Hujan tipis turun di luar jendela, seperti bisikan alam yang tahu bahwa malam ini menyimpan rahasia lama yang akan bangkit dari tidur panjangnya.
Kate duduk membatu di tepi ranjang, tangan masih mencengkeram buku tua bersampul hitam yang sempat ia selipkan ke balik bajunya sebelum Lorenzo menariknya keluar dari ruang bawah tanah. Dia tak sempat melawan. Tak sempat bicara. Ana menemukannya lebih dulu, lalu Lorenzo datang. Kate masih terngiang begitu marahnya Lorenzo saat mendapati dirinya. ‘Kau menginjak wilayah yang bahkan iblis pun tak berani langkahi!’ Sekarang, Kate terkunci lagi di kamar. Tapi saat ini ia tidak sendiri. Buku itu bersamanya. Tidak ada judul, tidak ada nama. Hanya goresan usia dan aroma kayu tua. Jantung Kate berdetak tak beraturan. Ia membuka halaman pertama pertama dari buku itu. Disana ia melihat catatan yang membuatnya menebak siapa penulisnya. ‘Jika kau membaca ini... maka mereka telah membunuhku.’ Tangannya bergetar. Halaman demi halaman berisi tulisan tangan yang rapi tapi tergesa. Nama di salah satu halaman membuat napasnya tertahan, Pablo Morelli. Ayah Lorenzo. Catatan harian, laporan, potongan emosi dan kenangan. Semuanya tercampur seperti tinta yang jatuh ke dalam air. ‘Aku pernah mempunyai istri. Ia mati karena memilih ikut bersamaku. Aku tak menyesal. Karena Lorenzo... ia satu-satunya alasanku untuk tetap bertahan. Dan satu-satunya hal yang kubenci karena mewarisi kutukanku.’ Di sisi lain halaman, terdapat sebuah foto, foto dimana Pablo duduk di balkon, memangku anak kecil berambut hitam yang sedang tertawa lepas—Lorenzo. Kate menatap foto itu lama. Ada kehangatan yang aneh, seperti bayangan yang memudar terlalu cepat. ‘RAVEN bukan organisasi. Mereka parasit. Mereka masuk ke tulang dunia termasuk politik, ekonomi, militer, bahkan keluarga.’ Tulisannya berubah menjadi simbol-simbol aneh, gambar lokasi yang ia tandai. Dan beberapa nama yang dicoret. Miguel Morelli Arnaldo Vechio Semuanya dicoret dengan satu kata, PENGKHIANAT ‘Bahkan saudaraku... adalah Bagian dari Raven.’ Lambang Raven tercetak dengan jelas di tengah buku. Sebuah bulan sabit yang familiar. Kate memandangi bentuknya dengan jantung berdebar. Ia pernah melihatnya. Di mimpi buruk. Di luka tembak Lorenzo, saat mereka bertengkar. Di... liontin peninggalan ibunya. Matanya menoleh cepat ke arah laci. Ia mengeluarkan kalung yang selama ini ia simpan sejak kakeknya meninggal. Liontin bulan sabit, hitam legam yang sudah di kembalikan Lorenzo itu menjadi sebuah tanda tanya besar di benak Kate. Ia membuka halaman berikutnya. Di sana terdapat gambar liontin serupa. ‘Kalung ini adalah tanda... Tanda seseorang bagian dari organisasi itu. Atau bahkan pewaris. Bergantung pada darah orang itu sendiri.” Kate membeku. Tangannya mendingin. Matanya kembali ke tulisan Pablo. ‘Aku tahu aku akan mati. Tapi Lorenzo... dia harus tahu perang ini tak pernah tentang keluarga. Tapi tentang warisan. Tentang darah yang dicampur racun. Aku hanya berharap dia bisa memilih. Antara hidup di atas mayatku… atau membakar segalanya.’ Setetes air jatuh ke halaman. Kate tak sadar ia menangis. "Lorenzo... selama ini kamu hanya anak yang tumbuh di atas reruntuhan." bisik Kate pelan. Buku itu bukan sekadar catatan. Ini warisan. Wasiat. Dan mungkin... senjata. Kate menutupnya pelan. Kepalanya berat, tapi pikirannya berlari liar. Mungkinkah Lorenzo belum tahu isi buku ini? Atau dia tahu... tapi menyangkal? Seketika, lampu kamar berkedip. Satu titik merah menyala samar di atas lemari. Kamera tersembunyi. Kate menatapnya. Nafasnya masih gemetar. Tapi ia tak mundur. Ia mendekat, berdiri tepat di depannya. "Kalau kau melihatku? Setidaknya tahu bahwa aku tak takut!" Di ruangan lain, jauh di bawah lantai batu dan baja, Lorenzo duduk di depan layar monitor. Matanya tak lepas dari sosok di kamera tersebut. Kate. Perempuan yang seharusnya ia benci. Perempuan yang menyeret wajah Bella ke tengah lukanya yang belum sembuh. Tapi malam ini, bukan wajah itu yang menghantuinya. Melainkan buku hitam yang sekarang berada di tangan perempuan itu. Buku milik ayahnya. “Kau menyentuh catatan itu, Bella…” bisiknya. “Apa kau tahu... bahwa dengan itu, kau menyetujui kematianmu?” Namun hatinya sendiri tak mampu menjawab. Jika catatan itu benar… maka siapa sebenarnya musuhnya? Dan siapa sebenarnya perempuan itu? Kate atau Bella… Atau seseorang yang lahir dari keduanya?Hujan mengguyur kota seperti dendam yang tak selesai. Langit menghitam pekat, jalanan basah memantulkan cahaya lampu-lampu tua yang berkerlap-kerlip seperti sedang menggigil.Kate menahan napasnya sambil menatap ke arah jalan. Di belakangnya, suara Alric sedang bicara lewat telepon, terlalu sibuk mengeluh pada seseorang soal "drama cewek mafia".Kesempatan.Dia menarik kap hoodie-nya, melangkah cepat ke arah gang kecil di sisi hotel. Tak menoleh. Tak berpikir dua kali.Kakinya nyaris tergelincir karena lantai yang licin. Tapi dia terus lari. Dia hanya ingin satu hal: menjauh dari mereka. Menjauh dari orang-orang yang mengurungnya atas nama "keamanan".Sayangnya, niat kabur dari Morelli… tidak pernah sesederhana itu.***Kurang dari sejam kemudian, Kate berdiri di depan bangunan tua di pinggir kota. Hujan belum juga reda. Tubuhnya mulai menggigil, tapi dia terlalu keras kepala untuk kembali.Sampai suara itu datang. Dingin. Berat. Familiar."Bagus. Besok kau kuikat saja."Kate memutar
Langit Manhattan belum sepenuhnya tengah hari, tapi suasana rumah Lorenzo sudah lebih dulu memanas. Suara benda jatuh terdengar nyaring dari lantai dua, diikuti teriakan melengking yang membuat Ana—pelayan pribadi yang biasanya tenang seperti batu—berlari panik menaiki tangga.Di ruang tengah, Kate berdiri seperti ratu kehancuran. Rambutnya acak-acakan, satu bantal berserakan di lantai, dan remote televisi entah terlempar ke mana."AKU MUAK! AKU JENUH! APA KALIAN MAU AKU GILA DI SINI?" pekiknya, dramatis dan lantang. "Aku lebih baik mati daripada dipenjara seperti tikus!"Ana mencoba mendekat, suaranya hati-hati. "Nona Bella, tenanglah—""JANGAN PANGGIL AKU NONA! AKU BUKAN TAMU DI SINI, AKU TAWANAN! Bahkan tahanan di penjara punya jadwal senam! Aku bahkan tak tahu hari ini hari apa! Haruskah aku menulis di tembok? Hari ke-15 menjadi korban penculikan mafia?!"Ana buru-buru menghubungi Lorenzo.***Sementara itu, di jantung Manhattan, Lorenzo tengah duduk di belakang meja kaca kantor p
Ana mengetuk pintu kamar Kate dengan irama yang sopan namun berjarak. Sejenak, hanya suara detak jam tua di dinding yang terdengar."Tuan Morelli menanti Anda pukul delapan malam," katanya datar. "Berpakaianlah... seindah yang Anda bisa."Kate tidak langsung menjawab. Ada jeda, seperti pikirannya melompat lebih cepat dari napasnya. Kalimat Ana terdengar seperti puisi beracun—indah di luar, tapi mengandung pesan ancaman yang halus.“Baik,” ucap Kate akhirnya, serak.Saat pintu tertutup kembali, Kate berdiri. Dada kirinya berdetak lebih cepat dari biasanya. Bukan karena takut—tapi karena naluri. Undangan makan malam dari Lorenzo Morelli bukan sekadar basa-basi. Di rumah ini, bahkan piring porselen bisa punya mata.Ia memilih gaun hitam yang sederhana, tanpa hiasan. Elegan tapi tidak mencolok. Rambutnya ia sanggul setengah, sisanya dibiarkan jatuh di bahu. Tidak ada perhiasan—kecuali kalung kecil dari kakeknya yang tak pernah ia lepas.Pukul delapan kurang dua menit, ia turun. Lorong men
