Beranda / Romansa / 3 Stages of Grief / 3. Apa Kamu Ingat?

Share

3. Apa Kamu Ingat?

Penulis: Ann Pearl
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-18 14:24:48

Ben menjemput Julie dengan mobil tuanya yang berderit pelan saat melewati jalanan kota yang basah setelah hujan. Radio memutar lagu lama yang tak dikenal Julie, tapi Ben tetap bersenandung pelan, mencoba mencairkan suasana. Julie hanya diam, menatap keluar jendela, pikirannya melayang entah ke mana.

"Tidak usah tegang, Smith kenalan lamaku. Orangnya hangat, jangan begitu khawatir," kata Ben sambil melirik sekilas ke arah Julie. Julie masih tampak kesal.

"Lain kali ucapan ibuku jangan terlalu didengar. Dia selalu menjadwalkan terapi untukku, tapi kali ini sampai minta rekomendasi darimu. Sejak ayahku meninggal, dia memperlakukanku seperti orang gila," keluh Julie.

"Sudahlah, mungkin ibumu hanya ingin menghilangkan rasa khawatirnya," hibur Ben.

Di tengah obrolan itu, Julie merogoh saku dan mengambil ponselnya dari sana. Jemarinya dengan cepat mengetikkan satu nama untuk dihubungi. "Aku harus mengabari Farley," ucapnya.

Namun entah berapa kali pun panggilan yang ia lakukan, tak ada balasan dari seberang sana. Wajah Julie mulai menunjukkan ketegangan yang tak biasa, deru napasnya mulai cepat hingga dapat terdengar walau di tengah kebisingan mesin mobil. Ben berkali-kali melirik ke arah Julie untuk mengecek keadaannya.

"Mungkin dia sangat sibuk," ucap Ben berusaha menenangkan. Julie mengangguk kecil, menenangkan dirinya sendiri.

Mereka tiba di sebuah rumah sederhana yang diubah menjadi praktik dokter. Dindingnya berwarna krem dengan papan nama kecil bertuliskan Dr. Smith. Rumah itu terlihat hangat, dikelilingi dedaunan yang begitu terawat. Tetapi Julie merasakan dengan jelas bahwa tempat itu begitu sunyi hingga ia dapat mendengar setiap helai daun yang bergesekan.

Ruang tunggu itu juga sunyi. Bau rumah tua samar-samar melayang di udara, bercampur dengan suara jam dinding yang berdetak pelan namun menusuk. Julie duduk di kursi plastik yang dingin, tangannya meremas ujung lengan jaketnya sendiri. Di sebelahnya, Ben menatap lurus ke depan, sesekali melirik ke arah Julie.

"Kau bisa memanggilku kalau tidak nyaman. Kita akan langsung pulang." Ia meraih tangan Julie dan menggenggamnya erat.

Julie tersenyum lalu mengangguk tipis.

Pintu berderit pelan saat seorang perempuan usia 40-an awal keluar, ia mengenakan pakaian semi formal polos. Wanita itu melontarkan senyum hangat yang 'rapi.'

"Julie ya? Silakan masuk."

Julie berdiri, meninggalkan ruang tunggu sembari berusaha menghilangkan rasa tegang di hatinya. Ruangan yang ia masuki itu kecil, tapi terasa luas karena terlalu kosong. Ada meja yang terdapat secangkir teh panas dengan uap yang menari di atasnya, kursi kayu, dan jendela besar dengan tirai putih menerawang, menghadap langsung ke halaman yang dipenuhi dedaunan. Dr. Smith duduk di depannya, membuka buku catatan dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya.

Kemudian, Dr. Smith menatap wajah Julie beberapa saat sehingga tercipta keheningan canggung yang dirasakan Julie.

"Emm, aku kesini karena ibuku. Aku tidak punya masalah apa-apa dengan diriku, Dok." Ucap Julie memecah keheningan. Dr. Smith memiringkan sedikit kepalanya tanpa mengubah sedikit pun ekspresinya.

"Menurutmu, kenapa ibumu memintamu untuk kesini?"

Julie mengerjapkan mata, "Aku... tidak tahu." lalu ruangan itu kembali hening.

Kemudian Julie tertawa kecil, "Dok, aku pikir ibuku-lah yang seharusnya menjalani terapi, mengingat dia setiap malam diam-diam menangis di kamarnya dan memandangi foto ayahku."

