Dua hari setelah konferensi pers, Arka dan Alya kembali ke lokasi syuting Cinta Kontrak Sang CEO. Suasana di set terasa berbeda. Bisik-bisik masih terdengar di sana-sini, tatapan mata kru dan sesama pemain terasa lebih intens setiap kali Alya lewat. Ia mencoba bersikap profesional, mengabaikan semua itu, tapi hatinya tak bisa berbohong. Setiap senyum yang ia paksakan terasa hambar, setiap dialog yang ia ucapkan terasa berat.Sutradara, Mas Seno, memanggil Arka dan Alya ke ruangannya. Wajahnya serius. "Arka, Alya, saya tahu kalian sedang menghadapi situasi sulit di luar sana. Tapi, kita harus tetap profesional. Rating kita sedang naik, dan antusiasme penonton juga melonjak setelah berita kemarin."Ia jeda, menatap Alya dengan empati. "Terutama untuk kamu, Alya. Banyak penonton yang penasaran, apakah drama di layar akan sama dramatisnya dengan kehidupan nyata kalian."Alya hanya tersenyum tipis, pahit."Ini kesempatan buat kita," Arka menyahut, matanya penuh tekad. "Kita buktikan, kala
Satu minggu berlalu. Kehebohan berita tentang Alya dan Rio masih jadi topik hangat. Media sosial ramai, kolom komentar penuh spekulasi, dan nama "Revan" makin meroket. Di tengah kekacauan itu, sebuah tawaran datang ke meja Rio. Pria itu mendapat undangan jadi bintang tamu di podcast terkenal, "Obrolan Santai Bareng Bintang". Ini kesempatan emas untuk Rio promosi novelnya, "Langit yang Hilang", dan tentu saja, mengklarifikasi berbagai rumor. Rio menerima undangan itu dengan senyum dingin. Ini panggungnya.Di hari podcast, Rio tampil santai dengan kemeja denim, memancarkan aura penulis muda yang karismatik. Pembawa acara, Rani, menyambutnya antusias. Setelah beberapa pertanyaan pembuka tentang inspirasi novelnya, Rani mulai masuk ke inti pembahasan."Revan, atau Mas Rio," Rani tersenyum menawan, "Belakangan ini nama Anda sering dikaitkan dengan Alya Putri, istri Arka Mahendra. Banyak yang penasaran, apakah ada hubungan khusus di antara kalian?"Rio tertawa kecil, melirik kamera denga
Tanpa pikir panjang, Arka bangkit, mengambil jaket. Tatapannya dingin, penuh amarah yang dia tahan sejak lama.“Gue jemput dia.”Alya berdiri di tepi taman belakang kafe, masih menenangkan diri usai percakapan dinginnya dengan Rio. Ponselnya terus bergetar, notifikasi masuk tak henti—berita, DM, mention, semuanya tentang dirinya… tentang masa lalunya… tentang Rio.Suara gaduh dari pintu masuk kafe membuat Alya menoleh cepat. Beberapa teman SMA-nya heboh berseru.“Eh, itu… itu Arka Mahendra, kan?!”“Gila, dia ke sini? Buat jemput Alya?!”Alya mengerutkan kening, langkahnya tertahan.,Dari pintu utama, sosok Arka muncul, tinggi tegap dengan setelan gelap kasual, wajah serius tanpa senyum. Lampu gantung di langit-langit memantulkan sorot matanya yang tajam. Di belakang, beberapa awak media yang ternyata sudah nyusup ke acara langsung sigap memotret.Klik! Klik! Klik!“Arka, apa kamu ke sini buat jemput Alya?”“Ada komentar soal berita viral istri ksmu dan Revan?!”Arka tak menjawab. Dia
Alya masih terdiam dalam pelukan Arka, tubuhnya kaku. Detik-detik itu terasa panjang, seolah waktu melambat. Arka menarik napas pelan, menguatkan hatinya untuk bicara.“Maaf,” bisik Arka, suaranya serak nyaris tak terdengar. “Aku... aku nggak sadar udah nyakitin kamu.”Tangan Alya yang semula tergantung di sisi tubuhnya perlahan terangkat. Lalu menekan dada Arka, memberi jarak diantara mereka. Wajahnya tetap datar, tak ada emosi yang terpancar jelas. “Tenang aja, Ka,” ucap Alya akhirnya, nadanya stabil tapi terdengar hambar. “Aku profesional kok. Aku tahu peran aku di sini. Jadi aku minta… jangan melibatkan hati lagi.”Mata Arka melebar tipis, napasnya tertahan.“Kontak fisik kayak gini…” Alya menarik napas, melepaskan genggaman Arka dengan lembut tapi tegas. “Nggak perlu ada lagi. Kita cuma perlu jaga image di luar, udah itu aja.”Arka ingin membantah, ingin menjelaskan sesuatu, tapi lidahnya kelu. Tatapan Alya terlalu dingin, terlalu jauh.Tanpa menunggu respon apapun, Alya berba
Malam itu, rumah mereka yang minimalis dan modern sudah tampak terang saat mereka pulang dari lokasi syuting. Alya masuk lebih dulu, menggantung tas di ruang tamu, lalu berjalan ke kamar tanpa banyak bicara.Arka menyusul beberapa saat kemudian. Di kamar, Alya sedang membuka lemari, memilih pakaian untuk acara keluarga.Dress berwarna biru muda akhirnya dipilihnya. Sederhana, elegan, dan cukup pantas untuk tampil sebagai istri Arka Mahendra di depan keluarga besar.Arka berdiri di ambang pintu kamar, memperhatikan Alya dari jauh. “Kamu… udah siap?” tanyanya pelan.Alya berbalik, rambutnya digerai rapi, wajahnya sudah dirias tipis. “Aku selalu siap buat acara kayak gini, Ka.”Arka mengangguk. Ada banyak kalimat yang ingin dia ucapkan, tapi semuanya tersangkut di tenggorokan. Situasi di antara mereka terlalu rumit, terlalu canggung, tapi di depan keluarga, peran sebagai pasangan bahagia tetap harus mereka mainkan.Beberapa saat kemudian, mereka tiba di rumah besar keluarga Arka. Rumah m
Sudah beberapa saat yang lalu Alya pergi ke ruang make-up, tapi Arka masih berdiri di tempat yang sama sejak Perempuan itu pergi. Pandangannya kosong, pikirannya berantakan.Sejak tadi, bayangan wajah Alya nggak bisa hilang dari kepalanya. Jarak di antara mereka yang biasanya terasa dekat, sekarang seperti ada tembok tinggi yang susah ditembus.Akan tetapi beberapa saat kemudian, suara langkah pelan terdengar dari arah belakang. Arka belum menoleh, tapi dia tahu persis siapa yang datang. Aroma parfum itu terlalu familiar.“Pagi, Arka.”Suara Sasha terdengar pelan, tapi cukup jelas. Arka akhirnya menoleh. Sasha berdiri di sampingnya dengan senyum tipis yang nyaris samar tidak kelihatan.“Pagi,” jawab Arka, datar.Sasha ikut melirik ke arah tenda make-up, tempat Alya terakhir terlihat. “Alya kelihatan dingin banget. Kamu sama dia lagi marahan ya?”Arka menghela napas. “Dia bilang dia baik-baik aja. Lagi pula itu bukan urusan kamu, Sha.” “Kamu sepertinya nggak peka, Ka? ” Sasha melirik