Home / Romansa / 365 Hari Bersama Tuan Mafia / Tuan Mafia vs Drama Queen

Share

Tuan Mafia vs Drama Queen

Author: Leaa Lee
last update Last Updated: 2025-07-12 13:33:46

Langit Manhattan belum sepenuhnya tengah hari, tapi suasana rumah Lorenzo sudah lebih dulu memanas. Suara benda jatuh terdengar nyaring dari lantai dua, diikuti teriakan melengking yang membuat Ana—pelayan pribadi yang biasanya tenang seperti batu—berlari panik menaiki tangga.

Di ruang tengah, Kate berdiri seperti ratu kehancuran. Rambutnya acak-acakan, satu bantal berserakan di lantai, dan remote televisi entah terlempar ke mana.

"AKU MUAK! AKU JENUH! APA KALIAN MAU AKU GILA DI SINI?" pekiknya, dramatis dan lantang. "Aku lebih baik mati daripada dipenjara seperti tikus!"

Ana mencoba mendekat, suaranya hati-hati. "Nona Bella, tenanglah—"

"JANGAN PANGGIL AKU NONA! AKU BUKAN TAMU DI SINI, AKU TAWANAN! Bahkan tahanan di penjara punya jadwal senam! Aku bahkan tak tahu hari ini hari apa! Haruskah aku menulis di tembok? Hari ke-15 menjadi korban penculikan mafia?!"

Ana buru-buru menghubungi Lorenzo.

***

Sementara itu, di jantung Manhattan, Lorenzo tengah duduk di belakang meja kaca kantor pribadinya. Di luar, langit terlihat biru cerah, dan lalu lintas padat berdengung dari kejauhan. Jarinya menari di atas layar tablet, menyisir dokumen pengiriman senjata ilegal dari pelabuhan Marseille. Pandangannya fokus, hingga ponselnya bergetar.

ANA: "Tuan, nona... mengamuk. Mohon kembali, sekarang."

Satu helaan napas berat. Lorenzo tidak membalas. Ia hanya berdiri, mengambil jas, dan meninggalkan kantornya.

***

Rumah besar itu kembali senyap saat mobil hitam berhenti di depan pintu. Ana menunggu di pintu masuk dengan wajah tegang. Begitu Lorenzo masuk, dia langsung naik ke lantai dua. Suara langkah sepatunya seperti aba-aba untuk Kate.

Kate sedang duduk di sofa panjang dengan wajah merah dan napas tersengal seperti baru saja berlari. Tapi begitu melihat Lorenzo masuk, dia berdiri dan... langsung mulai lagi.

"Oh, look who finally cares! Tuan Lorenzo yang agung pulang! Mau lihat koleksi luka mentalku? Atau aku harus menari-nari dulu supaya dilirik?!"

Lorenzo tidak langsung bicara. Ia berjalan pelan ke arah meja dan mengambil bantal yang tadi dilempar. Ia menepuknya, membersihkan debu, lalu duduk.

"Apa lagi sekarang, Bella? Drama lagi? Aku sudah terbiasa dengan panggung yang lebih kejam dari ini."

Kate menyipit. "Kalau memang kau mencurigai aku, kenapa tidak langsung menguburku saja? Kenapa malah menyiksaku pelan-pelan dengan semua mata-mata ini?"

Lorenzo menatapnya. "Karena kuburanku terlalu mahal untuk disia-siakan."

Kate tertawa miris. "Lucu. Seorang mafia bisa menyembunyikan senjata, tapi tak bisa menyembunyikan rasa takutnya. Kau takut padaku, ya? Takut aku merusak ilusi yang kau bangun bertahun-tahun?"

Lorenzo berdiri perlahan. Matanya tak bergeming.

"Kau terlalu banyak bicara. Tapi entah kenapa, kau terlalu nyaman hidup untuk seorang yang berkhianat."

Kate melangkah maju. "Atau kau takut... kau mulai percaya padaku?"

Untuk sesaat, keheningan menjalar. Seperti api yang belum padam, rasanya panas seolah membakar udara.

Lorenzo mendekat, hingga hanya beberapa langkah memisahkan mereka.

"Kau mau keluar?" suaranya pelan, tapi tegas.

Kate menahan napas. Ini bagian yang harus dia mainkan dengan hati-hati.

"Aku hanya ingin... udara. Matahari. Bahkan seekor anjing jalanan yang bisa melongok ke dunia luar tanpa diawasi kamera."

