Esoknya, Adam dan Shino mulai mengemasi semua barangnya. Sekitar 6 tahun Adam menghabiskan waktunya di pulau ini. Menjauh dari keramaian kota dan hiruk-pikuk manusia.
“Kau sudah selesai?” Wanita berjaket hitam itu sudah menggendong tasnya, bersiap kembali ke tempat penginapannya.“Pergilah dulu, aku akan menyusul.” Pria itu pergi menuju kamar mandi, ia ingin membasuh mukanya.“Oke, cepatlah. Jangan sampai kau ketinggalan, walaupun berpenyakitan, aku ini peserta lomba maraton.” ujar Shino.Adam membasuh mukanya di kamar mandi, lalu ia membuka lemari kecil di kamarnya. Pria itu mengambil sebuah foto buram, yang memperlihatkan seorang gadis kecil yang dirangkul oleh laki-laki seusia remaja.“Singkirkan ketakutanmu Adam.” gumam pelan Adam, foto itu ia masukkan ke dalam tasnya.Di sepanjang jalan, Adam hanya diam saja membuntuti Shino. Pria itu cukup terkejut, melihat semangat Shino. Jarak antar dirinya dengan Shino cukup jauh. Entah mengapa, Adam tidak ingin berjalan di samping Shino. Ia memilih berjalan di belakangnya, seperti mengawasinya.“Hei! Pelan-pelan saja! Apa supir kapalmu sangat benci menunggu?!”“Aku ini tidak suka berlama-lama di bawah sinar matahari begini!”Shino berdecak kesal, melihat Adam yang tampaknya berjalan dengan santai di belakangnya.“Hei! Maafkan aku kemarin!” Adam merasa meminta maaf kepada Shino atas kejadian yang menimpa Shino kemarin. Ia sangat merasa bersalah.“Apa?! Aku tidak mendengarmu!!”“Ck, aku lupa kalau dia sedang berpakaian seperti teroris. Sepertinya tidak hanya kulitnya saja yang bermasalah, alat pendengarannya terkena juga.” Adam berlari mendekati Shino, pria tinggi itu mulai berjalan di samping Shino.“Kau bicara apa tadi?”“Aku minta maaf soal kejadian kemarin.” Adam menatap lurus ke depan, matanya tidak berani menatap Shino.“Tenanglah, aku ini punya penangkalnya. Untuk apa aku kaya, jika obat saja tidak punya.” ucap Shino dengan nada sombongnya.“Kau itu ternyata cukup sombong ya. Sudah kuduga, golongan wanita sekelasmu, memang kebanyakan memiliki sifat sombong yang mendarah daging.”“Aku ini sombong agar orang-orang tidak meremehkanku.” Shino melirik sinis pria di sampingnya itu.“Mulutnya kecil tapi mengapa dia cerewet sekali,” gumam pelan Shino.“Apa katamu?” Adam mengernyitkan dahi, matanya menyipit menatap Shino.“Kau ini, selalu saja berusaha mendengar isi hatiku. Bukan urusanmu.” Shino mendengus dan mengalihkan pandangannya ke samping, berlawanan dengan Adam.“Kau tahu dari mana aku di sini?”“Aku ini orang kaya, pastinya memiliki banyak koneksi. Orang sepertimu, mudah sekali untuk dicari. Dengan uang, harimu menjadi lebih mudah.”Adam mulai geli dengan tingkah laku wanita kaya di sampingnya ini. Apa benar, orang kaya memang suka berperilaku menjengkelkan seperti ini?“Hei, sebentar lagi kita akan ke mana?”“Hai hei hai hei, memangnya namaku ini hei?”“Aku tidak tahu namamu.”“Kau tidak bertanya padaku.”“Apa urusannya denganku?”“Oh jadi di kantor nanti, kau mau memanggil bosmu ini dengan sebutan hei?”“Semakin lama kau semakin menjengkelkan. Oke, siapa namamu tuan putri?” Adam berusaha sabar menghadapi sosok wanita yang akan menjadi bosnya kelak.“Ai Hoshino, panggil saja Shino. Jangan panggil aku dengan sebutan tuan putri lagi.”“Baik, bos Shino.”