Share

Terpaksa Nginep

Penulis: Leaa Lee
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-14 22:37:52

Hujan mengguyur kota seperti dendam yang tak selesai. Langit menghitam pekat, jalanan basah memantulkan cahaya lampu-lampu tua yang berkerlap-kerlip seperti sedang menggigil.

Kate menahan napasnya sambil menatap ke arah jalan. Di belakangnya, suara Alric sedang bicara lewat telepon, terlalu sibuk mengeluh pada seseorang soal "drama cewek mafia".

Kesempatan.

Dia menarik kap hoodie-nya, melangkah cepat ke arah gang kecil di sisi hotel. Tak menoleh. Tak berpikir dua kali.

Kakinya nyaris tergelincir karena lantai yang licin. Tapi dia terus lari. Dia hanya ingin satu hal: menjauh dari mereka. Menjauh dari orang-orang yang mengurungnya atas nama "keamanan".

Sayangnya, niat kabur dari Morelli… tidak pernah sesederhana itu.

***

Kurang dari sejam kemudian, Kate berdiri di depan bangunan tua di pinggir kota. Hujan belum juga reda. Tubuhnya mulai menggigil, tapi dia terlalu keras kepala untuk kembali.

Sampai suara itu datang. Dingin. Berat. Familiar.

"Bagus. Besok kau kuikat saja."

Kate memutar tubuhnya. Lorenzo berdiri di sana, setengah kuyup, jas hitam melekat di tubuh tegapnya. Wajahnya keras—tapi matanya... entah kenapa, bukan sekadar marah.

"Sudah selesai larinya?"

"Aku nggak minta dijemput," balas Kate datar, meski dadanya berdetak lebih cepat.

"Mau lanjut main petak umpet di tengah badai? Atau masuk ke dalam?"

Petir menyambar langit. Dan Kate tahu, meski dia benci dikendalikan… dia lebih benci kedinginan.

***

Kamar hotel itu sunyi, dengan aroma kayu tua dan udara hangat dari heater yang sudah tua. Cahaya kuning menggantung dari langit-langit, membuat bayangan wajah mereka saling menari di dinding.

"Maaf, Pak… tinggal satu kamar," kata resepsionis tadi.

Dan Lorenzo hanya menjawab, “Itu cukup.”

Kate duduk di pinggir ranjang, menyandarkan tubuhnya. Rambutnya masih basah. Baju tipisnya mulai kering, tapi kulitnya masih menggigil.

"Kalau kau demam, salah sendiri," gumam Lorenzo sambil melepaskan jasnya dan melempar ke sofa.

"Tidur di sofa sana. Atau lantai. Aku tidak akan digoda oleh drama queen."

Kate mendengus. "Tenang aja. Aku lebih suka peluk bantal daripada monster."

Tapi dia memeluk bantal itu terlalu erat, seolah tahu… yang dia hindari bukan ranjangnya. Tapi pria yang duduk dua meter darinya, mengeringkan rambut dengan handuk kecil.

Mereka terdiam lama. Suara hujan menenangkan—dan menyiksa.

Kate bersin kecil.

Lorenzo menoleh. "Kau batuk?"

"Nggak usah sok perhatian."

Dia bangkit, membuka koper kecilnya dan melempar sebuah hoodie ke arah Kate. "Ganti. Biar nggak tambah nyusahin."

Kate menatap hoodie itu—warna hitam pekat, dengan inisial L.M.D di bagian label dalam. Bau tubuh Lorenzo samar-samar masih terasa di sana.

"Ini hoodie favoritmu."

"Aku bisa beli seribu lagi. Tapi cuma punya satu nyawamu, dan kupikir... tidak buruk kalau kau nggak mati malam ini."

Kate ingin tertawa, tapi tenggorokannya tercekat.

***

Beberapa menit kemudian, Kate duduk kembali di pinggir ranjang. Dia sudah ganti hoodie. Wajahnya setengah tenggelam di balik kerah yang terlalu besar.

Lorenzo, kini tak memakai atasan, hanya celana panjang gelap. Luka kecil di bahunya terlihat samar di bawah cahaya.

Kate membuka salep dari tasnya. "Luka ini harus dibersihkan."

"Aku tidak minta."

"Aku tidak peduli."

Dia duduk mendekat. Mengerjakan lukanya pelan. Tapi jarinya gemetar.

"Lain kali jangan jadi pelindung kalau akhirnya tetap berdarah," gumam Kate.

"Lain kali jangan bikin aku berdarah untuk orang yang tidak kupercaya."

Kate menahan senyum, tapi matanya bergetar. Luka-luka yang mereka bagi—bukan hanya di kulit. Tapi di hati.

Tiba-tiba, Lorenzo menggenggam pergelangan tangannya. Hangat. Tegas.

"Tanganmu gemetar."

"Siapa bilang?"

