Share

Ruang Rahasia

Penulis: Leaa Lee
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-12 13:30:44

Langit sore menyelinap masuk melalui celah jendela kamar Kate, menyisakan cahaya jingga yang menggantung di lantai marmer. Cahaya itu seperti menolak pergi, seolah tahu bahwa ada sesuatu yang akan berubah.

Sudahi sejak tadi pagi saat Lorenzo bicara sarkas padanya. Dan satu Minggu sejak hari penemuan saputangan misterius itu. Sejak hari itu juga semua orang di rumah Lorenzo memandangnya sinis.

Ana, pelayan pribadi yang ditugaskan untuk mengawasinya, hadir tanpa cela. Gerak-geriknya sopan, rapi, tapi terlalu terlatih untuk disebut ramah. Seperti ada garis tak terlihat yang membatasi mereka—garis yang dingin dan tajam seperti benang kawat.

Hari itu, Ana masuk membawa teh melati yang masih mengepul.

“Sore, Nona. Tuan memerintahkan saya untuk memastikan Anda tetap nyaman, Nona Bella," katanya seperti biasa.

Kate menerimanya tanpa senyum. Teh itu tak lagi menenangkan, melainkan terasa seperti isyarat pengintaian.

"Kau selalu bicara dengan dua makna," gumam Kate, meletakkan cangkir tanpa menyentuhnya.

Ana menatapnya sejenak. "Itu karena saya sudah lama hidup di antara dua sisi."

Lalu ia pamit, seperti biasa. Tapi langkah Ana hari ini lebih ringan, seolah tak menaruh curiga. Kesempatannya untuk melarikan diri darinya.

Kate menunggu beberapa detik, lalu berdiri dan membuka pintu. Jantungnya berdegup tak karuan saat menyelinap keluar. Dia menyusuri lorong, menyerap tiap suara dan bayangan.

Lorong di lantai dasar sangat sunyi, hanya ada gemuruh samar dari mesin di ruang generator. Di ujung lorong, sebuah pintu baja tampak terbuka sedikit. Sejak ia diculik, Lorenzo melarang keras untuk berkeliaran di sekitar pintu itu apalagi memasukinya. Gemboknya longgar, seolah terburu-buru ditinggalkan.

Kate sangat penasaran dengan ruangan itu. Lalu, ia mendorong pintu itu pelan.

Ruang bawah tanah itu gelap dan lembap, bau logam tua dan jamur tipis menguar di udara. Lampu kuning berdebu menggantung rendah. Kate melangkah menuju ruangan paling dalan disana, ia terheran-heran kenapa ada banyak ruang seperti yang ia temui tempo hari di rumah mewah itu?

Dinding-dindingnya... dipenuhi foto.

Foto dirinya.

Kate berdiri kaku. Di sana terdapat dirinya di kampus, di halte bus, di kafe tempat dia biasa nongkrong. Bahkan ada foto waktu kecil bersama kakeknya di taman belakang rumah.

Semua foto itu tertempel rapi, dilengkapi catatan kecil di bawahnya.

"Brooklyn, 2018."

"Central Park, 2021."

"Cafe Harrow, sore, tidak sendirian."

Tangannya mengambang, lalu menyentuh salah satu foto yang tertempel di dinding ruangan.

"Ini mustahil..."

Dia mendekati meja logam di tengah ruangan. Ada map terbuka di atasnya. Jemarinya gemetar saat membalik isinya.

Akta kelahiran atas namanya.

‘Katherina Alessia Valente’—dicoret dengan tinta merah tebal. Di samping coretan itu tertulis dengan jelas. ‘Palsu. Tidak terdaftar di Manhattan.’

Kate, mulai penasaran dengan map-map lain yang berserakan. Di dalam map itu berisi fakta bahwa dirinya tak pernah ada di negara ini, bahkan namanya tak pernah tertulis di akta.

"Apa maksudnya ini...?" bisiknya. Suaranya tercekat.

Ia menoleh ke sisi lain ruangan. Di sana, di dinding beton besar, ada simbol yang langsung menghantam ulu hatinya—sebuah lambang bulan yang sama persis di kalung liontin peninggalan ibunya, lambang itu dilukis dengan tinta merah tua seperti darah yang mengering.

Tepat di bawahnya tertulis kata, Raven. Semuanya mengarah ke nama yang dilihatnya pada saputangan putih itu.

Kate mundur satu langkah. Dingin menyusup dari ubun-ubun hingga ke telapak kaki.

"Ini semua... tentang aku?”

Tangannya menggigil saat meraih selembar kertas lagi—Satu fakta bahwa Lorenzo akan membunuhnya dalam 100 hari jika dirinya terbukti adalah Bella.

Di kertas itu jelas tertulis tulisan tangan yang indah, namun dengan arti yang tak menyenangkan. Catatan yang memberi tahu Kate untuk membunuh Isabella jika muncul kembali.

Kate menutup mulutnya. Tenggorokannya tercekat, seperti ada duri tak kasatmata yang bertengger.