Hujan tipis turun di luar jendela, seperti bisikan alam yang tahu bahwa malam ini menyimpan rahasia lama yang akan bangkit dari tidur panjangnya.Kate duduk membatu di tepi ranjang, tangan masih mencengkeram buku tua bersampul hitam yang sempat ia selipkan ke balik bajunya sebelum Lorenzo menariknya keluar dari ruang bawah tanah.Dia tak sempat melawan. Tak sempat bicara. Ana menemukannya lebih dulu, lalu Lorenzo datang. Kate masih terngiang begitu marahnya Lorenzo saat mendapati dirinya.‘Kau menginjak wilayah yang bahkan iblis pun tak berani langkahi!’Sekarang, Kate terkunci lagi di kamar. Tapi saat ini ia tidak sendiri. Buku itu bersamanya. Tidak ada judul, tidak ada nama. Hanya goresan usia dan aroma kayu tua.Jantung Kate berdetak tak beraturan. Ia membuka halaman pertama pertama dari buku itu. Disana ia melihat catatan yang membuatnya menebak siapa penulisnya.‘Jika kau membaca ini... maka mereka telah membunuhku.’Tangannya bergetar.Halaman demi halaman berisi tulisan tangan
Langit sore menyelinap masuk melalui celah jendela kamar Kate, menyisakan cahaya jingga yang menggantung di lantai marmer. Cahaya itu seperti menolak pergi, seolah tahu bahwa ada sesuatu yang akan berubah.Sudahi sejak tadi pagi saat Lorenzo bicara sarkas padanya. Dan satu Minggu sejak hari penemuan saputangan misterius itu. Sejak hari itu juga semua orang di rumah Lorenzo memandangnya sinis.Ana, pelayan pribadi yang ditugaskan untuk mengawasinya, hadir tanpa cela. Gerak-geriknya sopan, rapi, tapi terlalu terlatih untuk disebut ramah. Seperti ada garis tak terlihat yang membatasi mereka—garis yang dingin dan tajam seperti benang kawat.Hari itu, Ana masuk membawa teh melati yang masih mengepul.“Sore, Nona. Tuan memerintahkan saya untuk memastikan Anda tetap nyaman, Nona Bella," katanya seperti biasa.Kate menerimanya tanpa senyum. Teh itu tak lagi menenangkan, melainkan terasa seperti isyarat pengintaian."Kau selalu bicara dengan dua makna," gumam Kate, meletakkan cangkir tanpa men
Sudah satu minggu sejak saputangan bertuliskan Raven itu ditemukan. Sejak malam pelelangan berubah menjadi kekacauan bersimbah darah, dan sejak Lorenzo menatap Kate seolah dia pecahan masa lalu yang harus segera disingkirkan.Sejak saat itu, Lorenzo tak bicara sepatah kata pun padanya.Setiap kali Kate melihatnya di lorong atau teras atas, lelaki itu hanya lewat dengan auranya yang dingin. Tatapannya dingin seolah memasang benteng untuk kate, tanda kewaspadaan terhadapnya. Seolah melihat ular yang belum diketahui berbisa atau tidak.Kate ingin menyapa, sebenarnya. meskipun sekadar 'pagi.' atau bahkan 'hey.' Tapi setiap niatnya baru tumbuh, Lorenzo sudah pergi lebih dulu untuk menghindarinya. Dan hari ini… ia bosan menjadi bayangan yang dihindari.Langkah kakinya membawa Kate menuju dapur bawah rumah itu. Rumah yang terlalu besar, terlalu sunyi, dan terlalu penuh kamera tersembunyi. Bahkan dindingnya seperti bisa berbisik.Kate menuruni anak tangga satu-persatu, dengan hoodie abu-abu