Lorenzo mengangguk pelan. "Keluar dari rumah ini. Hari ini saja. Tapi ditemani Alric. Satu langkah saja kau kabur... aku takkan ragu untuk membunuhmu."

Kate memejamkan mata sejenak, lalu membukanya perlahan dengan sorot penuh drama lembut. "Terima kasih atas kemurahan hatimu, Tuan."

Lorenzo menoleh pergi. Tapi sebelum menghilang, ia berkata tanpa menatap, "Kalau kau pikir dramamu berhasil membuatku lengah... Kau harus belajar akting lagi!"

Begitu pintu tertutup, Kate duduk. Senyum tipis mengembang.

"Itu yang kubutuhkan. Saty hari, maka satu celah. Dan kau, Tuan Mafia, baru saja memberikannya."

***

Di lantai bawah, Ana menatap layar CCTV kamar dengan ekspresi sulit ditebak. Satu sudut bibirnya terangkat. Lalu ia berbisik pelan pada dirinya, "Kau memang drama queen, Nona Bella. Terkadang, yang bisa membuka pintu penjara... bukan peluru. Tapi tangisan.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Terpaksa Nginep

    Hujan mengguyur kota seperti dendam yang tak selesai. Langit menghitam pekat, jalanan basah memantulkan cahaya lampu-lampu tua yang berkerlap-kerlip seperti sedang menggigil.Kate menahan napasnya sambil menatap ke arah jalan. Di belakangnya, suara Alric sedang bicara lewat telepon, terlalu sibuk mengeluh pada seseorang soal "drama cewek mafia".Kesempatan.Dia menarik kap hoodie-nya, melangkah cepat ke arah gang kecil di sisi hotel. Tak menoleh. Tak berpikir dua kali.Kakinya nyaris tergelincir karena lantai yang licin. Tapi dia terus lari. Dia hanya ingin satu hal: menjauh dari mereka. Menjauh dari orang-orang yang mengurungnya atas nama "keamanan".Sayangnya, niat kabur dari Morelli… tidak pernah sesederhana itu.***Kurang dari sejam kemudian, Kate berdiri di depan bangunan tua di pinggir kota. Hujan belum juga reda. Tubuhnya mulai menggigil, tapi dia terlalu keras kepala untuk kembali.Sampai suara itu datang. Dingin. Berat. Familiar."Bagus. Besok kau kuikat saja."Kate memutar

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Tuan Mafia vs Drama Queen

    Langit Manhattan belum sepenuhnya tengah hari, tapi suasana rumah Lorenzo sudah lebih dulu memanas. Suara benda jatuh terdengar nyaring dari lantai dua, diikuti teriakan melengking yang membuat Ana—pelayan pribadi yang biasanya tenang seperti batu—berlari panik menaiki tangga.Di ruang tengah, Kate berdiri seperti ratu kehancuran. Rambutnya acak-acakan, satu bantal berserakan di lantai, dan remote televisi entah terlempar ke mana."AKU MUAK! AKU JENUH! APA KALIAN MAU AKU GILA DI SINI?" pekiknya, dramatis dan lantang. "Aku lebih baik mati daripada dipenjara seperti tikus!"Ana mencoba mendekat, suaranya hati-hati. "Nona Bella, tenanglah—""JANGAN PANGGIL AKU NONA! AKU BUKAN TAMU DI SINI, AKU TAWANAN! Bahkan tahanan di penjara punya jadwal senam! Aku bahkan tak tahu hari ini hari apa! Haruskah aku menulis di tembok? Hari ke-15 menjadi korban penculikan mafia?!"Ana buru-buru menghubungi Lorenzo.***Sementara itu, di jantung Manhattan, Lorenzo tengah duduk di belakang meja kaca kantor p

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Dinner Penuh Bara

    Ana mengetuk pintu kamar Kate dengan irama yang sopan namun berjarak. Sejenak, hanya suara detak jam tua di dinding yang terdengar."Tuan Morelli menanti Anda pukul delapan malam," katanya datar. "Berpakaianlah... seindah yang Anda bisa."Kate tidak langsung menjawab. Ada jeda, seperti pikirannya melompat lebih cepat dari napasnya. Kalimat Ana terdengar seperti puisi beracun—indah di luar, tapi mengandung pesan ancaman yang halus.“Baik,” ucap Kate akhirnya, serak.Saat pintu tertutup kembali, Kate berdiri. Dada kirinya berdetak lebih cepat dari biasanya. Bukan karena takut—tapi karena naluri. Undangan makan malam dari Lorenzo Morelli bukan sekadar basa-basi. Di rumah ini, bahkan piring porselen bisa punya mata.Ia memilih gaun hitam yang sederhana, tanpa hiasan. Elegan tapi tidak mencolok. Rambutnya ia sanggul setengah, sisanya dibiarkan jatuh di bahu. Tidak ada perhiasan—kecuali kalung kecil dari kakeknya yang tak pernah ia lepas.Pukul delapan kurang dua menit, ia turun. Lorong men

