Putih.
Sejauh mata memandang, hanya putih yang terlihat. Kombinasi warna apik yang tercipta dari pepohonan, rumah-rumah, juga jalanan telah hilang digantikan oleh dominasi putih. Sungai pun tak luput dari sasarannya. Kejernihan airnya tak lagi mengalir. Kini, sungai itu layaknya bongkahan es raksasa berwarna putih. Tak hanya itu. Warna udara juga terlihat putih. Hal ini terjadi karena butiran-butiran putih terus turun dari langit yang diselimuti awan tebal.
Suram.
Tebalnya awan mungkin menjadi jawaban mengapa suasana itu terasa di pagi ini. Ditambah matahari yang belum menampakkan dirinya, tentu memperparah keadaan tersebut. Padahal waktu telah menunjukkan pukul 8. Harusnya panas mentari sudah terasa. Namun, tebalnya awan menutupi semuanya, walau seberapa keras usaha sang sumber kehidupan untuk menembusnya. Mengintip pun tak berhasil. Mungkin pagi ini, ia harus absen menyinari apa yang ada di balik awan itu. Atau ia harus bersabar hingga para awan berbaik hati membukakan pintu untuknya.
Dingin dan bersalju.
Absennya mentari tentu membuat pagi yang biasanya dingin menjadi semakin dingin. Temperatur udara nyaris menyentuh angka minus 10 derajat. Begitu dinginnya hingga orang-orang menaikkan suhu pemanas rumahnya dan memilih menghabiskan akhir pekan mereka di rumah. Mereka bahkan tak perlu repot-repot menengok keluar jendela untuk melihat apa yang orang lain lakukan di luar sana karena nyatanya tak ada siapa pun. Anak-anak yang biasa bermain bola salju pun tak ada. Tentu saja. Siapa yang akan tahan berada di luar dengan udara sedingin ini? Pastilah hanya mereka yang bermental baja yang mampu melakukannya. Itu pun dengan mengenakan pakaian setebal mungkin hingga bisa melindungi tubuhnya dari terpaan hawa dingin.
Tapi, tunggu. Apa yang dilakukan bocah kecil itu di sana? Ia tengah meringkuk di depan sebuah pagar besi yang masih tertutup. Bocah itu duduk dengan kepala tertunduk dan kaki tertekuk ke depan tubuhnya. Semua atribut penghangat, seperti topi rajut, syal, jaket tebal, sarung tangan, celana panjang, dan sepatu, melekat di tubuhnya. Tak lupa, ia membungkus dirinya dengan selimut untuk menjaga tubuhnya agar tetap hangat.
Namun, masihkah kehangatan itu ia rasakan? Salju telah menutupi tubuh mungilnya. Memang tidak setebal tumpukan salju di jalanan, pohon, atau atap rumah sekitarnya berada. Tapi, tetap saja salju-salju itu telah mengikis suhu tubuhnya yang mulanya hangat menjadi dingin. Tak ada yang menegurnya dan bertanya mengapa bocah itu ada di sana. Tak seorang pun. Dinginnya cuaca membuat jalan di dekat sang bocah tak dilalui orang. Mungkin sejak semalam, melihat tebalnya salju yang ditimbulkan. Lalu sejak kapan bocah itu duduk di sana? Mungkinkah sejak semalam?
Kasihan sekali bocah lelaki itu. Berapa lama lagi ia harus menunggu—menunggu seseorang menemukannya? Berapa lama lagi ia harus menunggu hingga ada orang menolongnya? Tubuhnya sudah kebas, mati rasa akibat terlalu lama berada di sana. Ia bahkan tak mampu membuka matanya. Ia terlalu asyik menikmati kehangatan dalam mimpinya.
Tiba-tiba pagar besi di belakangnya berderit. Perlahan pagar itu membuka, menampilkan remaja lelaki dengan sekop di tangannya. Seorang remaja lelaki lain muncul di samping remaja pertama dengan membawa alat yang sama. Mereka bermaksud membersihkan jalanan dari tumpukan salju agar tak menyulitkan orang-orang berlalu-lintas di sana.
Dua remaja itu terkejut, tentu saja. Melihat bocah lelaki meringkuk di depan tempat tinggalnya, sempat membuat kerja otak keduanya terhenti. Namun, sedetik kemudian mereka tesadar. Dengan berbagai pertanyaan yang berkecamuk di dalam pikirannya, mereka bergegas menghampiri sang bocah.
Darimana datangnya bocah ini?
Mengapa ia ada di sini?
Sejak kapan ia ada di sini?