"Aku bukan Isabella... Tapi kalau semua ini benar... kalau semua ini nyata... Lalu siapa aku sebenarnya?"

Ia berjalan limbung ke sisi ruangan lain. Ada koper kecil di bawah meja. Saat dibuka, isinya lebih menyakitkan daripada yang ia bayangkan.

Sepucuk surat dari dokter keluarga yang selama ini ia kenal. Namun surat itu menyatakan.

‘Subjek tidak memiliki catatan medis sah sejak usia 7 tahun. Semua rekam jejak mengarah ke penciptaan identitas palsu.’

Jadi selama ini hidupnya palsu? Pantas keluarganya di Italia sangat membencinya. Hanya kakeknya-lah yang menyayanginya dengan tulus.

Kate menutup matanya. Ia ingin percaya bahwa ini hanya mimpi. Namun sayang, semuanya terlalu nyata.

Kate tak bisa menahan air matanya, saat mengetahui fakta itu. Fakta dimana dia tak pernah ada di dunia ini.

Tiba-tiba— Langkah kaki yang berat, datar dan berwibawa mendekat.

Kate tersentak panik. Ia menoleh dan buru-buru menyelinap ke belakang lemari ruangan itu.

Langkah itu semakin mendekat. Suara sepatu yang menghantam lantai semen terasa seperti bom waktu.

Suara laki-laki yang sudah bisa ditebak oleh Kate, memenuhi ruangan.

"Siapa pun yang menemukan ruangan ini... tidak boleh keluar hidup-hidup!”

Jantung Kate berdegup kencang. Nafasnya tertahan. Suara napas sendiri seperti dentuman drum dalam kepala.

Ia menggigit bibir. Tubuhnya bergetar, tapi matanya tak berkedip. Ia menyadari sesuatu, bahwa dirinya harus bertindak sebelum Lorenzo membunuhnya.

"Mereka bukan hanya menyelidikiku. Mereka mengincarku. Dan mungkin... dari awal aku memang tidak akan dibiarkan keluar hidup-hidup dari permainan ini."

Untuk pertama kalinya, Kate tidak hanya takut akan siapa dirinya. Ia takut akan apa yang ia bisa lakukan jika dipaksa bertahan hidup.

Dan dalam kegelapan ruangan itu, satu kalimat terukir kuat dalam pikirannya:

"Kalau hidupku palsu... maka aku akan menulis ulang kebenarannya. Bahkan jika harus dengan darah, selama 365 hari!”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Terpaksa Nginep

    Hujan mengguyur kota seperti dendam yang tak selesai. Langit menghitam pekat, jalanan basah memantulkan cahaya lampu-lampu tua yang berkerlap-kerlip seperti sedang menggigil.Kate menahan napasnya sambil menatap ke arah jalan. Di belakangnya, suara Alric sedang bicara lewat telepon, terlalu sibuk mengeluh pada seseorang soal "drama cewek mafia".Kesempatan.Dia menarik kap hoodie-nya, melangkah cepat ke arah gang kecil di sisi hotel. Tak menoleh. Tak berpikir dua kali.Kakinya nyaris tergelincir karena lantai yang licin. Tapi dia terus lari. Dia hanya ingin satu hal: menjauh dari mereka. Menjauh dari orang-orang yang mengurungnya atas nama "keamanan".Sayangnya, niat kabur dari Morelli… tidak pernah sesederhana itu.***Kurang dari sejam kemudian, Kate berdiri di depan bangunan tua di pinggir kota. Hujan belum juga reda. Tubuhnya mulai menggigil, tapi dia terlalu keras kepala untuk kembali.Sampai suara itu datang. Dingin. Berat. Familiar."Bagus. Besok kau kuikat saja."Kate memutar

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Tuan Mafia vs Drama Queen

    Langit Manhattan belum sepenuhnya tengah hari, tapi suasana rumah Lorenzo sudah lebih dulu memanas. Suara benda jatuh terdengar nyaring dari lantai dua, diikuti teriakan melengking yang membuat Ana—pelayan pribadi yang biasanya tenang seperti batu—berlari panik menaiki tangga.Di ruang tengah, Kate berdiri seperti ratu kehancuran. Rambutnya acak-acakan, satu bantal berserakan di lantai, dan remote televisi entah terlempar ke mana."AKU MUAK! AKU JENUH! APA KALIAN MAU AKU GILA DI SINI?" pekiknya, dramatis dan lantang. "Aku lebih baik mati daripada dipenjara seperti tikus!"Ana mencoba mendekat, suaranya hati-hati. "Nona Bella, tenanglah—""JANGAN PANGGIL AKU NONA! AKU BUKAN TAMU DI SINI, AKU TAWANAN! Bahkan tahanan di penjara punya jadwal senam! Aku bahkan tak tahu hari ini hari apa! Haruskah aku menulis di tembok? Hari ke-15 menjadi korban penculikan mafia?!"Ana buru-buru menghubungi Lorenzo.***Sementara itu, di jantung Manhattan, Lorenzo tengah duduk di belakang meja kaca kantor p