“Sebentar, rasanya terdengar aneh. Panggil saja aku Hoshino, itu lebih baik. Mendengar kata bos dari mulut seorang pria tua, itu terkesan aneh.” Shino mencoba membayangkan Adam memangilnya bos saat di kantor. Ah, terdengar lebay.Adam dibuat ternganga oleh perkataan yang dilontarkan wanita di depannya ini.“Pria tua? Apa aku terlihat setua itu di matamu?” Adam mendengus kesal setelah Shino menyebutnya pria tua.“Wajahmu tak terawat, rambutmu seperti tarzan dan brewok yang mengelilingi rahangmu seperti pria tua menurutku. Apalagi badanmu ini terlalu tinggi dan kek--”“A-apa? Tarzan? Mulutmu jahat sekali. Bagaimana bisa perkataan yang menimbulkan keributan besar muncul dari mulut kecilmu itu? Kau sendiri, pakaianmu seperti teroris.” Adam mulai membalas perkataan Shino yang membuatnya ingin menebang semua pohon di hutan ini.“Hah? Teroris?! Kau ini terlalu lama bersatu dengan alam, sampai outfit swag seperti ini kau bilang seperti teroris? Aku malah ingin tertawa, melihat penampilanmu yang sudah hampir mirip dengan orangutan dis--”Tiba-tiba Adam menutup mulut Shino dengan tangannya dan menariknya ke balik pohon besar. Ia memberi isyarat kepada Shino untuk diam.Seekor babi hutan sedang mengendus pohon di depan Adam dan Shino, tampaknya ia sedang mencari mangsa. Adam melepaskan tangannya dari mulut Shino, ia memperhatikan gerak-gerik babi hutan tersebut.“Bagaimana ini?” bisik Shino pada Adam.“Ssshhh,” Mata biru milik Adam masih serius menunggu kepergian babi hutan tersebut.Saat ini tidak ada jarak antar mereka, Shino masih ingat waktu pertama kali ia bertemu Adam, dengan posisi seperti ini juga.“Apa-apaan ini, mengapa kita terus bertemu dengan binatang liar di pulau ini. Terus posisi ini, ada apa dengan posisi ini?! Mengapa dekat sekali?!” batin Shino.Ia berusaha mengalihkan wajahnya ke samping agar pipi kanannya tidak menyentuh wajah Adam. Jantungnya mulai berdetak tidak beraturan, keringatnya menetes sedikit demi sedikit dari dahinya.“Jantungku kenapa? Apa ini termasuk gejala penyakitku?” gumam pelan Shino.“Sampai berapa lama kita harus seperti ini?” bisik pelan Shino. Wanita itu sudah tidak tahan dengan posisi ini yang terlihat ambigu.“Diamlah, jaga mulutmu untuk tidak bergerak. Berbicaralah dalam hati saja.” Mata Adam terus mengintip babi hutan itu dibalik pohon.Shino perlahan melirik ke arah mata biru Adam, jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Entah, mulai kapan ia merasa seperti ini. Sepertinya ia harus segera berobat.“Apa warna matamu itu asli?” Shino kembali membuka mulutnya.Kini, pria itu menjauh dari tubuh Shino. Babi hutan itu sudah pergi menjauh dari mereka, ini saatnya melanjutkan perjalanan mereka.“Ada apa denganmu?” Adam tidak menghiraukan perkataan Shino, ia mulai mengambil langkah terlebih dulu dari Shino.“Sepertinya memang asli,” batin Shino.Sinar matahari mulai sedikit terlihat, mereka akhirnya menemukan jalan keluar dari hutan pinus yang sangat gelap dan suram itu, jauh dari sinar matahari. Tetapi, itu juga sedikit membuat Shino mulai kewalahan, kare
