Maya menyesap kopi hitamnya yang mulai mendingin. Kedai kopi ini sudah hampir tutup, tapi pemiliknya, Pak Jamal, terlalu baik untuk mengusirnya. Lagipula, Maya adalah pelanggan setia. Setiap Sabtu malam, dia selalu duduk di sudut yang sama, dengan laptop yang sama, dan segelas kopi hitam yang sama.
"Masih nulis, Mbak?" tanya Pak Jamal sambil mengelap meja di sebelahnya.
Maya tersenyum tipis. "Selalu, Pak."
Yang tidak diketahui Pak Jamal adalah bahwa yang ditulis Maya bukan sekadar cerita fiksi biasa. Buku catatan di sebelah laptopnya berisi diagram rumit hubungan antara teman-teman SMA-nya. Garis-garis penuh warna menghubungkan nama-nama dengan keterangan rinci: siapa menyukai siapa, siapa pernah menyakiti siapa, dan yang paling penting, siapa yang masih menyimpan perasaan untuk siapa.
Maya bukan sekadar penulis novel. Dia adalah pengamat, pencatat, dan kadang-kadang, pengendali boneka.
Ponselnya bergetar. Pesan dari Luna. Tangkapan layar percakapan di grup "SMA Tanpa Drama".
"Mereka semua heboh. Faris mengaku punya suami," gumam Maya, sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman kecil.
Dia membuka buku catatannya, membalik ke halaman yang penuh dengan tulisan tentang Faris dan Alya. Hubungan tujuh belas kali putus balikan yang melegenda di angkatan mereka. Faris si jenius matematika yang tak bisa mengekspresikan perasaan, dan Alya si "Dewi Galau" yang terlalu mudah terbawa emosi.
Maya mencoret sesuatu di bukunya dan menulis catatan baru.
"Fase satu: berhasil."
Ponselnya bergetar lagi. Kali ini telepon masuk. Nama "Pak Surya" tertera di layar. Maya tersenyum lebih lebar.
"Selamat malam, Pak Guru," sapa Maya.
"Malam, Maya. Kudengar strategi pertama sudah berjalan?"
Maya melirik laptopnya yang menampilkan laman siniar tempat Faris menjadi bintang tamu. Rating-nya meroket dalam beberapa jam terakhir.
"Sesuai rencana. Faris melakukan bagiannya dengan baik, meski dia terdengar sangat gugup."
"Bagaimana dengan Alya?"
"Luna baru saja melaporkan. Alya merespons persis seperti yang kita prediksi. Bahkan lebih baik. Dia sudah berinteraksi langsung dengan Faris."
Terdengar tawa kecil dari seberang telepon. "Kau selalu jadi murid terbaikku dalam memahami orang lain, Maya."
Maya tersenyum. Pak Surya, mantan guru BK mereka, kini menjadi motivator terkenal dengan pendekatan psikologi praktisnya. Tapi bagi Maya, beliau tetap guru favorit yang dulu selalu punya waktu untuk mendengarkan masalah murid-muridnya.
"Jadi, kapan kita mulai fase dua?" tanya Pak Surya.
Maya melirik kalender di laptopnya. "Besok. Minggu pagi."
"Kau yakin waktunya cukup? Reuni tinggal seminggu lagi."
"Justru itu, Pak. Kita butuh tekanan waktu untuk mendorong mereka. Terlalu lama, mereka akan punya kesempatan untuk berpikir terlalu banyak."
Maya bisa membayangkan Pak Surya mengangguk di seberang sana. Strategi psikologis selalu menjadi keahlian guru BK itu.
"Bagaimana dengan pasangan lain? Rizky dan... kau?"
Maya merasakan wajahnya sedikit memanas. "Saya sudah mengatur pertemuan 'tidak sengaja' dengan Rizky besok. Di masjid dekat rumahnya."
"Hati-hati, Maya. Jangan sampai strategimu untuk orang lain mengorbankan kebahagiaanmu sendiri."
Maya terdiam sejenak. Hubungannya dengan Rizky memang rumit. Dulu, saat SMA, Maya adalah gadis pendiam yang selalu membaca buku di perpustakaan. Rizky adalah playboy sekolah yang berganti pacar setiap bulan. Mereka seperti berasal dari dunia berbeda.
Tapi ada satu semester di kelas tiga, saat mereka dipasangkan dalam proyek penelitian sosial. Selama tiga bulan itu, Maya melihat sisi Rizky yang tidak pernah ditunjukkan pada orang lain. Sisi yang tulus, cerdas, dan penuh perhatian.
