“Na … na … na … nana ….”
Suara merdu tersebut berasal dari gadis cantik bernama Queen Binar. Ia sudah rapi dengan pakaian hitam putihnya, ia terlihat sangat seksi namun tetap terlihat elegan. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja di PT Angkasa Group yang berada di ibukota Jakarta. Karena dirinya tinggal di kota Bandung. Hal itu mengharuskannya untuk naik kereta agar sampai lebih cepat.
“Kenapa keretanya lama sekali?” gerutu Binar saat sudah sampai di stasiun, sementara sang ayah yang baru saja mengantarnya pun sudah langsung pulang ke rumah.
Tak lama kemudian sebuah kereta berhenti tepat di depannya, ia harus menunggu karena mengutamakan yang turun terlebih dahulu. Tanpa ia sadari ada seorang laki-laki dengan gelagat aneh yang memerhatikan dirinya sejak tadi.
Binar duduk di kursi miliknya, ternyata dia memesan kursi di sebelah jendela agar dapat menikmati pemandangan yang ada.
Seseorang duduk di sebelahnya, laki-laki dengan gaya amburadul membuatnya menjadi merinding sendiri. Laki-laki tersebutlah yang melihat Binar seakan ingin menerkamnya. “Hai, Mbak. Salam kenal, ya!”
Binar pura-pura tidak mendengarnya, ia benar-benar takut saat ini. Laki-laki tersebut terus memandanginya dari atas sampai bawah. “Cantik juga,” ucap lelaki itu dengan pelan. Tidak ada yang mendengarnya, hanya mereka yang tahu.
Binar menoleh ke arah jendela, mencoba untuk melupakan kejadian dan berharap ia akan sampai secepatnya ke Jakarta. Tiba-tiba tangan lelaki itu menyenggol pahanya, “Ups! Maaf, nggak sengaja.”
Binar masih diam, padahal keringat jagung sudah membasahi badannya. Ia sangat ketakutan saat ini. “Mbak, kok diam aja? Mau lagi, ya?” goda lelaki tersebut.
Binar memang terlihat sangat seksi dengan rok pendeknya diatas lutut tersebut, siapa saja yang melihatnya pasti tergoda. “Love you, Baby!” sambil mengelus paha Binar.
Binar sudah tidak tahan lagi, ia menutup telinganya, “Bisa diam, nggak?” Ketus Binar.
“Woah, ternyata galak juga. Tapi aku senang. Aku suka yang galak, lebih menantang kayak kamu.”
“Jangan kurang ajar, ya!” bentak Binar.
“Kelebihan ajar boleh, nggak?”
Binar tidak menjawab lagi, ia mengambil ponselnya dan memainkannya.
“Oh, kamu mau simpan nomor aku, Baby?” Pria tersebut masih terus menggodanya. “Jangankan nomor, hati aku aja bakalan aku kasih ke kamu!” lanjutnya sambil kembali memegang paha Binar.
Binar terus berdo’a di dalam hatinya agar ada seseorang yang menolongnya, siapa sangka tidak ada yang menolongnya saat ini. Binar meneteskan air matanya, membuat pria tersebut semakin menjadi dengan tingkahnya.
“Tolong hentikan! Tolong,” lirih Binar.
“Satu juta satu malam, gimana?” tawarnya sambil menunjukkan dompetnya yang warnanya sudah pudar tersebut.
Binar tidak menjawabnya, ia menghapus air matanya sambil merapikan posisi duduknya. “Deal, ya?” kata pria itu lagi.
Binar tidak menjawabnya, badannya kini sudah gemetaran. Pria tersebut tidak mengganggunya lagi membuat Binar sedikit lega.
Tanpa terasa Binar sudah sampai ditujuan. Binar sengaja berdiri di keramaian agar mereka melihat jika pria tersebut mengganggunya. Namun pria tersebut malah bersikap tidak perduli.
Binar berjalan keluar dari stasiun, namun begitu situasi menjadi sepi tiba-tiba seseorang menarik tasnya hingga membuat Binar terjatuh dan hilang kendali. Binar sudah berteriak meminta tolong tetapi yang membantunya datang setelah pencurinya jauh.
‘Dia ‘kan laki-laki tadi?’ Batin Binar.
Ya, ternyata yang mencurinya adalah laki-laki yang menggodanya tadi. Ibarat kata saat ini Binar sudah terjatuh malah ketimpa tangga. Sakitnya menjadi berlipat-lipat.
“Mbak, nggak pa-pa?” tanya salah seorang yang ingin membantunya.