Sekitar jam 5 sore, Shino dan Adam telah sampai di kota Hong Kong. Mereka segera turun dari kapal dan pergi menuju penginapan Shino. Adam mengikuti Shino dari belakang, sepertinya Adam akan menginap di tempat yang sama dengan Shino."Kita akan pergi ke penginapanku, aku akan memesankan kamar untukmu di hotel nanti. Jangan keluyuran, aku cukup malas membuang waktuku hanya untuk mencari orang lain." ujar wanita itu sembari tangannya melambai memanggil taksi.Adam hanya mengangguk dan ikut masuk ke dalam taksi bersama Shino. Gemerlap lampu di jalanan kota Hong Kong mulai menarik matanya, ia menikmati perjalanannya menuju hotel. Hong Kong yang dulu sangat berbeda dengan yang sekarang. Banyak gedung-gedung mewah yang menjulang tinggi dan suasana malam yang selalu padat oleh manusia. Entah karena pekerjaan atau mencari hiburan malam.Di sampingnya, wanita berparas cantik itu sudah melepaskan sebagian aksesoris pakaiannya yang menurut Adam seperti teroris. Hari s
“Hei, Adam. Ini sudah siang bangunlah,” Seorang gadis kecil dengan mata besar berwarna biru muda berbisik di sebelah Adam yang tertidur. Adam hanya menggeliat malas dan tersenyum kecil, ia mengelus ubun-ubun kepala gadis itu. Gadis kecil itu kembali mencoba untuk membangunkan Adam yang terlelap. “Bangunlah! Ini sudah siang, kau akan terlambat!” Kini, gadis itu sudah memegang sebuah pistol mainan kecil berisi air dan disemprotkan ke wajah Adam. Adam hanya tersenyum miring dan semakin enggan membuka matanya. Ia sangat mengantuk dan tubuhnya sangat lelah menghadapi celotehan wanita keras kepala bernama Shino. “Ah, iya. Siapa wanita itu?” batinnya dalam mimpi. “Hei! Bangunlah paman!” bentak Shino. Byur, Shino menyiram kepala Adam dengan segelas air, ia sudah tidak tahan dengan sikap Adam yang sama sekali tidak bergerak. Adam terkejut dan kemudian bangun dengan rambut basah kuyup, matanya masih menyipit berusaha menghindari sinar matahari yang dipantulkan dari kaca kamarnya. “Sulit
“Hai, apa kabar pa? Sudah lama ya Shino tidak berkunjung ke sini, papa rindu Shino nggak?” Shino menatap nisan bertuliskan Akari Hoshino. “Selamat pagi, om. Saya teman Ai, dia tumbuh besar dengan baik walaupun perangainya yaah seperti itu. Tapi, dia wanita yang cukup tangguh.” sahut Adam ikut menyapa ayah bosnya itu, ia tersenyum lebar. Shino berdecih pelan dan mulai mengeluarkan sebuah buket bunga krisan berwarna putih, ia letakkan di batu nisan ayahnya tersebut. Lalu, ia beralih ke makam ibunya di sebelah. “Hai ma, Shino datang. Shino lebih tinggi kan?” Xiu Juan, nama yang terukir di batu nisan milik ibu Shino. “Halo, tante. Saya Adam, sahabat baik Ai. Saya penjaga setianya, tante tenang saja, saya selalu menjaganya.” Shino hanya tersenyum kecil mendengar Adam yang terus-terusan ikut menyapa kedua orang tuanya. “Baiklah, ayo saatnya kita bekerja.” ajak Shino. Adam mengangguk dan mengikuti Shino pergi dari makam, mereka akan kembali ke Jepang. Shino mengeluarkan ponselnya dan me
“Maaf, nomor yang anda tuju tidak menjawab, silakan tinggalkan pesan suara deng--” Pak Jung menutup teleponnya, hari sudah mulai malam tetapi Shino tidak ada di rumahnya. Pak Jung akhirnya beranjak pulang dari rumah kediaman Shino. “Ayo kita kembali ke kantor saja.” perintah Pak Jung pada supirnya. Kali ini perasaannya tidak enak dan ia harus kembali ke kantor karena kebetulan pekerjaannya menumpuk. Sesampainya di perusahaan, Pak Jung berniat mengambil tas kerjanya untuk pulang ke rumah. Dia terhenti saat suara televisi di ruang kerja departemen web developer memperlihatkan sebuah berita utama malam ini. “Sopir truk akui kelelahan. Arata, sopir truk yang ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap lalai sehingga menyebabkan kecelakaan dan memakan korban luka-luka masih diperiksa intensif oleh petugas polisi setempat.” “Dia pasti akan diberi sanksi dan denda yang cukup berat, karena si korban sepertinya cukup kaya,” ucap Pak Imura dengan berdecak kesal. “Sepertinya dia dalam ke