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Dinner Penuh Bara

    Ana mengetuk pintu kamar Kate dengan irama yang sopan namun berjarak. Sejenak, hanya suara detak jam tua di dinding yang terdengar."Tuan Morelli menanti Anda pukul delapan malam," katanya datar. "Berpakaianlah... seindah yang Anda bisa."Kate tidak langsung menjawab. Ada jeda, seperti pikirannya melompat lebih cepat dari napasnya. Kalimat Ana terdengar seperti puisi beracun—indah di luar, tapi mengandung pesan ancaman yang halus.“Baik,” ucap Kate akhirnya, serak.Saat pintu tertutup kembali, Kate berdiri. Dada kirinya berdetak lebih cepat dari biasanya. Bukan karena takut—tapi karena naluri. Undangan makan malam dari Lorenzo Morelli bukan sekadar basa-basi. Di rumah ini, bahkan piring porselen bisa punya mata.Ia memilih gaun hitam yang sederhana, tanpa hiasan. Elegan tapi tidak mencolok. Rambutnya ia sanggul setengah, sisanya dibiarkan jatuh di bahu. Tidak ada perhiasan—kecuali kalung kecil dari kakeknya yang tak pernah ia lepas.Pukul delapan kurang dua menit, ia turun. Lorong men

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Catatan Hitam

    Hujan tipis turun di luar jendela, seperti bisikan alam yang tahu bahwa malam ini menyimpan rahasia lama yang akan bangkit dari tidur panjangnya.Kate duduk membatu di tepi ranjang, tangan masih mencengkeram buku tua bersampul hitam yang sempat ia selipkan ke balik bajunya sebelum Lorenzo menariknya keluar dari ruang bawah tanah.Dia tak sempat melawan. Tak sempat bicara. Ana menemukannya lebih dulu, lalu Lorenzo datang. Kate masih terngiang begitu marahnya Lorenzo saat mendapati dirinya.‘Kau menginjak wilayah yang bahkan iblis pun tak berani langkahi!’Sekarang, Kate terkunci lagi di kamar. Tapi saat ini ia tidak sendiri. Buku itu bersamanya. Tidak ada judul, tidak ada nama. Hanya goresan usia dan aroma kayu tua.Jantung Kate berdetak tak beraturan. Ia membuka halaman pertama pertama dari buku itu. Disana ia melihat catatan yang membuatnya menebak siapa penulisnya.‘Jika kau membaca ini... maka mereka telah membunuhku.’Tangannya bergetar.Halaman demi halaman berisi tulisan tangan

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Ruang Rahasia

    Langit sore menyelinap masuk melalui celah jendela kamar Kate, menyisakan cahaya jingga yang menggantung di lantai marmer. Cahaya itu seperti menolak pergi, seolah tahu bahwa ada sesuatu yang akan berubah.Sudahi sejak tadi pagi saat Lorenzo bicara sarkas padanya. Dan satu Minggu sejak hari penemuan saputangan misterius itu. Sejak hari itu juga semua orang di rumah Lorenzo memandangnya sinis.Ana, pelayan pribadi yang ditugaskan untuk mengawasinya, hadir tanpa cela. Gerak-geriknya sopan, rapi, tapi terlalu terlatih untuk disebut ramah. Seperti ada garis tak terlihat yang membatasi mereka—garis yang dingin dan tajam seperti benang kawat.Hari itu, Ana masuk membawa teh melati yang masih mengepul.“Sore, Nona. Tuan memerintahkan saya untuk memastikan Anda tetap nyaman, Nona Bella," katanya seperti biasa.Kate menerimanya tanpa senyum. Teh itu tak lagi menenangkan, melainkan terasa seperti isyarat pengintaian."Kau selalu bicara dengan dua makna," gumam Kate, meletakkan cangkir tanpa men

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Rahangmu Cocok Untuk Ditinju

    Sudah satu minggu sejak saputangan bertuliskan Raven itu ditemukan. Sejak malam pelelangan berubah menjadi kekacauan bersimbah darah, dan sejak Lorenzo menatap Kate seolah dia pecahan masa lalu yang harus segera disingkirkan.Sejak saat itu, Lorenzo tak bicara sepatah kata pun padanya.Setiap kali Kate melihatnya di lorong atau teras atas, lelaki itu hanya lewat dengan auranya yang dingin. Tatapannya dingin seolah memasang benteng untuk kate, tanda kewaspadaan terhadapnya. Seolah melihat ular yang belum diketahui berbisa atau tidak.Kate ingin menyapa, sebenarnya. meskipun sekadar 'pagi.' atau bahkan 'hey.' Tapi setiap niatnya baru tumbuh, Lorenzo sudah pergi lebih dulu untuk menghindarinya. Dan hari ini… ia bosan menjadi bayangan yang dihindari.Langkah kakinya membawa Kate menuju dapur bawah rumah itu. Rumah yang terlalu besar, terlalu sunyi, dan terlalu penuh kamera tersembunyi. Bahkan dindingnya seperti bisa berbisik.Kate menuruni anak tangga satu-persatu, dengan hoodie abu-abu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status