Beranda / Romansa / 3 Stages of Grief / A Room Without Reality

Share

A Room Without Reality

Penulis: Ann Pearl
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-08 21:11:08

Ketika mereka baru saja tiba di parkiran motel, mata Julie menangkap sosok yang cukup ia kenal. Sontak, ritme langkahnya semakin cepat untuk mendekati sosok itu, seperti menemukan kenangan lama yang sempat hilang.

"Jeanette!" Panggil Julie. Sosok dengan coat beige setengah lutut itu tampaknya mencari sumber suara yang meneriakkan namanya dari kejauhan. Wajahnya sekejap sumringah, kemudian berlari memeluk Julie, begitu erat, seolah ia mengerti bahwa keputusasaan hampir merenggut nyawa gadis itu.

"Oh Julie. Julie... aku sungguh merindukanmu." suaranya sempat terpatah di tengah kalimat seolah kata-kata itu sungguh ia nantikan untuk dilontarkan. Pelukannya begitu tulus, hingga Julie--yang tengah dirundung luka tanpa sadar meneteskan air matanya.

"Aku selalu menunggumu Julie, setiap harinya aku berharap kau akan menghubungiku kembali.  Sudah lima tahun sejak tragedi itu terjadi dan kau yang tiba-tiba menghilang dari kantor, dari London, dari kehidupan semua orang." ujar Jeanette kala itu seraya jemari lentiknya mengusap lembut rambut Julie yang tengah menyandar dan menumpahkan segala kompleksitas emosinya di bahu Jeanette.

Untuk beberapa saat, Julie tenggelam dalam pelukan itu. Ben yang ada di belakangnya hanya melemparkan senyum kepada Jeanette, dan mengangguk pelan, menyiratkan bahwa ia mengerti arti dari pelukan antara kedua sahabat lama itu.

"Maaf, Jean. Aku terlalu sibuk berduka hingga takut untuk menanyakan kabarmu. Aku mulai bekerja di kota asalku sejak tiga tahun lalu. Di sana jauh lebih tenang, tidak berisik seperti London." ucap Julie, dengan perasaan sedikit bersalah.

"Tidak apa, sebenarnya aku tidak pernah benar-benar hilang kontak tentangmu. Selama ini aku selalu meraih kabar dari ibumu."

"Ya... itu... syukurlah" ucap Julie.

"Aku menyesali apa yang terjadi pada ayahmu dan juga... tunanganmu. mereka orang yang sangat baik." ucap Jeanette begitu lembut, terdapat harapan dalam setiap intonasinya bahwa kata-kata itu akan sedikit memberi kekuatan pada Julie.

Tetapi tanpa Jeanette sadari, yang dia katakan barusan bukanlah kata-kata penghiburan yang tepat untuk diterima Julie.

Seolah gemuruh menumpahkan keganasannya di atas kepala, dunia Ben seakan berhenti berputar ketika ia mendapati bahwa sisa-sisa kecil cahaya yang sebelumnya masih ada di balik sorot mata Julie, kini hilang sepenuhnya. Yang ia lihat saat itu, Julie menukikkan sebuah senyuman hampa, tanpa suara, tanpa emosi dibaliknya. Kekosongan kini mulai mengambil alih eksistensi Julie.

"Jean, apa maksudnya tunanganku? Tunanganku, Farley, memangnya dia kenapa? Kami bertemu beberapa hari lalu dan ia tampak baik-baik saja. Apa maksudmu Jean?" 

Sudut bibir Jeanette sedikit bergetar, matanya menelusuri wajah Julie yang tampak terperangkap di antara realitas dan delusi. Ia menoleh sekilas ke arah Ben, berharap menemukan jawaban atau setidaknya ada keberanian untuk melanjutkan. Namun Ben pun masih terombang-ambing dalam ombak isi kepalanya sendiri.

"Julie," ucap Jeanette ragu-ragu, suaranya seperti bisikan angin di antara badai. "Farley... dia sudah tiada kan?" lanjutnya memastikan. 

Namun di momen itu, Ben berhasil menemukan alasan sebenarnya ia tak menghentikan fakta yang dilemparkan Jeanette kepada Julie, bahwa ia juga ingin agar Julie mengetahui kebenaran yang harus dihadapinya. Sekali pun itu pahit.

Julie tertawa kecil sesaat sebelum tawa itu dalam sekejap berubah menjadi kerutan jelas di antara kedua alisnya. "Kau ini lucu, Jean. Candaanmu keterlaluan, apa maksudmu? Aku bahkan baru bertemu Farley beberapa hari lalu."

Ben kini mendekat perlahan, meraih bahu Julie dengan maksud bahwa mungkin sentuhan itu akan memberikan kekuatan barang sedikit di tengah angin topan yang akan memutar balikkan dunia Julie. 

"Coba ingat kembali malam itu, Julie. Apakah Farley memang ada di sana?" meskipun suara itu begitu samar melayang di udara, tetapi Julie dapat mendengarnya sangat jelas, lebih jelas dari memorinya tentang Farley di malam itu.

Seolah seluruh awan-awan yang jatuh dari langit menimpa dirinya, kaki Julie mulai mati rasa. 

