Home / Romansa / 3 Stages of Grief / 1. Sarapan Pagi dan Sebuah Mimpi

Share

3 Stages of Grief
3 Stages of Grief
Author: Ann Pearl

1. Sarapan Pagi dan Sebuah Mimpi

Author: Ann Pearl
last update Last Updated: 2025-02-18 14:18:47

Ketika denting jam dinding hampir menabrak angka sepuluh, Julie terbangun dengan kepala yang terasa sedikit berat, diikuti suara ketukan lembut di pintu kamarnya. Dia mengerjap beberapa kali, lalu duduk di tepi ranjang, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Dengan enggan, ia bangkit dari selimut yang masih menyimpan sisa hangat mimpi semalam. Pintu itu terbuka, memperlihatkan sosok ibunya, berdiri di ambang dengan handuk putih tebal di tangan.

"Ada apa?" tanyanya dengan kening berkerut ringan. Biasanya, ibunya tak peduli kapan ia bangun, apalagi sampai mengantarkan handuk.

"Mandilah dulu," jawab sang ibu singkat, suaranya serupa angin sepoi di antara daun-daun jendela.

Julie meraih handuk itu, terasa dingin meski kering, lalu melangkah menuju kamar mandi, membiarkan air menghapus sisa kantuk yang tertinggal di sudut matanya.

Usai membersihkan diri, aroma sup hangat membimbing langkahnya ke dapur. Ibunya berdiri di sana, ditemani uap yang menari-nari di atas panci besar.

"Untukku?" tanyanya, menatap sup.

"Iya. Siapa lagi yang sarapan jam segini? Ini sudah hampir siang."

Julie tersenyum, lalu menyantap sup itu. Tak ada tanya lebih lanjut tentang pagi yang aneh. Ia memilih membiarkan misteri kecil itu menguap bersama aroma jahe dan bawang putih.

Namun, keheningan pecah ketika ibunya berkata, "Semalam, Ben mengantarmu pulang."

Julie mengangguk pelan. "Oh ya, Ben." Ia tertawa kecil di tengah kalimatnya.

"Tapi sebelum pergi dengannya, aku bertemu dengan Farley. Kami bertemu lagi setelah empat tahun. Mengejutkan, kan?"

Ia mencoba meraih ingatan, mengais fragmen pertemuan yang terasa samar. Hanya ada bayang-bayang Farley--mantan tunangannya yang berkata harus kembali ke London malam itu juga karena pekerjaannya.

Ibunya, yang tengah menuang kopi ke dalam cangkir, terdiam sejenak. Gerakannya melambat, hampir tak terlihat. Lalu, dengan wajah datar, ia hanya duduk di seberang Julie dan menatap putrinya dalam diam. Ada sesuatu di matanya yang sulit diartikan--bukan keterkejutan, bukan kebahagiaan, tapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang salah.

"Begitu, ya?" hanya itu jawabnya, seolah kisah lama itu tak lagi penting. Padahal dulu, Farley adalah nama yang bersinar di matanya, sosok calon menantu yang diidamkannya, seperti benih harapan yang pernah ia semai dengan penuh harap, sebelum akhirnya Julie memutuskan untuk berpisah dengan tunangannya itu.

Beberapa saat kemudian, ibunya beranjak meninggalkan Julie sendiri di meja makan, sembari meminta Julie bersiap untuk pergi ke makam ayahnya. Suaranya setipis bisikan angin yang melintas di antara celah jendela.

"Ini kan bukan hari peringatan?" Ia merasa ada keganjilan yang menggantung di udara.

Selama perjalanan, ibunya tak membuka mulut barang sekali pun. Julie dapat merasakan entah itu kesedihan atau keputusasaan yang tengah menari-nari di atas kepala ibunya. Ia tak dapat memahami sedikit pun.

Sesampai di makam ayahnya, yang telah pergi begitu tiba-tiba lima tahun lalu, ibunya bersimpuh. Lututnya jatuh ke tanah seperti beban dunia menggantung di sana, tubuhnya rapuh dalam pelukan tanah yang dingin. Lalu pecahlah tangis itu, histeris, mentah, tanpa kata, hanya suara dari relung terdalam yang tak pernah diizinkan keluar.

Julie bisa mengerti bahwa ibunya begitu merindukan ayahnya. Tetapi tangisan itu lebih menggetarkan daripada biasanya, seolah ada sesuatu yang hilang dari dalam diri ibu yang tak bisa dikembalikan lagi, bahkan dunia tak punya cukup waktu untuk mengembalikannya.

"Bu, sudah. Ayo kita pulang." Setengah jam telah berlalu, namun waktu seolah membeku di antara isak pilu.

Di dalam mobil, keheningan mengental, hanya suara deru mesin yang menemani. Tiba-tiba, ponsel ibunya bergetar, memecah sunyi.