"Apa yang kau pikirkan ketika melihat ibumu seperti itu?"

"Yah... awalnya aku berpikir itu hal yang wajar. Tapi ini sudah lima tahun berlalu dan ia tetap seperti itu setiap malam. Aku pikir ibuku mungkin sudah kehilangan sedikit kewarasannya," ucap Julie.

"Bisa kau ceritakan tentang ayahmu?" pertanyaan Dr. Smith seolah menghentikan seluruh isi kepala Julie. Ia membeku sesaat.

"Ayahku? Aku... aku tidak ingin membicarakannya."

Dr. Smith mengangguk kecil.

"Lalu, bisa kau ceritakan tentang tunanganmu?"

Julie menukikkan kepalanya sedikit. Ia keheranan.

"Tunanganku? Aku sudah lama putus dengannya, mungkin satu tahun setelah ayahku meninggal. Tapi, beberapa hari lalu aku bertemu lagi dengannya."

Dokter mencatat sesuatu, lalu bertanya lagi, "Apa kau ingat kenapa kalian berpisah?"

Julie mengerutkan alis, mencoba menggali sesuatu dari dalam pikirannya. Tapi yang dia temukan hanyalah kekosongan. "Aku... tidak begitu yakin. Dalam asumsiku sendiri, dia menyerah terhadap kesedihan yang aku alami lalu menghilang begitu saja."

Dokter mencondongkan tubuh sedikit, suaranya tetap lembut. "Apa kau ingat perasaanmu tentang dia? Senang? Sedih? Atau bahkan marah?"

Julie menutup matanya sejenak. Ada sesuatu di dadanya, seperti ruang kosong yang dingin, tapi dia tidak tahu kenapa. Suasana hening, tapi Julie kini tak lagi peduli dengan sekelilingnya. Yang dia pikirkan hanya satu. Kenapa pikirannya tiba-tiba terasa seperti benang kusut, padahal dia bahkan tidak tahu apa yang hilang dari dirinya?

"Apa kau merasa takut setiap memikirkan penyebab perpisahan itu?" tanya Dr. Smith lagi. Julie tidak merasa ada paksaan dari Dr. Smith untuk mengungkit luka yang belum siap disentuh. Dokter itu hanya memberinya ruang. Ruang untuk diam, untuk merasa, atau bahkan untuk tidak merasa sama sekali.

Julie menggelengkan kepalanya sembari beberapa kali mengerjabkan mata seolah berusaha mengumpulkan setiap potongan isi kepalanya yang melayang-layang di udara.

"Tidak, itu bagian terburuknya. Aku tidak merasakan apa pun. Rasanya seperti sebuah ruangan yang tidak ada perabotan sama sekali. Anda tahu, perasaan itu seperti pernah ada di sana, tapi aku tidak yakin dan tidak bisa menemukannya untuk saat ini."

Dr. Smith di depannya mendengarkan dengan sabar, matanya tidak menghakimi, suaranya pelan. "Begini, pikiran kita seringkali berusaha melindungi diri kita dengan menyembunyikannya. Itu tidak hilang, Julie. Hanya saja... kau tidak ingin menjangkaunya sama sekali."

Julie terdiam. "Bisa panggilkan Ben kesini?" matanya kehilangan arah, dadanya mendadak terasa sesak. Tangannya berusaha meraih sesuatu yang tak dapat teraih. Kemudian telapak tangan Ben melingkari jemarinya.

"Ben, aku ingin pulang. Ayo kita pulang." pinta Julie. Ben membawa Julie dalam pelukannya dan menggosokkan tangannya di sisi kanan tubuh Julie, berusaha menenangkan.

"Baiklah, ayo pulang," ucapnya.

---

Setelah keluar dari ruang Dr. Smith, Julie masih tidak bisa melepaskan perasaan yang mengendap di dadanya. Ben berjalan di sampingnya, sedikit lebih cepat dari biasanya, tapi tetap dengan langkah yang tenang. Mereka berdua tidak berbicara, hanya suara langkah kaki mereka yang bergema di lorong kosong rumah itu.

