Home / Pendekar / 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT / Bab 121 : Rasa Perhatian Yang Spesial

Share

Bab 121 : Rasa Perhatian Yang Spesial

Author: Adil Perwira
last update Last Updated: 2025-04-14 09:48:35

Setelah pertarungan besar babak pertama selesai, masih ada tujuh ratus orang lagi dari prajurit kerajaan yang tersisa. Namun yang memilukan, Abirama akhirnya menghembuskan nafas terakhir dalam pelukan sang adik.

Senopati Wibisana coba mendekat ke Alindra. Wanita itu masih menangis dan memeluk erat sang kakang yang sudah tak bernyawa lagi. Dengan perasaan iba, dia pun duduk di samping Alindra dan berusaha menabahkan.

“Bersabarlah, Alindra. Kakangmu adalah seorang pendekar sejati. Dia sudah berjuang dalam pertempuran ini. Jiwanya pasti ditempatkan di Swargaloka yang agung.”

Bola mata Alindra basah berlinangan, duka citanya begitu mendalam, dengan tatapan yang sayu, dia melihat ke Senopati Wibisana.

“Kakang Abirama tewas karena melindungiku. Dia rela mengobarkan jiwanya untuk menyelamatkanku.”

Senopati Wibisana hanya bisa mengangguk. Dia mengerti kesedihan di hati Alindra saat ini. Memang bukan hal yang mudah jika harus berpisah dari seorang saudara kandung yang selama ini selalu menjaga
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 146 : Melepas Masa Lalu

    Bayu Halimun terus mengejar orang yang dahulu pernah menjadi sahabat dekatnya itu. Dia tak tahu kemanakah Pangeran Kelelawar ingin membawanya. Mereka terbang melewati pohon-pohon besar di tengah kegelapan hutan yang sunyi.Walau mata Pangeran Kelelawar tak menoleh ke belakang, namun kehadiran Bayu Halimun yang dari tadi mengikuti dapat dirasakan olehnya. Aura kegelapan milik siluman burung hantu itu memang tak pernah berubah. Energinya sangat negatif. Itu disebabkan karena dia telah lama bergabung dalam persaudaraan Iblis, berkumpul dengan orang-orang jahat yang membuat jiwanya jadi tambah gelap.Setelah cukup jauh melayang di bawah binar purnama yang muram, akhirnya Pangeran Kelelawar menemukan juga lokasi yang cocok untuk meladeni Bayu Halimun. Yaitu hamparan rumput luas yang lumayan lengang dari pepohonan. Dalam pertarungan ini, Mahesa Bhamantara bertekad akan mengerahkan seluruh kemampuan kanuragan yang dia miliki. Bila dirinya berhasil mengalahkan Bayu Halimun, dia berharap deng

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 145 : Ada Yang Diam-diam Mengintai

    Malam yang dingin semakin larut. Lereng Gunung Ratri yang penuh pepohonan meranti sudah terlewati di belakang Giandra. Kini dia sedang berada di sebuah kawasan lembah yang masih tertutup hutan.Giandra coba-coba menghitung-hitung jarak perjalanan, menurut perkiraannya, dia nanti akan sampai di istana bertepatan dengan waktu terbit fajar.“Aku tidak boleh terlambat. Semoga saja Argani Bhadrika belum tiba di gerbang istana kerajaan. Jangan sampai bajingan itu mencelekai gusti prabu,” bantin Giandra dalam hati.Dari satu dahan pohon ke dahan pohon yang lain, Giandra terus melompat menggunakan ilmu peringatan tubuh. Temaram pucat cahaya bulan sudah cukup sebagai lentera yang menemaninya sepanjang jalan.Kecepatan Giandra saat melesat di udara dapat melebih laju seekor kuda perang. Sepanjang jalan Giandra tak melihat apa pun di sekitar kecuali hanya kegelapan belantara liar.Bayangan silam kembali terlintas di pikiran Giandra. Di

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 144 : Pesan Terakhir Tubagus Dharmasuri