Saat proyek selesai, mereka kembali ke dunia masing-masing. Rizky kembali pada kebiasaan lamanya, dan Maya kembali tenggelam dalam buku-bukunya. Tapi perasaan itu tidak pernah benar-benar hilang.
Delapan tahun kemudian, Rizky kini menjadi ustadz muda yang dihormati. Dan Maya? Maya menjadi penulis novel yang tulisannya selalu laris, meski tidak ada yang tahu identitas aslinya. Dia menulis di bawah nama pena, dan hanya beberapa orang dekat yang tahu rahasianya.
"Saya akan berhati-hati, Pak," jawab Maya akhirnya.
"Bagus. Karena menurutku, Rizky masih menyimpan perasaan untukmu."
Maya mengerjapkan mata. "Bagaimana Bapak bisa tahu?"
Pak Surya tertawa kecil. "Aku ini mantan guru BK, ingat? Lagipula, Rizky selalu bertanya tentangmu setiap kali kami bertemu di kajian."
Maya merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. "Apa yang dia tanyakan?"
"Oh, hal-hal biasa. Bagaimana kabarmu, apa kau sudah menikah, di mana kau tinggal sekarang."
Maya menggigit bibir. Rizky menanyakan itu semua pada Pak Surya, tapi tidak pernah menghubunginya langsung? Dasar pengecut.
"Sudahlah, Maya. Fokus dulu pada misi utama kita. Alya dan Faris."
Maya mengambil napas dalam-dalam, mengembalikan fokusnya. "Tentu, Pak. Besok saya akan mulai menggerakkan pion-pion lainnya."
"Jangan lupa libatkan Bu Ratna juga. Dia sudah tidak sabar ingin membantu."
Maya tersenyum. Bu Ratna, mantan wali kelas mereka, kini menjadi kepala sekolah. Wanita itu punya radar khusus untuk mendeteksi pasangan yang cocok.
"Saya sudah menyiapkan peran untuk Bu Ratna. Fase tiga."
"Bagus. Ah, sudah malam. Istri saya pasti sudah menunggu. Sampai jumpa besok, Maya."
"Sampai jumpa besok, Pak."
Maya menutup telepon dan kembali fokus ke laptopnya. Dia membuka dokumen baru dan mulai mengetik judul:
"7 HARI SEBELUM REUNI: MISI MANTAN TERINDAH"
Mungkin ini akan menjadi novelnya yang paling personal. Novel yang ditulis berdasarkan kisah nyata yang akan terjadi dalam tujuh hari ke depan.
Maya menutup laptopnya dan memasukkannya ke dalam tas. Sudah hampir tengah malam, dan besok akan menjadi hari yang panjang. Dia harus berada di posisinya sebelum pion-pion lain mulai bergerak.
"Mbak Maya mau pulang?" tanya Pak Jamal yang sedang mengunci pintu depan.
"Iya, Pak. Terima kasih sudah membiarkan saya duduk sampai larut begini."
"Sama-sama, Mbak. Mbak Maya kan pelanggan spesial." Pak Jamal tersenyum. "Itu novel baru ya yang Mbak tulis?"
Maya mengangguk. "Yang paling spesial."
"Wah, jangan lupa kasih tanda tangan kalau sudah terbit ya."
Maya tertawa kecil. "Pasti, Pak."
Saat melangkah keluar dari kedai kopi, Maya merasakan ponselnya bergetar lagi. Pesan dari Luna.
"Maya! Kamu harus lihat ini! Komentar Alya di foto Faris jadi viral!"
Luna melampirkan tangkapan layar dari T*****r. Maya tersenyum puas. Dia bahkan tidak perlu mengatur bagian ini. Semuanya mengalir secara alami, seperti yang sudah dia prediksi.
"Mereka membuatnya terlalu mudah," gumamnya sambil memasukkan ponsel ke saku jaket.
Maya berjalan menuju apartemennya yang hanya berjarak dua blok dari kedai kopi. Malam ini dingin, tapi Maya tidak merasa kedinginan. Ada kehangatan aneh yang menjalar di dadanya. Perasaan saat rencana yang sudah lama disusun akhirnya mulai berjalan.