Julie memandang tangan Ben yang masih menggenggam tangannya, seolah mencoba memberi rasa aman yang tak sepenuhnya ia rasakan. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya, yang seperti diusik oleh sesuatu yang tidak diinginkannya untuk 'ada.' Setiap percakapan di ruang itu, setiap pertanyaan yang diajukan Dr. Smith, terasa seperti pecahan cermin yang ia coba susun kembali. Namun, semakin dia mencoba, semakin banyak potongan yang hilang, dan semakin hancur rupa dirinya yang terpantul dari cermin itu.

Sesampainya di luar, udara sejuk sore itu menyentuh kulit Julie. Ia merasakan sesuatu yang sedikit lebih nyata, sedikit lebih bisa dipegang. Tapi itu hanya sementara, sebelum pikirannya kembali menggelayut pada pertanyaan yang belum terjawab.

Ben membuka pintu mobil dan menatap Julie dengan lembut. "Kau ingin bicara lebih banyak? Atau... kita diam saja dulu?"

Julie tidak menjawab sama sekali, hingga keheningan bergelayut di udara sekitar mereka. Ben sesekali melirik ke arah Julie di sepanjang perjalanan.

"Ben, jika suatu hari aku memang terbukti gila seperti yang diduga ibuku. Aku harap kaulah satu-satunya orang yang tetap menganggapku waras," ucap Julie, mulai meragukan dirinya sendiri. Ben tersentak.

"Jangan bicara begitu. Ibumu hanya berpikir kau tidak sehat, jadi dia memintamu terapi. Bukan berarti dia menganggapmu gila, Julie. Dan juga, apa pun yang terjadi aku akan selalu di sisimu. Jadi tenanglah, ya?"

Julie menyandarkan tubuhnya di tepi mobil sembari memandang keluar jendela, melihat dedaunan yang memasuki musim gugur mulai berjatuhan.

"Sebaiknya aku menghubungi Farley lagi." Ia merogoh saku coat-nya dan mencari nama Farley pada kontaknya. Ben hanya diam, tetapi ekspresinya seolah menunjukkan bahwa ia juga menantikan apa yang akan terjadi.

Julie diam sejenak, setelah puluhan kali panggilannya tak ada satu pun yang terjawab.

"Nomornya... sudah tidak aktif." ucap Julie pelan di ujung kalimat, raut wajahnya berubah kosong. Ben menenggak ludahnya setelah menarik napas panjang, seolah kata-kata yang ingin ia ucapkan tersangkut di tenggorokannya

Angin kencang menggesek lembut kaca jendela mobil, membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering yang berjatuhan. Julie tetap terdiam, matanya terpaku pada panorama yang melintas perlahan di luar sana. Dunia tampak berjalan seperti biasa, tapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang patah, sesuatu yang tak bisa diperbaiki dengan sekadar kata-kata.

Ben mencuri pandang beberapa kali. Dia tahu Julie sedang terperangkap dalam pikirannya sendiri, dikelilingi bayang-bayang masa lalu yang samar dan retak. Namun, tetap saja, ada kebutuhan untuk bicara, untuk mencoba meraih dan mengumpulkan kembali bagian dari Julie yang terasa semakin jauh.

"Julie," Ben akhirnya berkata, suaranya pelan, seolah takut merusak keseimbangan tipis di antara mereka. "Apa yang kau harapkan dari Farley?"

Julie tidak langsung menjawab. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan mudah. 

"Aku tidak tahu," akhirnya ia berbisik. "Mungkin jawaban. Mungkin... pengakuan atau mungkin permintaan maaf."

"Apa sebaiknya kita pergi ke London menyusulnya?"

Julie menoleh, menatap Ben untuk pertama kalinya sejak mereka meninggalkan rumah Dr. Smith. Ada kelelahan di mata cokelatnya, tetapi juga secercah harapan yang samar. "Aku tidak tahu. Tapi aku merasa... aku harus mencoba. Kalau tidak, aku akan terus terjebak di antara rasa curiga dan ketidakpastian ini."

Mobil berhenti di lampu merah. Ben memandang ke depan, lalu kembali menoleh ke arah Julie. "Apa kau ingin aku menemanimu?"

Julie menghela napas, kemudian mengangguk pelan. "Iya. Aku tidak bisa melakukannya sendiri."