‘Hei, pertanyaan seperti apa itu? Aku udah jatuh, pasti kenapa-kenapa!’ batin Binar mengumpat mereka.
“Nggak pa-pa, tapi tas saya dibawa kabur,” lirih Binar.
“Maaf, Mbak. Kami sudah kejar malingnya tapi larinya cepat sekali,” kata beberapa orang yang baru saja kembali ke arah Binar, tadinya ia memang mengejar maling tersebut bersama beberapa warga lainnya.
“Ya sudah, nggak apa-apa,” lirih Binar.
Binar bangkit dan berjalan kaki menuju perusahaan tersebut. Dia tak bisa naik kendaraan umum karena tidak memegang apapun. Semuanya berada di dalam tas yang dicuri laki-laki tadi.
“Sial banget hidupku hari ini!” gerutu Binar.
Sekitar pukul sepuluh pagi Binar sudah sampai di perusahaan besar dan megah. Binar sudah tidak sanggup lagi berjalan untuk mencari ruangannya, akhirnya Binar memutuskan untuk pergi ke meja resepsionis.
“Permisi, Mbak. Saya Binar, asisten baru dari Pak Presdir Angkasa Witama. Maaf, saya mau nanya, ruangan saya dimana ya? Takut tersesat, luas banget ini tempatnya,” kata Binar sedikit berbisik.
Wanita itu sedikit ragu, penampilan Binar saat ini benar-benar berantakan. “Maaf, bisa tunjukkan suratnya?”
Binar menghela napasnya, “Itu dia masalahnya, saya habis dijambret. Semuanya ada di sana!”
“Sebentar, saya cek dulu.” Wanita itu melihat di layar monitor, ternyata memang benar nama Binar tertera di sana. “Baiklah, ruangannya ada di lantai paling atas, Mbak.”
“Naik lift, ya?”
“Mbaknya mau naik tangga?”
Binar menghela napasnya, rupanya ia punya trauma dengan lift. “Mbak, bisa temani saya, nggak? Saya takut naik lift sendirian.”
Wanita itu mengangguk, kemudian ia menyuruh temannya untuk berjaga di depan. “Mari saya antar!” titah wanita itu.
Selama di dalam lift, Binar terus memegang tangan wanita itu. “Jangan takut, Mbak bahkan harus seperti ini mulai sekarang.”
“Benarkah? Apa lift ini pernah makan nyawa?”
Wanita itu malah tergelitik mendengarnya, “Sejauh ini belum pernah, Mbak.”
Binar melepaskan tangannya, ia berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja. Akhirnya mereka sampai di lantai 12, pintu lift pun terbuka. “Kita sudah sampai, Mbak. Maaf, saya tidak bisa antar. Ruangannya ada diujung. Tapi itu bukan ruangan kamu, itu ruangan Presdir. Tempat kamu di meja yang di sebelah pintu itu. Hati-hati, Presdir Tama agak anu. Kamu tunggu aja di depan dulu.”
Binar keluar dari lift, namun ia sedikit susah mencerna ucapan wanita tersebut. “Sedikit anu gimana maksudnya?”
Belum sempat menjawabnya, pintu lift pun tertutup membuat Binar ketakutan untuk berjalan. Bahkan ia sejak tadi hanya mondar-mandir di depan lift tadi. Pikirannya mengatakan untuk balik pulang saja, sedangkan hatinya berkata untuk tetap tinggal. Hati dan pikiran yang tidak sejalan ini membuat dirinya menjadi kacau.
“Aku harus bagaimana?” gumam Binar.
Binar berjalan dengan mundur membuat dirinya menjadi tertabrak seseorang. Tangannya seperti menyentuh sesuatu, “Ini apa?” gumamnya.
Suara deheman pun terdengar jelas, Binar menjadi terkejut. “Lepaskan tangannya!” ucap seorang laki-laki dengan dinginnya. Saking dinginnya bulu kuduk Binar menjadi berdiri tegak dengan rapi.
Binar melihat tangannya, ternyata menyentuh hal yang sensitif. Kini Binar berteriak sekencang-kencangnya. “Berisik!” ucap lelaki tersebut.
Beliau langsung pergi meninggalkan Binar, namun Binar langsung mengejarnya. Ia merasa tidak terima karena diperlakukan seperti itu. “Hei, tunggu!” titah Binar.
“Tunggu! Kamu siapa? Kamu penguntit ya? Atau kamu pencuri? Tolong! Ada pencuri di sini! Tolong!” Binar bertingkah aneh, ia berteriak meminta tolong saking takutnya.