Saat sampai di apartemen, Maya langsung menuju meja kerjanya. Di sana, terbentang sebuah papan besar dengan foto-foto teman-teman SMA-nya. Benang merah, biru, dan hijau menghubungkan foto-foto itu, menciptakan jaringan kompleks yang hanya dia yang memahami sepenuhnya.
Maya mengambil foto Alya dan Faris, lalu menempelkannya di tengah papan. Kemudian, dia mengambil paku payung berwarna merah dan menancapkannya, menandai awal dari operasinya.
"Saatnya mereka semua tahu kebenarannya," gumamnya.
Maya membuka laci meja dan mengeluarkan amplop coklat tebal. Di dalamnya berisi undangan reuni yang akan disebarkan besok pagi. Undangan biasa bagi kebanyakan orang, tapi bagi Maya, itu adalah alat untuk mengumpulkan semua pion dalam permainannya.
Dia membuka buku catatannya lagi dan mulai menulis rencana detail untuk besok. Siapa yang harus ditemui, apa yang harus dikatakan, dan bagaimana mengatur agar semuanya terlihat alami.
Maya selalu percaya bahwa cinta sejati butuh sedikit dorongan. Dan kadang-kadang, dorongan itu perlu datang dalam bentuk konspirasi kecil yang rumit.
Ponselnya bergetar lagi. Pesan dari nomor yang tidak terdaftar.
"Aku tahu apa yang kau rencanakan."
Maya mengernyitkan dahi. Dia mengamati nomor itu lebih teliti. Kode area Jakarta. Siapa?
"Siapa ini?" balasnya.
"Seseorang yang tahu kau sedang mengatur pertemuan antara Alya dan Faris."
Jantung Maya berdetak lebih cepat. Apakah ada yang mengetahui rencananya?
"Aku tidak mengerti maksudmu," Maya mencoba mengelak.
"Jangan khawatir. Aku di pihakmu. Aku juga ingin mereka bersatu kembali."
Maya ragu sejenak sebelum membalas. "Kau siapa?"
"Panggil saja aku sekutu. Aku punya informasi yang kau butuhkan tentang Faris. Temui aku besok di Kafe Kala jam 3 sore. Datang sendiri."
Maya menatap pesan itu dengan campuran curiga dan penasaran. Siapa yang tahu tentang rencananya? Dan informasi apa yang dimiliki orang ini tentang Faris?
Setelah beberapa saat berpikir, Maya memutuskan untuk membalas.
"Baiklah. Tapi aku perlu tahu siapa kau sebenarnya sebelum bertemu."
Balasan datang cepat. "Seseorang dari masa lalu Faris. Aku akan memakai kemeja biru. Kau akan mengenaliku saat melihatku."
Maya menggigit bibir, berpikir keras. Ini bisa jadi jebakan, tapi juga bisa jadi kesempatan untuk mendapatkan informasi berharga. Setelah menimbang risikonya, Maya memutuskan untuk mengambil kesempatan itu.
"Baik. Sampai bertemu besok."
Maya meletakkan ponselnya dan kembali menatap papan rencananya. Mungkin dia perlu menyesuaikan beberapa hal. Rencana yang baik selalu fleksibel, mampu beradaptasi dengan faktor-faktor tak terduga.
"Ini akan menarik," gumamnya.
Maya mengambil foto Rizky dan menempelkannya di sebelah fotonya sendiri. Untuk sesaat, dia menatap foto itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Campuran rindu, sayang, dan mungkin... penyesalan.
Delapan tahun adalah waktu yang lama. Orang bisa berubah banyak. Rizky yang dulu playboy kini menjadi ustadz. Dan Maya yang dulu pemalu kini memanipulasi kehidupan teman-temannya demi bahan novel.
Apa yang akan dikatakan Rizky jika tahu apa yang dilakukannya sekarang?
Maya menggelengkan kepala, mengusir pikiran itu. Ini bukan saatnya untuk ragu. Dia sudah merencanakan ini selama berbulan-bulan. Tujuh hari menuju reuni, tujuh hari untuk menyatukan kembali pasangan-pasangan yang "salah jalan".
Dimulai dengan Alya dan Faris.
Maya menutup buku catatannya dan mematikan lampu meja. Besok akan menjadi hari yang sibuk. Dia perlu istirahat.
Tapi sebelum beranjak tidur, Maya membuka ponselnya sekali lagi dan mengirim pesan pada Luna.
"Besok, mulai sebarkan undangan reuni. Pastikan Alya dan Faris menerima undangan versi khusus."
