya coba sembunyikan.

Saat kembali, Ben berhenti beberapa langkah dari mobil. Melalui jendela buram yang dipenuhi embun, ia melihat Julie. Gadis itu menangis sejadi-jadinya di sana, wajahnya tersembunyi di balik kedua tangannya, bahunya terguncang hebat. Tangisan yang bukan sekedar sedih, tapi putus asa, seperti seseorang yang terdampar di tengah laut tanpa pelampung.

Ben berdiri kaku, hatinya seperti diremas melihat pemandangan itu. Ia membuka pintu mobil perlahan, duduk di kursi pengemudi tanpa berkata apa-apa. Ia hanya menatap Julie, matanya penuh kekhawatiran dan rasa bersalah.

"Julie." suaranya parau, pelan, seolah takut merusak fragilitas momen itu.

Julie menghapus air matanya dengan kasar, tapi tangisnya tak berhenti. "Aku lelah Ben. Semakin aku coba raih, rasanya dia semakin jauh. Ini sia-sia."

Ben meletakkan botol air di jok belakang, lalu meraih wajah Julie dengan tangannya, jari-jarinya yang dingin menyentuh pipi Julie yang basah. Ben terpaku pada bola mata sosok yang dulu ia kenal penuh cahaya, kini remuk dalam bayang-bayang luka yang tak bisa ia sembuhkan. Air mata Julie jatuh tanpa suara, tapi bagi Ben, tangisan itu lebih bising daripada apa pun. Rasanya seperti melihat seseorang tenggelam perlahan, sementara ia berdiri di tepian, tangan terulur tapi tak pernah cukup panjang untuk menyelamatkan. 

"Tidak ada yang sia-sia. Kita coba lagi di lain waktu. Aku akan selalu disini sampai akhir." Suaranya pecah di akhir kalimat, seolah kata-kata itu terlalu berat untuk diucapkan.

Julie menatap Ben, matanya merah dan bengkak, seperti seluruh dunia telah menumpahkan bebannya ke dalam sorot itu. Tak ada kata-kata, hanya hening yang menggantung di antara mereka. Dan dalam keheningan itu, mereka perlahan bergerak bersamaan, seperti dua pecahan yang patah, saling tertarik bukan karena harapan, tapi karena mencari sebuah perlindungan sesaat dari pikiran yang terombang-ambing.

Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang bukan tentang cinta yang sederhana, melainkan tentang luka yang terlalu berat untuk ditanggung sendirian. Itu bukan ciuman yang manis atau penuh janji. Itu ciuman yang rapuh, dan getir, sebuah upaya putus asa untuk menambal bagian-bagian jiwa mereka yang mulai hancur tak bersisa. Jari-jari Ben mencengkeram wajah Julie seolah takut jika ia melepaskan, gadis itu akan menghilang selamanya. Sementara Julie mencium Ben untuk mencoba sembunyi dari kebisingan dunia yang ia tempati.

Ciuman itu hanya sebuah kejujuran paling mentah untuk mencari perlindungan sesaat. Mereka sama-sama hancur, dan mencoba untuk tidak tenggelam.

Namun di tengah derasnya emosi, Julie tiba-tiba tersadar. Ia menarik diri, napasnya terengah-engah. Tatapannya buram oleh air mata yang tertahan.

"Ben kita seharusnya tidak melakukan ini," suaranya serak, penuh penyesalan.

Ben menunduk, mencoba mengatur napas. "Maaf. Aku hanya... tidak ingin melihatmu hancur seperti ini. Maafkan aku, Julie. Aku benar-benar menyesal." Ben mengenggelamkan wajahnya di kedua telapak tangan, berulang kali ia usapkan wajahnya dengan kasar, ia berpikir keras cara untuk menghukum dirinya sendiri karena melakukan hal yang tak seharusnya di momentum seperti ini.

Julie menggeleng pelan, menahan air matanya. "Aku tahu. Tapi kita tiba di sini untuk mencari Farley. Ini salah." tetapi Julie segera meraih tangan Ben. "Ayo pulang, kau kelihatan sudah lelah." sambungnya.

Ben mengangguk, menatap ke depan, mencoba menelan perasaannya yang bercampur aduk. Julie menyandarkan kepalanya di jendela, memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya yang berantakan. Mereka terdiam, hanya ditemani suara detak jantung mereka yang masih berpacu cepat.

Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, seolah kota pun ikut merasakan kekacauan yang mengisi hati mereka.

***

Hujan tipis mulai turun saat mobil melaju di jalanan, lampu-lampu kota memantulkan cahaya redup di kaca mobilnya. Julie masih memejamkan mata, tapi serpihan memorinya masih menari-nari di udara. Sementara itu, Ben mencoba fokus pada jalanan di depannya, meski pikirannya berkelana ke percakapan dan ciuman yang baru saja terjadi.