"Oh, Ben? Iya, terima kasih sudah mengantar Julie semalam. Dia baik-baik saja berkatmu." Suara ibunya terdengar lebih hidup, tetapi masih tersimpan lelah di ujung kalimatnya.

"Itu Ben? Bilang padanya aku berterima kasih."

Ibunya meletakkan ponsel kembali. "Sudah Ibu tutup," ucapnya datar.

"Oh." Julie kembali menatap jalan, memperhatikan bayang-bayang pohon yang melintas cepat di jendela.

Ada sesuatu yang dingin antara dia dan ibunya, mengendap di udara, jarak tak kasat mata yang menganga di antara mereka. Ia bertanya-tanya, apakah kata-katanya tentang Farley tadi menggores luka ibu yang belum sembuh?

Dulu, perpisahan Julie dan Farley terjadi tanpa drama, tanpa amarah. Namun, mungkin kenangan itu tetap menyisakan retak di hati ibunya. Julie mencoba meyakinkan diri, Aku bisa bicara dengannya nanti, pelan-pelan.

Tapi secara mengejutkan, begitu sampai di rumah, Julie melihat Ben sudah ada di halaman rumahnya, dan raut wajah ibunya yang tadi beku, tiba-tiba sumringah. Senyum yang tulus, hangat, bukan senyum basa-basi. Ia memeluk Ben seolah menemukan oase di tengah padang yang gersang.

"Masuklah. Biarkan Julie bersiap-siap di kamarnya dulu," titah ibunya pada Ben.

Ben menurut tanpa melihat Julie yang tampak terkejut dengan kehadirannya.

"Bu, Ibu menyuruhnya kemari tanpa izinku? Aku sudah bilang aku tak tertarik dengan Ben. Dari dulu Ibu selalu saja menjodoh-jodohkan kami. Aku sudah bilang, kan? Aku dan Farley punya rencana untuk--"

"Dengar." Ibunya berbalik, matanya tajam. "Jangan bicarakan laki-laki itu di depan Ben. Kau mengerti? Lagi pula, Ibu tidak menyuruh Ben datang ke sini."

Julie membeku. Ia terdiam karena tak menyangka bahwa ibunya akan bereaksi semarah itu padanya.

"Apa maksudnya? Jadi, kenapa dia tiba-tiba datang ke rumah kita?"

"Ibu tidak tahu." Jawaban singkat yang diucapkan tanpa minat, tanpa penjelasan. Lalu ibunya pergi, meninggalkan Julie berdiri di ambang pintu, menggenggam udara kosong.

Julie mengepalkan tangannya, menatap tajam ke arah pintu tempat ibunya menghilang. Ia menarik napas dalam, mencoba menelan emosi yang mengganjal di tenggorokannya. Ia tak dapat melakukan apa-apa dan memilih menuruti perkataan ibunya untuk pergi menemui Ben yang sudah menunggunya selama satu jam.

Julie akhirnya melangkah menuju Ben, mengucapkan terima kasih karena sudah mengantarnya pulang semalam.

Ben hanya tersenyum dan mengucapkan satu pertanyaan.

"Kau baik-baik saja?"

"Apa? Tentu aku baik-baik saja. Memangnya kenapa?"

"Aku menelepon ibumu karena kau tidak bisa dihubungi tadi pagi. Aku bilang, aku akan menjemputmu ke rumah."

"Oh, ya? Kenapa?" tanya Julie pelan.

Ben tertawa ringan, suaranya terdengar jernih di udara. "Kau bercanda? Kemarin kau yang mengajakku pergi hari ini."

Julie terdiam. Ada ruang hampa di kepalanya, kosong seperti halaman yang terlewat dalam sebuah buku usang. Ia mencoba meraba ingatan, tapi yang ditemuinya hanya fragmen kabur akan pertemuan dengan Farley yang begitu singkat, lalu sebuah telepon untuk Ben agar menemaninya pulang, diikuti bayangan samar tentang gelas-gelas yang berbenturan, tawa yang larut dalam mabuk.

Mungkin, pikirnya, dalam kepungan alkohol yang menipiskan batas antara sadar dan tidak, ia tanpa sengaja mengajak Ben untuk bertemu hari ini. Pantas saja ibunya bilang kalau bukan dia yang menyuruh Ben datang ke rumah mereka.

Ben, yang telah menjadi saksi separuh hidupnya sejak masa kecil, adalah semacam jangkar dalam hidup yang kerap terasa seperti seseorang yang memegangnya untuk tetap berada di jalur yang tepat. Mungkin, di tengah euforia pertemuannya dengan Farley malam tadi, serta keheningan sunyi yang terlalu lama bersarang di rumahnya, Julie mencari pegangan tanpa sadar, mengisi kekosongan dengan kehadiran Ben yang tak ia ingat pernah ia minta.