Luna membalas hampir seketika. "Siap, Kapten! Operasi Cupid dimulai!"
Maya tersenyum. Luna memang tidak tahu rencana lengkapnya, tapi dia adalah sekutu yang berharga. Sebagai mantan admin akun gosip sekolah, Luna punya jaringan informasi yang luas dan kemampuan untuk menyebarkan informasi dengan cepat.
"Jangan lupa juga undangan untuk Rizky," tambah Maya.
"Tentu! Mau versi khusus juga?"
Maya terdiam sejenak. "Tidak perlu. Versi biasa saja."
"Hmm, mencurigakan. Ada apa dengan Ustadz Rizky?" goda Luna.
"Tidak ada apa-apa. Tidurlah, Luna. Besok kita mulai pagi-pagi."
"Baiklah, Nyonya Dalang. Selamat malam!"
Maya tersenyum kecil dan meletakkan ponselnya. Luna dan julukan-julukannya.
Saat berbaring di tempat tidur, Maya tidak bisa menahan diri untuk memikirkan Rizky. Besok dia akan melihatnya lagi setelah sekian lama. Ustadz Rizky yang dulunya playboy sekolah. Bagaimana reaksinya nanti saat melihat Maya?
Maya memejamkan mata, membayangkan pertemuan mereka besok. Dia sudah mengatur semuanya, dari tempat hingga waktu. Sebuah "kebetulan" yang sempurna.
Tapi sebelum tertidur, Maya teringat pesan misterius tadi. Siapa "sekutu" ini? Dan informasi apa yang dimilikinya tentang Faris?
"Tujuh hari," bisik Maya pada dirinya sendiri. "Tujuh hari untuk mengubah segalanya."
Dengan pikiran itu, Maya akhirnya tertidur, bermimpi tentang benang-benang takdir yang dia pintai menjadi sebuah kisah. Kisah yang akan dimulai besok pagi.
"Ini terlalu mencolok," Alya menggelengkan kepalanya, menatap bayangan di cermin dengan horor. Di atas kepalanya yang berambut pendek, terpasang sebuah wig pirang panjang bergelombang yang membuatnya terlihat seperti penyanyi dangdut."Justru itu tujuannya!" Nadia bersikeras, berdiri di belakang Alya dengan tangan di pinggang. "Untuk membuat Faris tidak bisa mengalihkan pandangan darimu.""Dia tidak akan bisa mengalihkan pandangan karena aku akan terlihat seperti badut, Nad," Alya memutar matanya.Mereka berada di toko wig terbesar di Jakarta, memilih rambut palsu untuk Alya sebagai antisipasi jika dia tiba-tiba kehilangan kepercayaan diri dengan potongan pixie cut barunya menjelang reuni. Toko ini, yang dengan kreatif dinamai "Rambut Impian", memiliki berbagai macam wig dengan berbagai warna, panjang, dan gaya."Bagaimana dengan yang ini?" Luna menawarkan, mengangkat wig hitam lurus sepunggung. "Lebih natural, mirip rambutmu yang dulu."
Rizky tidak sengaja. Sungguh, dia tidak merencanakan untuk bertemu Maya di toko buku ini. Setelah pertemuan singkat mereka di pesantren kemarin, dia pikir dia punya waktu beberapa hari untuk mempersiapkan diri sebelum reuni. Tapi takdir, atau mungkin Allah, punya rencana lain.Dia sedang mencari buku referensi untuk ceramah mingguan di bagian keagamaan ketika melihatnya Maya, berdiri di bagian fiksi, jemarinya yang lentik menelusuri punggung-punggung buku dengan gerakan yang familier. Dia mengenakan jilbab lavender sederhana, berbeda dengan jilbab yang dia kenakan kemarin, tapi tetap elegan.Rizky membeku di tempatnya berdiri. Haruskah dia menyapa? Berpura-pura tidak melihat? Berbalik dan pergi? Sebelum dia bisa memutuskan, Maya menoleh, seolah merasakan kehadirannya, dan mata mereka bertemu.Sejenak, waktu seolah berhenti. Rizky bisa melihat keterkejutan di mata Maya, diikuti dengan... apa itu? Kegembiraan? Kecemasan? Sesuatu yang tidak bisa dia b