Lampu berubah hijau, dan mobil kembali melaju, membawa mereka ke arah di mana kebenaran mungkin menunggu. Atau mungkin hanya lebih banyak pertanyaan yang akan tercipta. Saat itu, tiba-tiba ponsel Ben berdering. Menampilkan nama ibu Julie di layarnya. Julie kemudian menatap Ben, seolah memintanya untuk memutuskan. 

"Aku tidak akan mengangkatnya. Pergi ke London hanya rahasia kita berdua, ya?" Ben melontarkan senyum tipisnya.

Julie mengangguk.

Mobil mereka menjauh dari kota asing itu, membawa Julie dan Ben menuju London. Jalanan membentang panjang, dihiasi dedaunan kuning-oranye yang berjatuhan, seolah ikut menjadi saksi bisu perjalanan mereka.

Setiap kilometer yang mereka tempuh malah terasa seperti menjauhkannya dari kenyataan yang selama ini ia coba pahami. Ben tetap diam di belakang kemudi, membiarkan Julie larut dalam pikirannya, namun sesekali melirik untuk memastikan gadis itu masih ada, masih bernafas dalam ketidakpastian yang menyesakkan.

Di sebuah rest area, mereka berhenti untuk sejenak melepas lelah. Julie duduk di bangku kayu, menatap kosong ke arah horizon. "Ben," katanya tiba-tiba, suaranya nyaris tenggelam oleh angin. "Bagaimana jika Farley tidak ada di sana? Bagaimana jika dia tiba-tiba menghilang lagi seperti empat tahun yang lalu?"

Ben mendekat, duduk di sampingnya. "Kita akan tetap menemukannya, entah itu dalam bentuk kenangan atau kebenaran. Yang penting, kita cari tahu dulu bersama, ya?"

Julie menunduk, menggenggam erat ponselnya, ia masih berusaha untuk percaya bahwa mungkin akan ada jawaban dari Farley, walaupun secara jelas ia mengetahui nomor itu sudah tidak aktif. "Aku takut."

Ben menghela napas panjang, dan hanya diam merangkul Julie, seolah kehabisan kata-kata untuk menenangkan, Ben menawarkan kehadirannya di tengah kekacauan isi kepala Julie.

Mereka melanjutkan perjalanan, memasuki kota London saat malam mulai merambat. Lampu kota menyala, menciptakan bayangan yang menari di wajah Julie. Ia menelan ludah, merasakan ketegangan menjalar di dadanya.

Mereka berhenti di sebuah apartemen tua, alamat yang Julie ingat sebagai tempat Farley tinggal lima tahun yang lalu. Jantungnya berdebar kencang saat Ben mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Mereka mencoba lagi. Masih sunyi. Julie merasa dadanya mulai sesak. Ia mengintip melalui celah kecil di jendela, berharap menemukan secercah bukti bahwa Farley ada di sana. Namun, yang ia lihat hanyalah ruangan kosong, penuh debu, seolah tak berpenghuni selama bertahun-tahun.

Kemudian, seseorang dari unit sebelah keluar dan memandangi mereka dengan tatapan sinis. Mungkin karena keributan yang tidak ia inginkan. Untungnya, mungkin orang itu menangkap raut putus asa di wajah Julie dan Ben, karena rasa kasihan orang itu melangkah keluar dari unitnya dan menghampiri mereka.

"Unit itu sudah lama sekali kosong. mungkin sekitar empat atau lima tahun? Aku tidak begitu yakin."

Wajah Julie mendadak sumringah, seolah harapan kecil yang mengambang di sepanjang perjalanan mereka kini menampakkan secercah cahayanya. "Benarkah? Apa anda punya informasi kemana penghuni unit ini pindah?"

Orang itu mengerutkan dahi. "Tentu saja tidak. Aku tak begitu kenal mereka. Tapi aku punya nomor keluarganya. Sekitar empat tahun yang lalu keluarganya datang kesini untuk mengosongkan unit. Kalau mau, aku bisa kasih."

Julie berdiam diri sejenak. 

"Oh begitu. Sepertinya tidak usah. Kalau begitu kami pergi, terima kasih." dengan langkah cepat, Julie menarik tangan Ben berlalui dari sana.

Mereka berjalan menjauh dari apartemen tua itu, suara langkah kaki mereka menggema di trotoar yang sepi. Ben melirik Julie yang tampak lebih tegang daripada sebelumnya. Tatapan kosongnya menembus jalanan yang mulai diterangi lampu malam.