"Ayo pergi," ujar Julie, yang sudah tak tahan dengan perasaan aneh yang bergelayut di dadanya sejak pagi.

Selama di mobil, mereka terlarut dalam obrolan tentang kenangan masa kecil, mengurai tawa di sela-sela perjalanan. Ben, yang dulu bertubuh mungil, tertawa mengingat betapa kontrasnya dirinya dengan Juliette yang jauh lebih tinggi waktu itu.

Tawa mereka sesekali meledak, mengisi ruang sempit di dalam mobil, seperti gema ombak yang memantul di antara karang.

Namun, tawa itu perlahan mereda ketika Juliette melanjutkan, suaranya berubah sedikit lebih ringan, "Aku... bertemu lagi dengan Farley semalam, sebelum bertemu denganmu."

Saat nama itu meluncur dari bibirnya, suasana berubah. Ben tiba-tiba terdiam, matanya menatap jalanan di depan mereka, seolah mencari jawaban di garis horizon. Juliette merasakannya, sebuah keheningan yang asing di antara mereka, tapi ia memilih untuk mengabaikannya. Ben selalu ada untuknya, itulah yang selalu ia yakini.

"Apa dia menghubungimu lagi pagi ini?" tanya Ben akhirnya, suaranya pelan, hampir tertelan angin dari jendela yang sedikit terbuka.

"Iya, kau mau lihat?" Juliette mengeluarkan ponselnya, jari-jarinya lincah membuka aplikasi pesan. Ia mencari nama Farley, tapi saat ia buka, tak ada satu pun obrolan di sana.

Alisnya berkerut. "Kurasa... tak sengaja kuhapus saat mabuk," gumamnya pelan.

Juliette terdiam, tatapannya kosong menatap layar ponsel.

Setelah lima tahun yang lalu ketika Farley dan Julie memutuskan untuk mengakhiri hubungan, tepat ketika ayahnya meninggal karena kecelakaan mobil, mereka baru bertemu semalam setelah tidak menghubungi satu sama lain. Dan, Julie sadar bahwa perasaannya pada Farley tak pernah benar-benar hilang. Seakan waktu tak mengubah apa pun, dan mungkin, Farley pun merasakan hal yang sama.

"Aku akan segera kembali setelah urusan di London selesai. Tunggu aku, Jules." Itu yang diucapkan Farley sebelum pergi.

Setelah memarkirkan mobil, Julie melangkah keluar dan melepaskan alas kakinya. Ia berlari menyusuri pantai, merasakan butiran pasir yang halus menyentuh telapak kakinya, sementara jejak kakinya hilang begitu saja terbawa ombak yang datang. Gelak tawanya meledak begitu lepas, lalu dengan penuh semangat ia menarik Ben untuk ikut bersamanya.

"Hah... sudah lama sekali aku tidak ke sini," ujarnya dengan napas terengah-engah.

"Syukurlah kau senang," jawab Ben dengan senyuman tipis, matanya yang cerah tetap mengarah padanya, seolah tak mau melepaskan pandangan.

Desir ombak yang menghantam pantai terdengar jelas di telinga Julie, seolah memberikan irama menenangkan untuk langkah-langkah mereka. Ia merasa seperti terhubung dengan setiap gerakan Ben yang perlahan mendekat, dan tiba-tiba Julie teringat sesuatu. Apa mungkin ibunya melihat sorot mata Ben yang penuh perhatian itu? Begitu intens, begitu penuh makna. Apakah tatapan itulah yang membuat ibunya jadi semakin ingin mendekatkan mereka?

Entah kenapa saat itu, Julie merasa, mungkin ia bisa mengerti akan keinginan ibunya.

"Aku mungkin akan... bertunangan kembali dengan Farley," ucap Julie begitu samar, seolah suaranya hampir ditelan desiran ombak.

Ben terdiam sejenak. Wajahnya sedikit memucat.

"Oh, begitu..." jawabnya pelan, seolah kata-kata itu bukan hal yang mudah diterima.

Mereka melanjutkan hari itu bersama, berkeliling di pantai, namun ada sesuatu yang tak terucap. Ketegangan itu mengambang, membuat udara terasa lebih dingin. Sepulangnya, suasana mobil jadi canggung, seperti ada ruang kosong yang tak bisa diisi dengan kata-kata, dan Julie tak tahu pasti kenapa.