"Kalau bukan karena takut… kenapa?"

Kate menunduk. Tapi hatinya… tidak diam.

Dia tahu ini bahaya. Tapi kenapa degupnya terasa seperti rumah?

***

Mereka duduk di atas ranjang. Masih saling menjaga jarak. Tapi tidak ada yang bicara.

Sunyi.

Kate menarik napas panjang. Hoodie Lorenzo terlalu hangat di tubuhnya—dan entah kenapa itu justru membuat jantungnya semakin tidak stabil.

Dia mencuri pandang ke arah pria itu. Lorenzo menatapnya, seolah bisa melihat sampai ke dasar hatinya. Wajahnya tenang. Tapi matanya... badai.

"Kenapa kau tidak menyerah saja?" Kate bertanya pelan.

Lorenzo menatap. "Karena aku tidak bisa tidur kalau tahu seseorang yang kujaga… bisa saja lenyap besok pagi."

Kate mengerjap. Kata-kata itu terlalu jujur untuk seorang Lorenzo Morelli D'Amato.

Dia mengalihkan pandang. Tapi sebelum bisa berkata lagi, Lorenzo bergerak. Perlahan. Menyentuh dagunya. Menaikkannya.

"Jangan buat aku ingin percaya padamu."

Kate membalas tatapan itu—keras, tapi penuh gentar.

"Jangan buat aku ingin menamparmu karena terlalu dekat."

Mereka tertawa kecil.

Tapi dalam tawa itu, ada jeda. Ada luka. Ada sesuatu yang hampir tak bisa ditahan lebih lama.

Dan di antara hujan, hoodie kebesaran, luka yang belum kering, dan gengsi yang belum luruh… mereka saling menatap seolah waktu berhenti.

Hanya suara detak jantung. Hanya napas.

Satu kata terakhir meluncur dari bibir Lorenzo, terlalu pelan tapi terlalu mematikan:

“Kalau kau tidur di sebelahku malam ini... pastikan kau tidak bermimpi jadi milikku.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Terpaksa Nginep

    Hujan mengguyur kota seperti dendam yang tak selesai. Langit menghitam pekat, jalanan basah memantulkan cahaya lampu-lampu tua yang berkerlap-kerlip seperti sedang menggigil.Kate menahan napasnya sambil menatap ke arah jalan. Di belakangnya, suara Alric sedang bicara lewat telepon, terlalu sibuk mengeluh pada seseorang soal "drama cewek mafia".Kesempatan.Dia menarik kap hoodie-nya, melangkah cepat ke arah gang kecil di sisi hotel. Tak menoleh. Tak berpikir dua kali.Kakinya nyaris tergelincir karena lantai yang licin. Tapi dia terus lari. Dia hanya ingin satu hal: menjauh dari mereka. Menjauh dari orang-orang yang mengurungnya atas nama "keamanan".Sayangnya, niat kabur dari Morelli… tidak pernah sesederhana itu.***Kurang dari sejam kemudian, Kate berdiri di depan bangunan tua di pinggir kota. Hujan belum juga reda. Tubuhnya mulai menggigil, tapi dia terlalu keras kepala untuk kembali.Sampai suara itu datang. Dingin. Berat. Familiar."Bagus. Besok kau kuikat saja."Kate memutar

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Tuan Mafia vs Drama Queen

    Langit Manhattan belum sepenuhnya tengah hari, tapi suasana rumah Lorenzo sudah lebih dulu memanas. Suara benda jatuh terdengar nyaring dari lantai dua, diikuti teriakan melengking yang membuat Ana—pelayan pribadi yang biasanya tenang seperti batu—berlari panik menaiki tangga.Di ruang tengah, Kate berdiri seperti ratu kehancuran. Rambutnya acak-acakan, satu bantal berserakan di lantai, dan remote televisi entah terlempar ke mana."AKU MUAK! AKU JENUH! APA KALIAN MAU AKU GILA DI SINI?" pekiknya, dramatis dan lantang. "Aku lebih baik mati daripada dipenjara seperti tikus!"Ana mencoba mendekat, suaranya hati-hati. "Nona Bella, tenanglah—""JANGAN PANGGIL AKU NONA! AKU BUKAN TAMU DI SINI, AKU TAWANAN! Bahkan tahanan di penjara punya jadwal senam! Aku bahkan tak tahu hari ini hari apa! Haruskah aku menulis di tembok? Hari ke-15 menjadi korban penculikan mafia?!"Ana buru-buru menghubungi Lorenzo.***Sementara itu, di jantung Manhattan, Lorenzo tengah duduk di belakang meja kaca kantor p