"Julie, kau yakin tidak mau menghubungi keluarganya? Mungkin kita bisa mendapatkan jawaban lebih cepat," tanya Ben, suaranya pelan.

Julie menggeleng cepat, matanya tetap tertuju ke depan. "Tidak. Aku tahu di mana rumah mereka. Ayo ke sana."

Ben menghela napas panjang. "Apa kau yakin mereka masih ada di sana?"

Julie terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku tidak tahu, yang aku tahu hanyalah, ada sesuatu yang salah. Baru beberapa hari lewat sejak kami bertemu, dan sekarang dia menghilang lagi seperti empat tahun yang lalu. Tapi, aku yakin dia ada di suatu tempat." 

Di dalam pikiran Julie saat itu muncul sebuah keraguan, apakah Farley sudah mengubah haluannya, apakah Farley sudah menemukan kehidupan baru tanpa diiming-imingi luka masa lalu seperti yang dimiliki Julie, itu adalah ketakutan terbesarnya. Tetapi di sisi lain dia masih mengingat jelas ucapan Farley,

"Aku akan segera kembali setelah urusan di London selesai. Tunggu aku, Jules." dan dia masih ingin berpegang erat pada kata-kata itu.

Di sepanjang perjalanan menuju rumah keluarga Farley--Beaumont yang berjarak hanya 20 menit dari posisi mereka berada, Ben melirik ke arah Julie berulang kali, mencoba memahami perasaannya.

Saat mereka tiba di sana, Julie dan Ben berdiri di depan pagar besi hitam yang kokoh, menatap rumah di hadapan mereka dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Bangunan itu masih tampak sama seperti yang Julie ingat--cat putihnya tetap bersih, taman kecil di depannya tetap tertata rapi. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda. Rumah itu kini terlalu rapi, terlalu asing.

Julie mengangguk samar mencoba menguatkan dirinya, lalu menekan bel di gerbang. Beberapa detik kemudian, seorang pria berseragam security keluar, menatap mereka dengan mata yang setengah menyipit.

"Maaf, ada yang bisa saya bantu?"

Julie menelan ludah, tiba-tiba merasa ragu harus mulai dari mana. "Saya... Julie. Apa keluarga Beaumont masih tinggal di sini?"

Security itu mengernyit sesaat sebelum menggeleng pelan, seolah mencoba mengingat sesuatu. "Oh! Keluarga Beaumont! Mereka sudah pindah cukup lama, sejak empat tahun lalu."

Julie terdiam. Kata-kata itu menggantung di udara, menciptakan kekosongan yang memusnahkan harapannya.

"Pindah?" ulangnya, seolah berharap ia hanya salah dengar.

Security itu mengangguk. "Iya, Ke Australia kalau tidak salah. Rumah ini dijual ke pemilik baru."

Ben melirik Julie, melihat bagaimana ekspresi gadis itu berubah--terpaku, seolah apa yang baru saja ia dengar tak bisa diproses begitu saja. Ia meraih tangan Julie dan menggenggamnya dengan harapan sedikit memberi kekuatan.

Ben angkat bicara. "Anda tahu, apakah mereka pernah kembali ke sini setelah pindah?"

Security itu berpikir sejenak, lalu menggeleng. "Seingat saya, tidak pernah."

Julie menarik napas dalam, tetapi dadanya terasa begitu sesak. "Sudahlah, Ben. Ayo kita pulang saja." ucapnya dengan senyum yang getir.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • 3 Stages of Grief   4. The Future I Long For

    Hening menyelimuti mobil saat Ben mengemudi, hanya diisi suara mesin yang berdengung pelan dan lampu kota yang menari di kaca jendela. Julie duduk terpaku, menatap kosong ke luar, pikirannya berkecamuk seperti badai yang tak kunjung reda."Seharusnya kita minta saja nomor keluarga Beaumont pada orang itu." ujar Ben memecah keheningan."Kau kira aku tidak punya nomor mereka? Nomor itu sudah lama tidak aktif, Ben. Jadi percuma saja." Keluh Julie. Dahinya menampilkan kerutan yang cukup dalam, dan di balik pelupuk mata itu, air matanya sudah terbendung.Ben akhirnya memarkir mobil di sebuah sudut kota yang sepi, jauh dari hiruk-pikuk. Ia mematikan mesin, membiarkan keheningan merayap di antara mereka. "Kita istirahat sebentar. Aku beli air minum dulu." Ben melangkah pergi, langkahnya berat seperti pikirannya yang dipenuhi dengan kecemasan tentang Julie. Lampu dari toko kecil di sudut jalan memantulkan bayangan samar di aspal basah. Ia membeli dua botol air, tangannya gemetar saat membaya

  • 3 Stages of Grief   3. Apa Kamu Ingat?