Perjalanan mereka hari itu berakhir dengan keheningan yang terasa aneh, tidak seperti biasanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 3 Stages of Grief   4. The Future I Long For

    Hening menyelimuti mobil saat Ben mengemudi, hanya diisi suara mesin yang berdengung pelan dan lampu kota yang menari di kaca jendela. Julie duduk terpaku, menatap kosong ke luar, pikirannya berkecamuk seperti badai yang tak kunjung reda."Seharusnya kita minta saja nomor keluarga Beaumont pada orang itu." ujar Ben memecah keheningan."Kau kira aku tidak punya nomor mereka? Nomor itu sudah lama tidak aktif, Ben. Jadi percuma saja." Keluh Julie. Dahinya menampilkan kerutan yang cukup dalam, dan di balik pelupuk mata itu, air matanya sudah terbendung.Ben akhirnya memarkir mobil di sebuah sudut kota yang sepi, jauh dari hiruk-pikuk. Ia mematikan mesin, membiarkan keheningan merayap di antara mereka. "Kita istirahat sebentar. Aku beli air minum dulu." Ben melangkah pergi, langkahnya berat seperti pikirannya yang dipenuhi dengan kecemasan tentang Julie. Lampu dari toko kecil di sudut jalan memantulkan bayangan samar di aspal basah. Ia membeli dua botol air, tangannya gemetar saat membaya

  • 3 Stages of Grief   3. Apa Kamu Ingat?

    Ben menjemput Julie dengan mobil tuanya yang berderit pelan saat melewati jalanan kota yang basah setelah hujan. Radio memutar lagu lama yang tak dikenal Julie, tapi Ben tetap bersenandung pelan, mencoba mencairkan suasana. Julie hanya diam, menatap keluar jendela, pikirannya melayang entah ke mana."Tidak usah tegang, Smith kenalan lamaku. Orangnya hangat, jangan begitu khawatir," kata Ben sambil melirik sekilas ke arah Julie. Julie masih tampak kesal."Lain kali ucapan ibuku jangan terlalu didengar. Dia selalu menjadwalkan terapi untukku, tapi kali ini sampai minta rekomendasi darimu. Sejak ayahku meninggal, dia memperlakukanku seperti orang gila," keluh Julie."Sudahlah, mungkin ibumu hanya ingin menghilangkan rasa khawatirnya," hibur Ben.Di tengah obrolan itu, Julie merogoh saku dan mengambil ponselnya dari sana. Jemarinya dengan cepat mengetikkan satu nama untuk dihubungi. "Aku harus mengabari Farley," ucapnya.Namun entah berapa kali pun panggilan yang ia lakukan, tak ada balas

  • 3 Stages of Grief   2. Tentang Kita

    Ketika aku remaja, aku selalu terganggu setiap kali seseorang berbicara tentang suatu kehilangan. Ucapan tentang kepergian seseorang yang begitu kita cintai selalu membuat pikiranku terasa terhimpit. Aku membenci bagaimana perasaan itu menggelayuti diriku, perasaan yang membuat dada terasa sesak hanya karena mendengar cerita mereka, dan aku akan menolak untuk membayangkan diriku berada di posisi itu. Namun, di malam hari aku akan melupakan bagaimana raut wajah sedih mereka dan berkata:"Selagi bukan diriku yang mengalaminya," lalu tertidur nyenyak.Namun tanpa pernah aku duga,"Sayang, tolong bangunlah." Hari itu aku menatap suatu pemandangan di hadapanku: ibuku berlutut dengan setengah tubuhnya bersandar pada jasad ayahku yang dibaringkan. Wajahnya tenggelam di antara kedua tangannya. Aku tahu, dengan cara yang tidak bisa dijelaskan, bahwa ibuku telah kehilangan akal sehatnya.Ternyata, usia tiga puluh tahun--usia yang ketika remaja kupikir adalah usia untuk berdiri tegak, hidup mand

  • 3 Stages of Grief   1. Sarapan Pagi dan Sebuah Mimpi

    Ketika denting jam dinding hampir menabrak angka sepuluh, Julie terbangun dengan kepala yang terasa sedikit berat, diikuti suara ketukan lembut di pintu kamarnya. Dia mengerjap beberapa kali, lalu duduk di tepi ranjang, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Dengan enggan, ia bangkit dari selimut yang masih menyimpan sisa hangat mimpi semalam. Pintu itu terbuka, memperlihatkan sosok ibunya, berdiri di ambang dengan handuk putih tebal di tangan."Ada apa?" tanyanya dengan kening berkerut ringan. Biasanya, ibunya tak peduli kapan ia bangun, apalagi sampai mengantarkan handuk."Mandilah dulu," jawab sang ibu singkat, suaranya serupa angin sepoi di antara daun-daun jendela.Julie meraih handuk itu, terasa dingin meski kering, lalu melangkah menuju kamar mandi, membiarkan air menghapus sisa kantuk yang tertinggal di sudut matanya.Usai membersihkan diri, aroma sup hangat membimbing langkahnya ke dapur. Ibunya berdiri di sana, ditemani uap yang menari-nari di atas panci besar."Untukku?" tanya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status