    Setelah lumayan jauh meninggalkan puncak Gunung Ratri, para pendekar kini sedang dalam perjalanan hendak turun ke kaki gunung. Tubagus Dharmasuri terus dipapah oleh Senopati Wibisana dan juga Alindra. Kondisinya yang terlalu lemah tak memungkinkan bagi sang patih tua itu untuk berjalan sendiri.Malam masih panjang, bintang-bintang pun tampak cemerlang bertaburan di langit, udara di hutan yang dingin menemani setiap langkah kaki mereka. Awalnya para pendekar sempat menggunakan ilmu peringan tubuh sewaktu kabur dari Dewa Kalajengking, tapi kini mereka memutuskan berjalan kaki pelan-pelan, sebab fisik mereka sudah tak kuasa melawan letih, dan keadaan pun sekarang sudah lebih aman.Alindra lalu memberi usul. “Kelihatannya Dewa Kalajengking tidak akan mengejar sampai ke sini. Bagaimana kalau kita istirahat dulu sembari menunggu Mpu Bhiantar dan Senopati Taraka tiba?”“Baiklah, aku setuju. Kita butuh tempat untuk merebahkan gusti patih dan menawar luka dalamnya,” ujar Senopati Wibisana.Dam

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 143 : Pertolongan Yang Tepat Waktu

    “Hah … hah … hah ….” Senopati Taraka akhirnya terengah-engah kelelahan. Jurus tadi telah berhasil memusnahkan binatang peliharaan Dewa Kalajengking. Dia butuh jeda dulu untuk menarik nafas saat ini, karena jantungnya berdegup kencang akibat memforsir tenaga dalam. Namun, Dewa Kalajengking yang berdiri sekitar tujuh tombak di hadapannya tak sudi memberi waktu walau sebentar. Alih-alih penyihir itu lanjut lagi membaca mantra. Tanah pun terbelah! Tiga ekor kalajengking raksasa keluar lagi dari dalam bumi bak singa yang baru dilepas dari kandang. Senopati Taraka kali ini benar-benar dalam keadaan rawan. Dia harus bertarung lagi walau fisiknya makin melemah. Melihat pemandangan itu, Senopati Taraka pun berpikir, “Bagaimana bisa binatang raksasa ini tidak habis dari tadi? Setiap kali penyihir itu berkomat-kamit merafal mantra, selalu saja ada kalajengking besar yang muncul. Kekuatan sihirnya memang aneh dan tidak masuk di akal!”Dewa Kalajengking rupanya tahu kalau Senopati Taraka takjub

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 142 : Mundur Bukan Berarti Kalah

    “Gusti Patih,” pekik Senopati Taraka. Teriakannya itu membuat yang lain pun jadi ikut kaget.Semua mata pendekar kini tertuju pada Tubagus Dharmasuri. Sungguh tak diduga kalau orang sekuat dia ternyata juga bisa kalah. Padahal Tubagus Dharmasuri adalah yang paling sakti di antara yang lain. Dengan susah payah, Senopati Taraka pun cepat-cepat bangkit. Dia tergopoh-gopoh menghampiri sang patih yang tampaknya mengalami luka dalam.Sewaktu tadi Dewa Kalajengking menembakkan sinar merah dari telapak tangannya, Tubagus Dharmasuri adalah yang berada di posisi paling depan di antara para pendekar, maka wajarlah kalau dirinya yang paling kuat terkena terpaan energi penyihir itu.Sambil berusaha mengontrol nafas, Tubagus Dharmasuri mengangkat tangan kirinya, Senopati Taraka langsung tahu kalau patih itu minta dibantu untuk berdiri.“Bertahanlah, Gusti!” ucap Senopati Taraka seraya menaruh lengan Tubagus Dharmasuri di tengkuknya, dia pun menolongnya untuk bangun.Tubuh orang tua itu ternyata lum

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 141 : Hancurnya Zirah Sisik Naga

    Napas Patrioda berdengus bak banteng yang baru masuk ke dalam arena. Dia tak hirau lagi dengan apa pun di sekitarnya, sebab perhatiannya saat ini cuma tertuju pada satu titik, yaitu Dewa Kalajengking yang sebentar lagi akan dia terkam! Tanpa berkedip, Patrioda menatap sosok besar yang berdiri setinggi dua tombak itu. Dia rasa kalau dirinya harus berlari dan melonjak ke udara bila ingin mencakar tubuh Dewa Kalajengking dengan kukunya.Patrioda pun berseru, “Akan kuselesaikan semuanya sekarang! Terimalah ini, Jurus Cakar Naga Mencabik Gunung! Hiyaaa!”Bak Macan tutul yang kelaparan, Patrioda bergerak secepat angin. Dengan lonjakan kaki yang kuat di tanah, tubuhnya pun lalu membubung tinggi untuk menjangkau badan Dewa Kalajengking.Musuhnya itu sama sekali tak berkelit, Dewa Kalajengking malah membentangkan tangannya lebar-lebar, seolah mempersilahkan Patrioda yang hendak menyerangnya. Dengan bengis, kedua cakar Patrioda yang serupa bara api pun serta merta langsung mencarik kulit Dewa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status