    Ben menjemput Julie dengan mobil tuanya yang berderit pelan saat melewati jalanan kota yang basah setelah hujan. Radio memutar lagu lama yang tak dikenal Julie, tapi Ben tetap bersenandung pelan, mencoba mencairkan suasana. Julie hanya diam, menatap keluar jendela, pikirannya melayang entah ke mana."Tidak usah tegang, Smith kenalan lamaku. Orangnya hangat, jangan begitu khawatir," kata Ben sambil melirik sekilas ke arah Julie. Julie masih tampak kesal."Lain kali ucapan ibuku jangan terlalu didengar. Dia selalu menjadwalkan terapi untukku, tapi kali ini sampai minta rekomendasi darimu. Sejak ayahku meninggal, dia memperlakukanku seperti orang gila," keluh Julie."Sudahlah, mungkin ibumu hanya ingin menghilangkan rasa khawatirnya," hibur Ben.Di tengah obrolan itu, Julie merogoh saku dan mengambil ponselnya dari sana. Jemarinya dengan cepat mengetikkan satu nama untuk dihubungi. "Aku harus mengabari Farley," ucapnya.Namun entah berapa kali pun panggilan yang ia lakukan, tak ada balas

  • 3 Stages of Grief   2. Tentang Kita

    Ketika aku remaja, aku selalu terganggu setiap kali seseorang berbicara tentang suatu kehilangan. Ucapan tentang kepergian seseorang yang begitu kita cintai selalu membuat pikiranku terasa terhimpit. Aku membenci bagaimana perasaan itu menggelayuti diriku, perasaan yang membuat dada terasa sesak hanya karena mendengar cerita mereka, dan aku akan menolak untuk membayangkan diriku berada di posisi itu. Namun, di malam hari aku akan melupakan bagaimana raut wajah sedih mereka dan berkata:"Selagi bukan diriku yang mengalaminya," lalu tertidur nyenyak.Namun tanpa pernah aku duga,"Sayang, tolong bangunlah." Hari itu aku menatap suatu pemandangan di hadapanku: ibuku berlutut dengan setengah tubuhnya bersandar pada jasad ayahku yang dibaringkan. Wajahnya tenggelam di antara kedua tangannya. Aku tahu, dengan cara yang tidak bisa dijelaskan, bahwa ibuku telah kehilangan akal sehatnya.Ternyata, usia tiga puluh tahun--usia yang ketika remaja kupikir adalah usia untuk berdiri tegak, hidup mand

  • 3 Stages of Grief   1. Sarapan Pagi dan Sebuah Mimpi

    Ketika denting jam dinding hampir menabrak angka sepuluh, Julie terbangun dengan kepala yang terasa sedikit berat, diikuti suara ketukan lembut di pintu kamarnya. Dia mengerjap beberapa kali, lalu duduk di tepi ranjang, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Dengan enggan, ia bangkit dari selimut yang masih menyimpan sisa hangat mimpi semalam. Pintu itu terbuka, memperlihatkan sosok ibunya, berdiri di ambang dengan handuk putih tebal di tangan."Ada apa?" tanyanya dengan kening berkerut ringan. Biasanya, ibunya tak peduli kapan ia bangun, apalagi sampai mengantarkan handuk."Mandilah dulu," jawab sang ibu singkat, suaranya serupa angin sepoi di antara daun-daun jendela.Julie meraih handuk itu, terasa dingin meski kering, lalu melangkah menuju kamar mandi, membiarkan air menghapus sisa kantuk yang tertinggal di sudut matanya.Usai membersihkan diri, aroma sup hangat membimbing langkahnya ke dapur. Ibunya berdiri di sana, ditemani uap yang menari-nari di atas panci besar."Untukku?" tanya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status