Remaja pertama membersihkan tubuh sang bocah dari tumpukan salju. Ia mengangkat kepala bocah itu. Sesuai dugaan, bocah itu tidur—atau pingsan?—dengan wajah pucat hampir menyamai putihnya salju. Remaja kedua melepaskan sarung tangannya kemudian menempelkannya di pipi si bocah.
Dingin.
Terlampau dingin.
"Jungsoo-ah, tubuhnya dingin. Kita harus segera menolongnya."
Remaja bernama Jungsoo, sebenarnya, sudah bisa menduga apa yang terjadi pada bocah yang menurut perkiraannya berusia sekitar 5 atau 6 tahun itu. Jelas, ia kedinginan. Maka, tanpa buang waktu, Jungsoo menggendongnya. "Aku akan membawanya ke dalam. Heechul-ah, cepat kau panggil Eomma."
Heechul, sang remaja kedua, berjalan mendahului Jungsoo. Ia melebarkan pintu pagar agar memudahkan Jungsoo melewatinya lalu berlari masuk ke dalam bangunan terbesar di sana dengan Jungsoo mengekor di belakangnya.
"EOMMA!!"
Teriakan Heechul menggema ke seluruh ruangan, membuat kepanikan mendera, menggantikan keheningan pagi yang sebelumnya tercipta.
Rumah Harapan.Apa yang ada di benak kalian ketika mendengar kalimat tersebut? Rumah yang berisi sejuta harapan? Atau hanya sebuah nama untuk menarik ketertarikan orang-orang?Keduanya tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Rumah Harapan adalah tempat di mana para penghuninya merajut harapan akan kehidupannya. Dan sebagai sebuah panti asuhan, Rumah Harapan tentu ingin menarik simpati orang-orang untuk ikut memberi harapan di sana. Mereka yang ada di Rumah Harapan sama seperti manusia lain di luar. Mereka hanya menjadi korban takdir hingga harus berada di sana. Ah, tidak. Kata ‘korban’ terlalu kejam untuk digunakan. Justru mereka beruntung berada di sana. Mereka belajar untuk saling menyayangi layaknya saudara walau tak ada hubungan darah antara mereka. Mereka belajar untuk tak saling membenci karena sesungguhnya mereka adalah keluarga. Mereka belajar untuk saling berbagi karena tak ada ‘milik sendiri’. Semua menjadi milik bersama. Jika s
“Segelas cokelat panas untuk si juara matematika.”Seorang lelaki muda meletakkan segelas cokelat dengan asap mengepul dari dalamnya. Siapa pun yang melihat akan tahu perkataan lelaki tersebut benar—tentang bagian panas. Dan Kyuhyun bodoh bila melupakan fakta itu. Ia tidak langsung mengambil gelas tersebut kemudian menyesap isinya. Ia memilih menunggu hingga kepulan asapnya mereda. “Terima kasih, Hyung,” ucapnya pada lelaki yang sengaja menghidangkan minuman favoritnya.“Kau ini seperti pada siapa saja, Kyu,” candanya. “Bukankah aku selalu menyiapkan cokelat panas tiap kali kau datang?”“Iya. Tapi, tetap saja aku harus berterima kasih, kan, Hyung?”“Baiklah.” Lelaki itu mulai mengacak rambut Kyuhyun—membuat surai panjangnya sedikit berantakan. “Jadi, apa yang ingin sang juara matematika makan sekarang?” tanyanya dengan nada menggoda.&l
Lee Kyuhyun.Nama itu bukanlah nama orang yang Kibum cari. Kyuhyun yang dicarinya tidak memiliki suku kata Lee dalam namanya. Jika itu Cho, maka kemungkinan itu masih ada. Kyuhyun yang ia temui mungkin memang orang yang selama ini ia cari. Nyatanya, tidak ada kata Cho dalam namanya. Secara otomatis, kemungkinan itu pun hilang. Begitu pun dengan harapannya.Hal lain yang membuat Kibum harus benar-benar memupus harapannya adalah fakta Kyuhyun yang tinggal di panti asuhan. Kyuhyun dalam ingatannya bukanlah Kyuhyun yang hidup tanpa keluarga. Masih ada mereka yang merawat Kyuhyun. Tidak mungkin mereka tega menelantarkannya. Sudah menjadi kewajiban orang tua untuk merawat anak-anaknya. Dan kewajiban itu pula-lah yang dimiliki orang itu karena Kyuhyun adalah darah dagingnya. Ya, seberapa pun ia membenci orang itu, ia harus percaya bahwa orang itu akan merawat dan membesarkan Kyuhyun dengan baik.“Hyung, sedang melamun apa?”Suara ringan mili