Setelah beberapa saat, Ben memberanikan diri untuk berbicara, suaranya pelan nyaris tenggelam oleh suara hujan yang menabuh kaca depan. "Julie, aku tahu ini berat untukmu. Tapi apa kau benar-benar yakin Farley... masih di luar sana?"

Julie membuka matanya perlahan, menatap ke depan tanpa benar-benar melihat. "Aku ingat dia dengan jelas. Aku ingat kata-katanya sebelum pergi. Itu bukan delusi sesaat."

Ben menggenggam erat setir, menahan desakan kata-kata yang ingin keluar. "Baiklah, aku hanya mencoba-"

"Jangan." suara julie mengeras di tengah bisingnya air hujan yang menjatuhi tanah, "Aku tidak ingin mendengar apa pun untuk sekarang."

Ben mengangguk pelan, menelan kekhawatirannya. Mereka melanjutkan perjalanan dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri.

Mereka tiba di sebuah motel kecil di pinggiran kota. Bangunannya tampak tua, dengan lampu warm white yang berkelap-kelip bertuliskan APRICITY. Ben memarkir mobil dan mereka turun, disambut udara dingin yang menusuk. Setelah check-in, mereka masuk ke kamar yang sederhana, hanya ada dua ranjang single, meja kecil, dan lampu temaram.

Julie duduk di tepi ranjang, melepaskan sepatu dengan gerakan lambat. Ben berdiri di dekat jendela, menatap hujan yang semakin deras sembari ia juga memandangi lampu APRICITY yang terlihat dari jendela kamar mereka.

Menyadari apa yang Ben pandangi sejak beberapa saat lalu, Julie pun kini ikut mengarahkan sorot matanya di titik yang sama.

"Tidurlah Ben, sepertinya hujan tidak akan berhenti malam ini." ucap Julie pelan.

"Julie." panggil Ben begitu lembut, hampir tidak terdengar di tengah bisingnya suara hujan yang menghantam jendela kamar mereka. "Apa kau tahu arti di balik nama motel ini?"

Julie tersenyum kecil dengan mengangkat kedua alisnya. "Apa?"

"Kehangatan di musim dingin. Saat rasa dingin menusuk tulang, cahaya matahari yang redup turun ke tanah. Kehangatan kecil yang membuat kita dapat hidup sedikit lebih lama, Apricity." suaranya parau, hampir terhenti karena sendatan pilu di tenggorokannya. "Mungkin karena motel ini dibangun di tengah jalanan yang panjang jadi dinamakan seperti itu. Tempat singgah yang hangat setelah perjalanan yang melelahkan." sambungnya.

Julie mengangguk pelan dengan matanya kini tertuju pada Ben, tanpa suara.

Ben berbalik, menatap Julie yang duduk dengan punggung sedikit membungkuk, seolah memikul beban yang terlalu berat. "Aku sungguh berharap, di perjalananmu yang panjang ini, kehadiranku dapat memberimu rasa hangat yang nyaman, seperti apricity." ucapnya dengan senyuman kecil yang begitu samar.

Napas Julie tersendat. kata-kata itu merembes ke dalam relung hatinya yang remuk, seolah memberi sebuah penawar yang mungkin hanya akan membebaskannya dari rasa sakit untuk sementara. Meski begitu, kata-kata Ben yang sederhana cukup menghiburnya. Julie tersenyum bersama air yang  menggenang di pelupuk matanya. "Aku senang kau ada disini, bersamaku."

Keesokan paginya, matahari samar-samar menyelinap di balik tirai kamar. Julie terbangun lebih dulu, duduk di tepi ranjang, menatap keluar jendela dengan mata kosong. Ingatan samar tentang Farley memenuhi benaknya, tawa mereka di kafe kecil, tatapan hangatnya saat mereka berbicara tentang masa depan yang kini terasa seperti mimpi yang remuk.

Ben terbangun tak lama kemudian, mengusap matanya dan menatap Julie yang masih dalam posisi yang sama. "Kau baik-baik saja?" tanyanya pelan.