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Catatan Hitam

    Hujan tipis turun di luar jendela, seperti bisikan alam yang tahu bahwa malam ini menyimpan rahasia lama yang akan bangkit dari tidur panjangnya.Kate duduk membatu di tepi ranjang, tangan masih mencengkeram buku tua bersampul hitam yang sempat ia selipkan ke balik bajunya sebelum Lorenzo menariknya keluar dari ruang bawah tanah.Dia tak sempat melawan. Tak sempat bicara. Ana menemukannya lebih dulu, lalu Lorenzo datang. Kate masih terngiang begitu marahnya Lorenzo saat mendapati dirinya.‘Kau menginjak wilayah yang bahkan iblis pun tak berani langkahi!’Sekarang, Kate terkunci lagi di kamar. Tapi saat ini ia tidak sendiri. Buku itu bersamanya. Tidak ada judul, tidak ada nama. Hanya goresan usia dan aroma kayu tua.Jantung Kate berdetak tak beraturan. Ia membuka halaman pertama pertama dari buku itu. Disana ia melihat catatan yang membuatnya menebak siapa penulisnya.‘Jika kau membaca ini... maka mereka telah membunuhku.’Tangannya bergetar.Halaman demi halaman berisi tulisan tangan

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Ruang Rahasia

    Langit sore menyelinap masuk melalui celah jendela kamar Kate, menyisakan cahaya jingga yang menggantung di lantai marmer. Cahaya itu seperti menolak pergi, seolah tahu bahwa ada sesuatu yang akan berubah.Sudahi sejak tadi pagi saat Lorenzo bicara sarkas padanya. Dan satu Minggu sejak hari penemuan saputangan misterius itu. Sejak hari itu juga semua orang di rumah Lorenzo memandangnya sinis.Ana, pelayan pribadi yang ditugaskan untuk mengawasinya, hadir tanpa cela. Gerak-geriknya sopan, rapi, tapi terlalu terlatih untuk disebut ramah. Seperti ada garis tak terlihat yang membatasi mereka—garis yang dingin dan tajam seperti benang kawat.Hari itu, Ana masuk membawa teh melati yang masih mengepul.“Sore, Nona. Tuan memerintahkan saya untuk memastikan Anda tetap nyaman, Nona Bella," katanya seperti biasa.Kate menerimanya tanpa senyum. Teh itu tak lagi menenangkan, melainkan terasa seperti isyarat pengintaian."Kau selalu bicara dengan dua makna," gumam Kate, meletakkan cangkir tanpa men

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Rahangmu Cocok Untuk Ditinju

    Sudah satu minggu sejak saputangan bertuliskan Raven itu ditemukan. Sejak malam pelelangan berubah menjadi kekacauan bersimbah darah, dan sejak Lorenzo menatap Kate seolah dia pecahan masa lalu yang harus segera disingkirkan.Sejak saat itu, Lorenzo tak bicara sepatah kata pun padanya.Setiap kali Kate melihatnya di lorong atau teras atas, lelaki itu hanya lewat dengan auranya yang dingin. Tatapannya dingin seolah memasang benteng untuk kate, tanda kewaspadaan terhadapnya. Seolah melihat ular yang belum diketahui berbisa atau tidak.Kate ingin menyapa, sebenarnya. meskipun sekadar 'pagi.' atau bahkan 'hey.' Tapi setiap niatnya baru tumbuh, Lorenzo sudah pergi lebih dulu untuk menghindarinya. Dan hari ini… ia bosan menjadi bayangan yang dihindari.Langkah kakinya membawa Kate menuju dapur bawah rumah itu. Rumah yang terlalu besar, terlalu sunyi, dan terlalu penuh kamera tersembunyi. Bahkan dindingnya seperti bisa berbisik.Kate menuruni anak tangga satu-persatu, dengan hoodie abu-abu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status