Di lantai tersebut hanya orang-orang tertentu saja yang berada di sana. Ruangannya pun juga hanya ada empat, tentu saja itu adalah ruangan penting. Ada beberapa Presdir di sana beserta karyawannya.
Beberapa karyawan yang lain ingin sekali memberitahu Binar, tetapi Presdir Tama memberikan isyarat agar mereka diam. Binar semakin kesal karena yang berada di sana hanya melihatnya saja tanpa menolong sedikitpun.
“Kok pada diam sih? Ini bukan tontonan. Cepat bantu saya!” titah Binar.
“Anu, itu sebaiknya jangan kamu permasalahkan, Mbak. Beliau orang baik.”
“Orang baik apanya? Wajahnya seram begini!”
“Lepasin, Mbak!” titah tiga orang karyawan yang berstatus sama sepertinya sambil menarik tangan Binar.
Kericuhan semakin terjadi hingga tiba-tiba pintu lift terbuka. Seorang laki-laki memakai setelan jas pun datang dengan gagahnya.
“Ada apa ini?” tanyanya.
Binar melepaskan tangannya dari pria tadi, ia mendekati pria yang baru saja datang. Aneh sekali, Binar malah membungkukkan sedikit badannya sebagai tanda hormat.
“Selamat pagi, Pak!” ucap Binar.
“Pagi! Ada apa ini? Wait, kamu siapa?”
“Saya Binar, Pak. Asisten baru Pak Presdir Angkasa Witama.”
“A—apa?” tanya mereka dengan serempak.
“Jadi kamu asisten yang baru?” tanya pria itu setelah beberapa saat.
Binar menganggukkan kepala, “Maaf, apa Bapak adalah Presdir Tama?
Pria tersebut menahan tawanya, “Kamu mau tahu siapa atasan kamu?”
“Si—siapa, Pak?”
“Laki-laki yang kamu ajak bertengkar tadi.”
“A—apa?”
Senja akhir cerita. Di waktu yang senja, seorang wanita sedang duduk meratapi dirinya. Datang karena pekerjaan, pergi karena cinta. Itulah yang dilakukan Binar beberapa waktu lalu. Awalnya, tidak betah bekerja dan ingin segera pergi dari perusahaan itu. Namun, siapa sangka jika cinta datang karena telah terbiasa. “Andai saja, tidak ada perjanjian itu. Aku akan pergi sebagai seorang miliarder, bukan pemburu cinta!” Teriak Binar. Setelah pergi dari perusahaan milik Presdir Tama, Binar bekerja di salah satu restoran yang berada di pinggir laut. Gaji tak seberapa. Tak pula sebanding dengan yang diberikan Presdir Tama. Pun, juga tidak pantas jika dilihat dari gelarnya bersekolah dulu. Namun, dia tetap harus bekerja, jauh dari kota agar tidak dapat bertemu kembali dengan Presdir Tama. Hari semakin larut, senja mulai hilang. Binar pun beranjak dari pasir pantai itu dan berencana untuk kembali ke kosnya.Binar mengusap air matanya lalu ia berjalan tanpa melihat arah. Karena ia menunduk, i
Taman di mansion milik Tuan Angkasa cukup besar. Bahkan juga ada beberapa wahana seperti pelosotan dan ayunan sebagai pelengkap.Saat ini Binar dan Presdir Tama sedang berada di tamat tersebut. Banyak sekali pertanyaan yang ada dibenak Binar. Sedangkan Presdir Tama terlihat dingin menatap lurus ke depan. "Pak Presdir —""Saya mencintaimu!" seru Presdir Tama."Apa?""Anggap saja saya mencintaimu."Binar semakin kecewa, dia mengira lelaki itu benar-benar menyukainya. Tetapi ternyata semua itu hanya bagian dari rencana. Binar menggelengkan kepala, "sorry tapi ini diluar dari kesepakatan kita. Saya tidak setuju! Pernikahan bukanlah permainan, Pak Presdir. Saya tidak bisa mengotori ikatan suci itu dengan perjanjian konyol ini.""Bagaimana kalau kita nikah beneran? Hanya dua tahun saja. Saya tidak akan menyentuhmu. Kita buat pernjanjian secara tertulis lagi. Bagaimana?""Tidak! Saya tidak setuju!""Bagaimana kalau bayarnya 100 kali lipat?""Apa anda sudah gila?" Binar sudah tak dapat lagi