Nadia merapikan jilbab lavendernya di depan cermin besar yang menempati hampir seluruh dinding kamarnya. Cermin itu dikelilingi lampu-lampu kecil yang biasa dia gunakan untuk merekam tutorial kecantikan untuk kanal vlognya. Dengan teliti, dia memeriksa riasan wajahnya, memastikan semuanya sempurna, bahkan untuk sekedar pertemuan santai dengan teman-teman."Sempurna," gumamnya pada bayangan di cermin, menyapukan lipstik sekali lagi. "Siapa sangka dulu kamu gadis culun berkacamata tebal yang selalu diejek Bimo, dan sekarang..."Nadia tersenyum puas. Lima juta pengikut di media sosial tidak berbohong. Dia, yang dulu selalu menjadi bahan ejekan karena penampilan kutu bukunya, kini menjadi panutan gaya untuk ribuan perempuan Indonesia. Salah satu keberhasilan terbesar dalam hidupnya adalah mendirikan "Nadia Beauty House", salon kecantikan yang kini memiliki cabang di tiga kota besar.Ponselnya berdering, menampilkan nama Luna di layar."Halo, Lun
Faris menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan. Entah sudah berapa kali dia melakukan itu dalam satu jam terakhir. Ruang tamu apartemennya yang biasanya nyaman kini terasa seperti sauna. Padahal pendingin ruangan berfungsi normal, hanya saja rasa gugupnya membuat suhu tubuhnya meningkat."Rileks sedikit, Faris," Andi, sahabatnya sekaligus perencana pernikahan profesional, mengomel sambil mengatur pencahayaan untuk sesi foto. "Kamu terlihat seperti akan menghadapi eksekusi, bukan pemotretan pasangan.""Maaf," gumam Faris, berusaha melemaskan bahunya yang kaku. "Aku tidak terbiasa dengan... semua ini.""Jelas sekali," Andi memutar mata dramatis. "Tapi inilah gunanya kita latihan. Kamu harus terlihat nyaman bersama 'suami'mu di reuni nanti."Faris mengangguk kaku, melirik ke arah kamar mandi tempat Dika sedang bersiap-siap. Setelah pertemuan singkat dengan Alya dan teman-temannya di Kafe Semanggi tadi siang, Faris merasa semakin terte
Alya tidak bisa berhenti menatap bayangannya di kaca spion mobil Wulan. Rambutnya yang dulu panjang sepunggung kini begitu pendek, hanya menyisakan beberapa senti di atas kepalanya. Potongan pixie cut yang beberapa jam lalu masih terasa asing kini mulai terasa... tidak terlalu buruk?"Berhenti menatap dirimu sendiri," Wulan menegur dari kursi pengemudi. "Aku tahu kamu cantik, tapi jangan jadi narsis begitu.""Aku masih tidak percaya melakukan ini," Alya menyentuh rambutnya untuk kesekian kali. "Tiga tahun aku memanjangkan rambutku, dan dalam lima menit semuanya hilang.""Dan kamu terlihat sepuluh kali lebih cantik," Nadia meyakinkan dari kursi belakang. "Serius, Al, potongan itu membuatmu terlihat lebih dewasa dan sophisticated.""Secara psikologis," Indah menambahkan, seperti biasa, "perubahan drastis pada penampilan sering menjadi katalis untuk perubahan internal juga. Ini fase metamorfosismu.""Metamorfosis dari ulat menjadi kupu-kupu maksudmu?"
Maya menutup pintu mobilnya perlahan, tatapannya masih tertuju pada bangunan pesantren yang baru saja ditinggalkannya. Pesantren Hidayatullah, tempat Rizky mengajar dan membimbing para santri muda. Siapa sangka playboy sekolah dulu kini menjadi seorang ustadz? Hidup memang penuh kejutan."Bagaimana?" Sebuah suara mengejutkannya dari kursi penumpang.Maya menoleh, mendapati Pak Surya, mantan guru Bimbingan Konseling mereka, duduk dengan tenang sambil memegang sebuah buku catatan."Sesuai rencana," jawab Maya singkat, menyalakan mesin mobil. "Dia akan datang ke reuni.""Tentu saja dia akan datang," Pak Surya tersenyum penuh arti. "Tidak ada yang bisa menolak undangan dari cinta pertama, bukan?"Maya tersenyum tipis, tidak menjawab. Dia melajukan mobilnya keluar dari area parkir pesantren, pikirannya masih tertuju pada pertemuan singkat dengan Rizky barusan. Ustadz Rizky. Nama yang masih terasa aneh di lidahnya."Jadi, semua berjalan sesuai ren