Sebuah kenyataan, yang benar-benar nyata mulai menghantam kepalanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • 3 Stages of Grief   A Room Without Reality

    Ketika mereka baru saja tiba di parkiran motel, mata Julie menangkap sosok yang cukup ia kenal. Sontak, ritme langkahnya semakin cepat untuk mendekati sosok itu, seperti menemukan kenangan lama yang sempat hilang."Jeanette!" Panggil Julie. Sosok dengan coat beige setengah lutut itu tampaknya mencari sumber suara yang meneriakkan namanya dari kejauhan. Wajahnya sekejap sumringah, kemudian berlari memeluk Julie, begitu erat, seolah ia mengerti bahwa keputusasaan hampir merenggut nyawa gadis itu."Oh Julie. Julie... aku sungguh merindukanmu." suaranya sempat terpatah di tengah kalimat seolah kata-kata itu sungguh ia nantikan untuk dilontarkan. Pelukannya begitu tulus, hingga Julie--yang tengah dirundung luka tanpa sadar meneteskan air matanya."Aku selalu menunggumu Julie, setiap harinya aku berharap kau akan menghubungiku kembali. Sudah lima tahun sejak tragedi itu terjadi dan kau yang tiba-tiba menghilang dari kantor, dari London, dari kehidupan semua orang." ujar Jeanette kala itu s

  • 3 Stages of Grief   4. The Future I Long For

    Hening menyelimuti mobil saat Ben mengemudi, hanya diisi suara mesin yang berdengung pelan dan lampu kota yang menari di kaca jendela. Julie duduk terpaku, menatap kosong ke luar, pikirannya berkecamuk seperti badai yang tak kunjung reda."Seharusnya kita minta saja nomor keluarga Beaumont pada orang itu." ujar Ben memecah keheningan."Kau kira aku tidak punya nomor mereka? Nomor itu sudah lama tidak aktif, Ben. Jadi percuma saja." Keluh Julie. Dahinya menampilkan kerutan yang cukup dalam, dan di balik pelupuk mata itu, air matanya sudah terbendung.Ben akhirnya memarkir mobil di sebuah sudut kota yang sepi, jauh dari hiruk-pikuk. Ia mematikan mesin, membiarkan keheningan merayap di antara mereka. "Kita istirahat sebentar. Aku beli air minum dulu." Ben melangkah pergi, langkahnya berat seperti pikirannya yang dipenuhi dengan kecemasan tentang Julie. Lampu dari toko kecil di sudut jalan memantulkan bayangan samar di aspal basah. Ia membeli dua botol air, tangannya gemetar saat membaya

  • 3 Stages of Grief   3. Apa Kamu Ingat?

    Ben menjemput Julie dengan mobil tuanya yang berderit pelan saat melewati jalanan kota yang basah setelah hujan. Radio memutar lagu lama yang tak dikenal Julie, tapi Ben tetap bersenandung pelan, mencoba mencairkan suasana. Julie hanya diam, menatap keluar jendela, pikirannya melayang entah ke mana."Tidak usah tegang, Smith kenalan lamaku. Orangnya hangat, jangan begitu khawatir," kata Ben sambil melirik sekilas ke arah Julie. Julie masih tampak kesal."Lain kali ucapan ibuku jangan terlalu didengar. Dia selalu menjadwalkan terapi untukku, tapi kali ini sampai minta rekomendasi darimu. Sejak ayahku meninggal, dia memperlakukanku seperti orang gila," keluh Julie."Sudahlah, mungkin ibumu hanya ingin menghilangkan rasa khawatirnya," hibur Ben.Di tengah obrolan itu, Julie merogoh saku dan mengambil ponselnya dari sana. Jemarinya dengan cepat mengetikkan satu nama untuk dihubungi. "Aku harus mengabari Farley," ucapnya.Namun entah berapa kali pun panggilan yang ia lakukan, tak ada balas

  • 3 Stages of Grief   2. Tentang Kita

    Ketika aku remaja, aku selalu terganggu setiap kali seseorang berbicara tentang suatu kehilangan. Ucapan tentang kepergian seseorang yang begitu kita cintai selalu membuat pikiranku terasa terhimpit. Aku membenci bagaimana perasaan itu menggelayuti diriku, perasaan yang membuat dada terasa sesak hanya karena mendengar cerita mereka, dan aku akan menolak untuk membayangkan diriku berada di posisi itu. Namun, di malam hari aku akan melupakan bagaimana raut wajah sedih mereka dan berkata:"Selagi bukan diriku yang mengalaminya," lalu tertidur nyenyak.Namun tanpa pernah aku duga,"Sayang, tolong bangunlah." Hari itu aku menatap suatu pemandangan di hadapanku: ibuku berlutut dengan setengah tubuhnya bersandar pada jasad ayahku yang dibaringkan. Wajahnya tenggelam di antara kedua tangannya. Aku tahu, dengan cara yang tidak bisa dijelaskan, bahwa ibuku telah kehilangan akal sehatnya.Ternyata, usia tiga puluh tahun--usia yang ketika remaja kupikir adalah usia untuk berdiri tegak, hidup mand

  • 3 Stages of Grief   1. Sarapan Pagi dan Sebuah Mimpi

    Ketika denting jam dinding hampir menabrak angka sepuluh, Julie terbangun dengan kepala yang terasa sedikit berat, diikuti suara ketukan lembut di pintu kamarnya. Dia mengerjap beberapa kali, lalu duduk di tepi ranjang, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Dengan enggan, ia bangkit dari selimut yang masih menyimpan sisa hangat mimpi semalam. Pintu itu terbuka, memperlihatkan sosok ibunya, berdiri di ambang dengan handuk putih tebal di tangan."Ada apa?" tanyanya dengan kening berkerut ringan. Biasanya, ibunya tak peduli kapan ia bangun, apalagi sampai mengantarkan handuk."Mandilah dulu," jawab sang ibu singkat, suaranya serupa angin sepoi di antara daun-daun jendela.Julie meraih handuk itu, terasa dingin meski kering, lalu melangkah menuju kamar mandi, membiarkan air menghapus sisa kantuk yang tertinggal di sudut matanya.Usai membersihkan diri, aroma sup hangat membimbing langkahnya ke dapur. Ibunya berdiri di sana, ditemani uap yang menari-nari di atas panci besar."Untukku?" tanya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status