Adam duduk di sofa ruang tengah, ia menatap kamera pengintai di meja depannya kini. Di kepalanya saat ini, bermunculan sekelebat pertanyaan tentang barang itu. Ia bingung harus bagaimana, barang bukti ini tidak mungkin langsung diberikan kepada polisi. Ia tidak percaya pada polisi, mereka terlalu bermain politik di dalamnya. “Apakah kuberikan ke Pak Jung saja?” gumamnya pelan. “Tapi, bagaimana jika ia malah memberikannya pada polisi?” sambungnya lagi. Jika saja Adam memiliki teman di sini, ia bisa saja meminta bantuan untuk mengoprek kamera ini pada orang tersebut. Tapi sayangnya ini bukan Hong Kong, ia tidak memiliki orang yang dikenal di sini. “Tidak ada pilihan lain, aku harus memberikan barang bukti ini pada Pak Jung.” Pria itu membungkus kamera pengintai itu di plastik ziplock yang ia temukan di dapur. Kemudian, pergi keluar masuk ke dalam mobil Pak Jung. Di rumah sakit, Shino sudah sadarkan diri. Ia saat ini sedang makan buah apel yang dikupas oleh Berry. Pak Jung menyalak
Seorang gadis berambut warna lilac, yang tak lain adalah Vivian masuk ke hotel bintang lima di Hong Kong tempat Shino menginap. Ia memakai dress hitam mewah selutut dengan bagian bahu sangat terbuka, memberi kesan wanita berkelas. Tak lupa, ia memakai kacamata hitam dan membawa tas kecil berwarna hitam yang sangat elegan. Ia kemudian menyewa satu kamar VVIP di hotel ini, di sepanjang jalan orang-orang terperangah ketika melihat kedatangan Vivi yang sangat cantik. Langkah kakinya rapi bak model papan atas. Mereka merasa melihat sosok malaikat yang sangat indah. Setelah masuk ke kamar yang dulunya ditempati oleh Shino, ia duduk sebentar di sofa, dihidupkannya televisi itu. “Kita mulai dari mana ya?” Gadis itu tersenyum miring, kemudian ia mengeluarkan sebuah cairan merah seperti darah. Dituangkannya cairan itu ke ranjang bersprei putih bersih itu di tengah. Tak lupa, ia juga mengeluarkan sebuah bungkus ‘pengaman’ yang sudah kosong isinya, ia letakkan di bawah meja depan sofa tersebut
“Pihak hotel tidak akan memberikan rekaman cctv mereka pada kita.” Pak Jung memijat keningnya, ia pusing setelah mendengarkan cerita yang disampaikan oleh Shino tadi.Kini, Shino kembali tertidur karena kepalanya yang tiba-tiba pusing. Adam berusaha berpikir keras untuk menyelesaikan masalah ini.“Kita tidak bisa langsung pergi ke Hong Kong hanya karena untuk mengambil rekaman cctv hari itu, di sana belum tentu mereka akan langsung memberi akses kepada kita untuk memberikan cctv itu, dan juga butuh waktu untuk mengecek satu persatu rekaman cctv tersebut.” ujar Adam.Pak Jung termenung lama mendengarkan perkataan Adam, kemudian ia berkata, “Kita harus menyuruh orang untuk melakukan hal ini.”Adam menatap lurus pria tua di depannya kini, Pak Jung kemudian mengeluarkan ponselnya dan mulai mencari nama bertuliskan Vivian.“Halo, Vivi?”Di sisi lain, seorang wanita cantik berambut lilac dengan kunci