Julie mengangguk, meski hatinya berkata sebaliknya. "Ayo pulang."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 3 Stages of Grief   4. The Future I Long For

    Hening menyelimuti mobil saat Ben mengemudi, hanya diisi suara mesin yang berdengung pelan dan lampu kota yang menari di kaca jendela. Julie duduk terpaku, menatap kosong ke luar, pikirannya berkecamuk seperti badai yang tak kunjung reda."Seharusnya kita minta saja nomor keluarga Beaumont pada orang itu." ujar Ben memecah keheningan."Kau kira aku tidak punya nomor mereka? Nomor itu sudah lama tidak aktif, Ben. Jadi percuma saja." Keluh Julie. Dahinya menampilkan kerutan yang cukup dalam, dan di balik pelupuk mata itu, air matanya sudah terbendung.Ben akhirnya memarkir mobil di sebuah sudut kota yang sepi, jauh dari hiruk-pikuk. Ia mematikan mesin, membiarkan keheningan merayap di antara mereka. "Kita istirahat sebentar. Aku beli air minum dulu." Ben melangkah pergi, langkahnya berat seperti pikirannya yang dipenuhi dengan kecemasan tentang Julie. Lampu dari toko kecil di sudut jalan memantulkan bayangan samar di aspal basah. Ia membeli dua botol air, tangannya gemetar saat membaya

  • 3 Stages of Grief   3. Apa Kamu Ingat?

    Ben menjemput Julie dengan mobil tuanya yang berderit pelan saat melewati jalanan kota yang basah setelah hujan. Radio memutar lagu lama yang tak dikenal Julie, tapi Ben tetap bersenandung pelan, mencoba mencairkan suasana. Julie hanya diam, menatap keluar jendela, pikirannya melayang entah ke mana."Tidak usah tegang, Smith kenalan lamaku. Orangnya hangat, jangan begitu khawatir," kata Ben sambil melirik sekilas ke arah Julie. Julie masih tampak kesal."Lain kali ucapan ibuku jangan terlalu didengar. Dia selalu menjadwalkan terapi untukku, tapi kali ini sampai minta rekomendasi darimu. Sejak ayahku meninggal, dia memperlakukanku seperti orang gila," keluh Julie."Sudahlah, mungkin ibumu hanya ingin menghilangkan rasa khawatirnya," hibur Ben.Di tengah obrolan itu, Julie merogoh saku dan mengambil ponselnya dari sana. Jemarinya dengan cepat mengetikkan satu nama untuk dihubungi. "Aku harus mengabari Farley," ucapnya.Namun entah berapa kali pun panggilan yang ia lakukan, tak ada balas

  • 3 Stages of Grief   2. Tentang Kita

    Ketika aku remaja, aku selalu terganggu setiap kali seseorang berbicara tentang suatu kehilangan. Ucapan tentang kepergian seseorang yang begitu kita cintai selalu membuat pikiranku terasa terhimpit. Aku membenci bagaimana perasaan itu menggelayuti diriku, perasaan yang membuat dada terasa sesak hanya karena mendengar cerita mereka, dan aku akan menolak untuk membayangkan diriku berada di posisi itu. Namun, di malam hari aku akan melupakan bagaimana raut wajah sedih mereka dan berkata:"Selagi bukan diriku yang mengalaminya," lalu tertidur nyenyak.Namun tanpa pernah aku duga,"Sayang, tolong bangunlah." Hari itu aku menatap suatu pemandangan di hadapanku: ibuku berlutut dengan setengah tubuhnya bersandar pada jasad ayahku yang dibaringkan. Wajahnya tenggelam di antara kedua tangannya. Aku tahu, dengan cara yang tidak bisa dijelaskan, bahwa ibuku telah kehilangan akal sehatnya.Ternyata, usia tiga puluh tahun--usia yang ketika remaja kupikir adalah usia untuk berdiri tegak, hidup mand

  • 3 Stages of Grief   1. Sarapan Pagi dan Sebuah Mimpi

    Ketika denting jam dinding hampir menabrak angka sepuluh, Julie terbangun dengan kepala yang terasa sedikit berat, diikuti suara ketukan lembut di pintu kamarnya. Dia mengerjap beberapa kali, lalu duduk di tepi ranjang, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Dengan enggan, ia bangkit dari selimut yang masih menyimpan sisa hangat mimpi semalam. Pintu itu terbuka, memperlihatkan sosok ibunya, berdiri di ambang dengan handuk putih tebal di tangan."Ada apa?" tanyanya dengan kening berkerut ringan. Biasanya, ibunya tak peduli kapan ia bangun, apalagi sampai mengantarkan handuk."Mandilah dulu," jawab sang ibu singkat, suaranya serupa angin sepoi di antara daun-daun jendela.Julie meraih handuk itu, terasa dingin meski kering, lalu melangkah menuju kamar mandi, membiarkan air menghapus sisa kantuk yang tertinggal di sudut matanya.Usai membersihkan diri, aroma sup hangat membimbing langkahnya ke dapur. Ibunya berdiri di sana, ditemani uap yang menari-nari di atas panci besar."Untukku?" tanya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status