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Dinner Penuh Bara

    Ana mengetuk pintu kamar Kate dengan irama yang sopan namun berjarak. Sejenak, hanya suara detak jam tua di dinding yang terdengar."Tuan Morelli menanti Anda pukul delapan malam," katanya datar. "Berpakaianlah... seindah yang Anda bisa."Kate tidak langsung menjawab. Ada jeda, seperti pikirannya melompat lebih cepat dari napasnya. Kalimat Ana terdengar seperti puisi beracun—indah di luar, tapi mengandung pesan ancaman yang halus.“Baik,” ucap Kate akhirnya, serak.Saat pintu tertutup kembali, Kate berdiri. Dada kirinya berdetak lebih cepat dari biasanya. Bukan karena takut—tapi karena naluri. Undangan makan malam dari Lorenzo Morelli bukan sekadar basa-basi. Di rumah ini, bahkan piring porselen bisa punya mata.Ia memilih gaun hitam yang sederhana, tanpa hiasan. Elegan tapi tidak mencolok. Rambutnya ia sanggul setengah, sisanya dibiarkan jatuh di bahu. Tidak ada perhiasan—kecuali kalung kecil dari kakeknya yang tak pernah ia lepas.Pukul delapan kurang dua menit, ia turun. Lorong men

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Catatan Hitam

    Hujan tipis turun di luar jendela, seperti bisikan alam yang tahu bahwa malam ini menyimpan rahasia lama yang akan bangkit dari tidur panjangnya.Kate duduk membatu di tepi ranjang, tangan masih mencengkeram buku tua bersampul hitam yang sempat ia selipkan ke balik bajunya sebelum Lorenzo menariknya keluar dari ruang bawah tanah.Dia tak sempat melawan. Tak sempat bicara. Ana menemukannya lebih dulu, lalu Lorenzo datang. Kate masih terngiang begitu marahnya Lorenzo saat mendapati dirinya.‘Kau menginjak wilayah yang bahkan iblis pun tak berani langkahi!’Sekarang, Kate terkunci lagi di kamar. Tapi saat ini ia tidak sendiri. Buku itu bersamanya. Tidak ada judul, tidak ada nama. Hanya goresan usia dan aroma kayu tua.Jantung Kate berdetak tak beraturan. Ia membuka halaman pertama pertama dari buku itu. Disana ia melihat catatan yang membuatnya menebak siapa penulisnya.‘Jika kau membaca ini... maka mereka telah membunuhku.’Tangannya bergetar.Halaman demi halaman berisi tulisan tangan

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Ruang Rahasia

    Langit sore menyelinap masuk melalui celah jendela kamar Kate, menyisakan cahaya jingga yang menggantung di lantai marmer. Cahaya itu seperti menolak pergi, seolah tahu bahwa ada sesuatu yang akan berubah.Sudahi sejak tadi pagi saat Lorenzo bicara sarkas padanya. Dan satu Minggu sejak hari penemuan saputangan misterius itu. Sejak hari itu juga semua orang di rumah Lorenzo memandangnya sinis.Ana, pelayan pribadi yang ditugaskan untuk mengawasinya, hadir tanpa cela. Gerak-geriknya sopan, rapi, tapi terlalu terlatih untuk disebut ramah. Seperti ada garis tak terlihat yang membatasi mereka—garis yang dingin dan tajam seperti benang kawat.Hari itu, Ana masuk membawa teh melati yang masih mengepul.“Sore, Nona. Tuan memerintahkan saya untuk memastikan Anda tetap nyaman, Nona Bella," katanya seperti biasa.Kate menerimanya tanpa senyum. Teh itu tak lagi menenangkan, melainkan terasa seperti isyarat pengintaian."Kau selalu bicara dengan dua makna," gumam Kate, meletakkan cangkir tanpa men

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Rahangmu Cocok Untuk Ditinju

    Sudah satu minggu sejak saputangan bertuliskan Raven itu ditemukan. Sejak malam pelelangan berubah menjadi kekacauan bersimbah darah, dan sejak Lorenzo menatap Kate seolah dia pecahan masa lalu yang harus segera disingkirkan.Sejak saat itu, Lorenzo tak bicara sepatah kata pun padanya.Setiap kali Kate melihatnya di lorong atau teras atas, lelaki itu hanya lewat dengan auranya yang dingin. Tatapannya dingin seolah memasang benteng untuk kate, tanda kewaspadaan terhadapnya. Seolah melihat ular yang belum diketahui berbisa atau tidak.Kate ingin menyapa, sebenarnya. meskipun sekadar 'pagi.' atau bahkan 'hey.' Tapi setiap niatnya baru tumbuh, Lorenzo sudah pergi lebih dulu untuk menghindarinya. Dan hari ini… ia bosan menjadi bayangan yang dihindari.Langkah kakinya membawa Kate menuju dapur bawah rumah itu. Rumah yang terlalu besar, terlalu sunyi, dan terlalu penuh kamera tersembunyi. Bahkan dindingnya seperti bisa berbisik.Kate menuruni anak tangga satu-persatu, dengan hoodie abu-abu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status