[Buka pintunya sekarang!]Binar terperanjat kaget, kini kepalanya 'lah yang terbentur oleh lemari kecil yang berada di sebelahnya. Untunglah, panggilan tersebut terputus secara sepihak.Binar membuka pintu apartemen tersebut. Dengan spontan dia mundur kebelakang saat Presdir Tama masuk ke dalam. "Apa kita perlu ke dokter?" tanyanya.Binar menggelengkan kepala. Pria itu memerhatikan gadis cantik di hadapannya dari atas sampai bawah. "A—ada apa, Pak Presdir?""Apa kamu terbentur?""Ya, Pak Presdir nelpon saya, buat saya jadi terkejut.""Kamu menyalahkan saya? Lagian kenapa kamu masih tidur jam segini? Kamu lupa akan bertemu dengan ibu saya?""T—tidak, t—tapi …""Pakai ini!" Sambil menyerahkan sebuah paper bag yang sudah berisi pakaian lengkap. Bahkan tas, sepatu dan aksesoris lainnya juga sudah dipersiapkan. "Jangan ngintip, ya!" Seru Binar sambil berlari ke kamar mandi. "Kamu pikir saya selera?" ketus Presdir Tama. Binar masuk ke kamar mandi dan menyelesaikan rutinitasnya. Satu jam
Seharian bersama David membuat Binar kenyang, terhibur dan berkecukupan. Hatinya tenang karena tidak memikirkan atasannya yang super menyebalkan. Urusan Presdir marah atau tidak, itu belakangan.Tak terasa, malam pun tiba. Binar diantarkan oleh David ke kamarnya."Lo senang, Queen?""Lo bilang apa, Kak?" Binar melototkan matanya. "Ah, sorry. Gue masih kebawa perasaan. Okay deh, gue ulangin. Lo senang nggak, Binar?"Binar tersenyum, "thanks, Kak.""Lo yakin nggak mau gue antar sampai kamar?""Nggak usah, Kak. Makasih!"David langsung menatap gedung apartemen tersebut. Saat ini pria itu berada di parkiran bersama Binar. Binar benar-benar tidak memberikan izin masuk, meskipun hanya sampai di lobby. Karena menurut Binar, itu tidak pantas. Selain David bukan siapa-siapa, tempat yang ia huni bukanlah miliknya."Tapi Lo hebat, Lo bisa tinggal di apartemen mewah ini. Kemarin Lo beli berapa? Atau Lo nyewa?" "Lo ngeremehin gue, Kak?""Maaf, bukan maksud buat Lo tersinggung. Maaf, bukan itu ma
"Kamu ambil cuti cuma mau makan di sini? Sama siapa?" tanya Presdir Tama."Sa—"Olive berdehem membuat Binar menghentikan ucapannya. "Honey, kayaknya dia butuh waktu untuk sendirian. Makannya sendiri doang. Yuk, kita tinggalin!""Saya sama teman dekat saya. Iya!""Teman dekat?" tanya Presdir Tama."Ups! Secepat itu kamu berpaling, Binar? Bukannya kamu kemarin baru saja dekat dengan my honey, ya? Kenapa sekarang ada teman lainnya? Aduh, honey. Pilihan kamu sudah tepat dengan milih aku! Dari pada gadis ini, kamu sudah menyelamatkan diri kamu dari gadis yang berkhianat!"Binar meninggalkan mereka yang sedang berdebat. Dia pergi ke meja David tadi. "Kak David!" panggilnya.Respon David di luar dugaan, dia malah tersenyum lebar sambil menepuk tangan. "Gue tahu, Lo pasti mau minta maaf karena udah kayak tadi sama gue 'kan? Gue maafin!""Ck, tolong gue!""Maksud Lo?"Binar menarik tangan David, "Maaf, nanti gue ceritain!"Keduanya sudah berdiri di hadapan Presdir Tama dan Olive. Dengan terpa
Berjalan dengan santai, membeli yang dia mau, berfoya-foya, pergi ke spa untuk memanjakan dirinya, nonton di bioskop serta melakukan apa saja yang dia inginkan di sana. Sudah hampir lima jam dia di dalam mall, karena tadi sempat menonton dan ke salon. Kini wanita itu kelelahan, perutnya keroncongan. Tepat di sebuah cafe, dia menaruh bokongnya di kursi berwarna cream. Tempatnya sangat nyaman. Sebelum bekerja, dia sempat ingin ke tempat itu, karena banyak sekali kalangan atas yang memilih tempat tersebut untuk makan ataupun ajang spot foto saja. Dibilang spot foto karena hanya memesan minuman saja, tetapi duduknya sampai berjam-jam. Hayo, siapa yang seperti itu juga? Hehe.Kini dia berhasil ke tempat tersebut, walaupun tidak bersama teman-temannya. Dia memegang sofa yang dia duduki. "Pantas saja apa-apa mahal di sini, duduk aja senyaman ini!" gumam Binar sambil cekikikan sendiri.Tanpa Binar sadari, seorang pelayan sedang berdiri di hadapannya. Dia terus melamun sambil membayangkan y
