Bab 2

Di tengah suara ledakan kembang api, Yuli membuang kupon maaf di tangannya dan membuang dua kupon terakhir ke dalam tempat sampah.

“Aku tidak akan memaafkan Paman lagi,” katanya sambil berlari ke kamarnya.

Ketika aku pergi ke kamarnya, dia sudah meringkuk dan tertidur di tempat tidurnya yang kecil.

Air mata mengalir di pipinya, dia memeluk erat foto kami sekeluarga saat pergi bermain ke taman hiburan.

Putriku sangat menyayangi foto ini, sesekali dia akan mengeluarkan dan memandanginya.

Ini satu-satunya foto kami bertiga yang diambil saat kami pergi taman hiburan.

Setelah Johan membeli taman hiburan sebagai hadiah ulang tahun untuk Evelyn karena dia mengatakan menyukainya, Yuli tidak pernah lagi membahas untuk pergi bermain ke taman hiburan.

Aku menyimpan foto itu untuknya, menghapus air mata di wajahnya dan membiarkannya beristirahat.

...

Keesokan paginya, aku menghubungi pengacara perceraian, memintanya membuat surat perjanjian cerai.

Setelah aku selesai menelepon, putriku mengintip dari balik pintu.

Aku melambaikan tangan padanya, dia langsung masuk dan memeluk kedua kakiku.

Aku menahan rasa sakit di hatiku dan bertanya padanya, “Sayang, kalau Ibu bercerai dengan Paman, kamu bersedia ikut Paman atau Ibu?”

Kedua tangan putriku yang memelukku membeku, dia menundukkan kepala, suaranya terdengar akan menangis dan tidak rela. “Apa benar-benar harus pergi? Ibu, Paman pernah berjanji padaku, setelah aku berumur tujuh tahun dia akan mengizinkanku memanggilnya ayah. Kita tunggu sebentar lagi, beri dia satu kesempatan lagi, ya?”

Kata-kata putriku mencekat hatiku, aku hampir menangis.

Setelah menikah dengan Johan selama bertahun-tahun, dia malah demi kekasih idamannya tidak salah paham, tidak mempublikasi pernikahan kami, bahkan putri kami pun tidak diizinkan memanggilnya ayah sejak lahir.

Aku ingat pernah satu kali, putri kami mengumpulkan keberanian dan memanggilnya ayah. Dia langsung mengamuk dan menyuruh putri kami berlutut di depan pintu dan memanggilnya paman tiga ribu kali, sampai suara putri kami hampir habis.

Sejak saat itu putri kami baik di rumah maupun di tempat umum, tidak berani lagi memanggilnya ayah dan hanya memanggilnya paman.

Setelah mengatakan itu, dia memungut kupon maaf yang dibuang ke tempat sampah kemarin dan berkata, “Ibu lihatlah, masih ada satu lembar kupon maaf, ayo kita beri dia satu kesempatan lagi.”

Mata putriku yang merah dan bengkak karena menangis tampak bertekad, aku mengelus rambutnya, mendesah dan menyetujuinya.

Johan tidak pulang sejak dia pergi hari itu.

Yuli memberikan sebuah undangan padaku, matanya tampak berharap. “Ibu, kata guru, di acara pertemuan orang tua di sekolah, Ayah dan Ibu harus hadir bersama. Apa Ibu dan Paman bisa datang bersama? Aku berjanji pada teman-teman sekelasku untuk biarkan mereka bertemu Ayahku.”

Aku memegang undangan itu dan agak ragu, melihat mata putriku yang sangat berharap, aku tidak tega membuatnya kecewa.

Tapi aku benar-benar tidak yakin Johan bisa hadir atau tidak.

Bagaimanapun selama lima tahun pernikahan, dia tidak pernah sekali pun menghadiri acara pertemuan orang tua Yuli.

Sebelum menyetujui permintaan Yuli, aku menelepon Johan untuk memastikan.

Namun yang mengangkat telepon malah suara seorang gadis muda. “Halo, apa kamu cari Ayah Johan? Dia sedang mandi dan segera keluar.”

Kukuku menancap di telapak tangan, menahanku bersuara dan bertanya.

Aku hanya menutup telepon dengan dingin.

Tepat ketika aku hendak memberi tahu putriku Johan tidak bisa datang...

Johan menelepon kembali. “Sonia, Evelyn masih sangat kecil, tidak bisa bedakan antara paman dan ayah, jadi salah sebut, kamu dan Yuli jangan salah paham, aku hanya punya satu putri kesayangan, Yuli.”

Penjelasannya yang gugup tampak agak menyedihkan, namun sejak awal aku sudah tidak ingin mempermasalahkan ini lagi.