"T—tidak.""Apa wanita itu ada di sini?""Dari mana Pak Rayyan tahu?""Berarti dia memang di sini?"Binar terdiam. Rayyan menaruh tangannya di saku celana. "Pak Rayyan, jangan menebar pesona gitu, saya tersepona." Binar memang sengaja mengalihkan pembicaraan."Terpesona!" tegas Rayyan. "Sudahlah, kamu jangan mengalihkan pembicaraan begitu, sekretaris Binar!" lanjutnya. "Saya permisi, Pak!" seru Binar."Mau ke mana, kamu? Katakan, apa dia di dalam?""Sebelum saya jawab, janji dulu untuk nggak bilang ke Presdir kalau semua ini saya yang aduin.""Aman!" singkat Rayyan. "Dia di dalam, bye!" ketus Binar sambil berlari. 'Huh, selamat … selamat …." Begitulah gumam Binar setelah menjauh dari Rayyan. Entah bagaimana nantinya saat Binar pergi tadi, tetapi yang terpenting bagi Binar dia sudah menjauh dari hal-hal yang membahayakannya."Pst, kenapa?" tanya sekretaris Andin yang ternyata sejak tadi melihat gerak-gerik Binar."Kepo!" Sahut Binar sambil menjulurkan lidah. Sementara di dalam ruan
Kini Binar sudah berada di luar ruangan Presdir Tama. Dia terus menggerutu karena dicampakkan begitu saja."Binar, tolong saya!""Binar, kamu harus di sisi saya.""Binar … Binar … Binar ….""Apaan? Bulshit!"Binar mengumpat atasannya sendiri. Lucu sekali. Karena bibir Binar kini bergeser kesana-kemari, wajah wanita ini sudah tak terkondisikan lagi."Woi, marah terus. Ada apa?" Sekretaris Andin mendekatinya. "Eh, kamu. Dari tadi, Ndin?""Ada apa sih?" Sekretaris Andin penasaran. "Nggak pa-pa. Aku lagi kesal aja. Ternyata semua laki-laki itu sama aja, ya!""Tunggu, tunggu … pertama kamu bilang nggak pa-pa, kedua lagi kesal. Ketiga kamu bilang laki-laki itu semua sama aja. Yang benar yang mana?""Satu dulu, baru dua, terakhir tiga. Dah, ah. Nggak penting juga untuk didebatkan!"Binar duduk di kursinya, kemudian dia menghadap sekretaris Andin yang berada di depannya. "Aku mau nanya sama kamu!""Hm, apa tuh? Eh, tunggu, aku ambil kursi dulu!" Sangking penasarannya, sekretaris Andin tidak
Disangka kerasukan membuat Binar sedikit kesal. Menyebalkan sekali, memang. Pria itu berbicara sesuka hati,"Apa ada orang kerasukan di siang bolong?""Bisa saja kamu orangnya! Katakanlah, ada apa? Apa yang kamu pikirkan?""Tidak ada.""Lalu, kenapa saya bicara kamu abaikan?""Hah?""Kamu buat saya seperti orang gila karena bicara sendiri. Jika saja ada yang melihatnya, mungkin saya dikira bicara dengan patung!"Ocehan Presdir Tama membuat Binar ingin tertawa. Seketika pria itu berubah menjadi pria bawel dan menjengkelkan."Oh … jadi begini, rasanya!" gumam wanita itu. "Rasa apa?" "Rasa sayange … rasa sayang sayange. Hei, lihat dari jauh, rasa sayang sayange." Agak lain Binar ini. Begitulah dia jika sudah diambang rasa malunya. "Pak Presdir kepo banget, deh! Ah, iya, saya lapar. Bisakah saya makan duluan?" lanjutnya. Presdir Tama malah tersenyum geli, meskipun sangat tipis terlihat. "Kamu itu, aneh. Memang tinggal kamu yang belum makan!" Binar mengedarkan pandangannya. Rupanya me