Share

Bab 2

Friska sama sekali tidak pernah mengira Franz akan datang dengan membawa kabar menyakitkan ini. Pikirannya hanya menebak hal-hal menyenangkan yang akan mereka lalui setelah berbaikan, seperti biasanya.

Namun, dengan hadirnya Franz bersama perempuan lain. Friska sadar, sore ini hanyalah awal bagi kepahitan yang akan melandanya. Sambil berusaha menahan emosi, ia berbicara pada Franz senormal mungkin.

“Dan kamu kayak enggak peduli sama apa yang terjadi sama kita saat terakhir bertemu. Malah dengan entengnya datang bawa kabar ini.”

“Aku benar-benar minta maaf.” Terlihat keseriusan terpancar dari mata Franz.

Friska benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Ia marah, kesal, dan emosi melihat Franz datang membawa kabar bahwa dirinya telah bertunangan.

“Kamu udah lama kenal sama dia?” tanya Friska lagi.

“Sebulan yang lalu, saat aku ada tugas kantor ke Bandung,” balas Franz.

Sebulan yang lalu? Mulut Friska menganga lebar, itu berarti Franz masih berpacaran dengannya. Saat hubungan mereka baik-baik saja tanpa ada masalah apa pun dan Franz bermain-main di belakangnya? Mata Friska semakin memerah menandakan kekesalan yang menumpuk di dalam hati.

“Terus kenapa kamu lakuin ini ke aku, Franz? Kenapa kamu tega ngelakuin hal seperti ini?”

“Franz udah cerita tentang kamu ke aku, Fris.” Setelah dari tadi hanya diam mendengar percakapan Franz dan Friska, Jessi akhirnya ikut bersuara. “Aku tahu kamu pasti terkejut dengan kabar ini. Tapi kamu juga harus paham. Setelah dengar cerita Franz, aku ngerti kenapa Franz—“

Belum selesai Jessi bicara, Friska langsung memotong, “Apa yang lo ngerti!” sergahnya sampai membuat pengunjung kafe yang lain serempak menoleh padanya. “Lo enggak ngerti apa-apa!”

Wajah Jessi tampak kaget begitu mendengar Friska berkata demikian. Ia kembali diam, tidak berniat melanjutkan perkataannya karena menyadari tatapan Friska yang menatapnya tak suka.

“Aku pengen kasih tahu hal ini ke kamu secara langsung. Enggak lewat pesan, enggak lewat telepon. Supaya kamu bisa ngerti.” Franz memejamkan mata, berusaha berekspresi seserius mungkin demi meyakinkan Friska.

“Ngerti apa, Franz?” Friska mengentakkan tangan ke meja sedikit keras.

Tangan Franz bergerak, merangkul Jessi di sebelahnya. “Supaya kamu ngerti kalau aku benar-benar serius sama Jessi.”

Perkataan Franz menancap tepat di hati Friska. Perempuan itu merasa seperti tertusuk tombak yang sangat tajam. Perih. Namun, ia hanya bisa menampilkan raut wajah nelangsa.

“Aku capek, Fris. Capek.” Franz kembali berbicara. “Aku sudah muak dengan tingkah kamu yang sedikit-sedikit ngambek, sedikit-sediki ingin ini, ingin itu. Cemburuan. Aku gak boleh gini, aku gak boleh gitu. Kamu sadar? Dari dulu aku selalu berusaha sabar sama sikap kamu. Karena aku percaya seiring berjalannya waktu kamu bisa mulai berubah. Tapi rupanya aku salah.”

Akhirnya pertahanan Friska untuk menahan tangis tidak terbendung saat Franz berkata demikian. Air matanya mulai mengalir deras membasahi pipi. Ia terisak, tangannya kembali mengusap-usap matanya mengharap berhenti menangis.

“Sampai akhirnya aku bertemu Jessi, aku melihat sosok wanita yang aku inginkan pada diri Jessi. Bukan kamu, Fris.”

Friska tersenyum masygul, hatinya terasa tercabik-cabik melihat kenyataan yang sedang dihadapinya. Ia tidak habis pikir dengan Franz yang memiliki pemikiran seperti itu. Ia pikir selama ini hubungannya baik-baik saja. Memang sering ada pertengkaran yang hadir di antara mereka. Namun, bukankah masalah seperti itu memang selayaknya akan ada dalam sebuah hubungan?

Lalu, apa Franz semudah itu berkata demikian kepada Friska yang sudah menemaninya selama tujuh tahun? Hanya untuk perempuan yang baru dikenalnya tidak lebih dari sebulan.

“Terus, kamu dengan entengnya ajak aku ke sini dan berharap aku bilang, ‘Oh gitu. Selamat, ya, atas tunangan kalian. Semoga lancar sampai menikah nanti.’ Begitu?” Friska menatap Franz tajam. “Baik, Franz, baik.”

Friska menghela napas sejenak, lalu mengembuskannya secara perlahan. Detik selanjutnya, ia bangkit dari duduknya, mengambil gelas minuman yang sama sekali belum ia minum. Tanpa basa-basi ia menyiramkan air minuman itu tepat mengenai wajah Franz, lalu mengentakkan gelas ke meja dengan keras.

“Keterlaluan! Kamu benar-benar keterlaluan! Aku harap kamu mati saja, dasar cowok berengsek!” teriak Friska lantang.

Semua pengunjung yang ada di kafe menoleh ke meja paling sudut, karena sedari tadi memang tempat itu terdengar berisik. Sampai akhirnya mereka kembali terpancing oleh suara Friska. Mereka terheran-heran saat melihat Friska menyiramkan air minumannya ke wajah Franz. Salah seorang pelayan yang berdiri tidak jauh dari meja mereka sampai terdiam, berdiri di tempat tanpa melakukan apa pun.

Friska mengambil tas kecilnya, lalu pergi meninggalkan Franz yang terdiam seribu bahasa dengan air mengalir di wajah. Jessi menyimpan kedua tangan di mulut, tak menyangka Friska akan bereaksi seperti itu.

Tanpa memedulikan banyak pasang mata yang mengarah padanya, Friska berjalan cepat keluar kafe dengan perasaan hancur berkeping-keping. Ia sangat sakit hati dengan Franz. Ia benar-benar tidak menyangka lelaki yang sudah menjadi kekasihnya selama hampir tujuh tahun itu tega melakukan hal menjijikan seperti ini padanya.

Memang benar selama ini Friska akui sering bersikap terlalu manja dan memaksakan egonya terhadap Franz. Namun, bukankah Franz juga sama saja sepertinya? Mereka bisa saling menerima satu sama lain tanpa ada rasa terpaksa, meski sempat putus beberapa kali, tetapi akhirnya bisa kembali bersama.

Lalu sekarang, Franz secara tiba-tiba berkata muak terhadapnya? Friska benar-benar tidak habis pikir. Terlebih, ketika lelaki itu memutuskan semuanya secara sepihak tanpa bilang apa-apa terlebih dulu padanya. Friska merasa Franz sudah memperlakukan ia seenaknya.

Belum jauh Friska melangkah meninggalkan kafe, ia tiba-tiba berhenti, menepuk jidat sambil meracau tak karuan. Detik selanjutnya ia memutar badan, kembali masuk ke kafe dan berjalan menuju kasir. Orang-orang yang ada di sana jelas heran melihat Friska.

Perempuan itu membuka tas, mengambil dompet, mengeluarkan uang selembar seratus ribu dan menyerahkannya pada petugas kasir.

“Maaf, tadi saya lupa belum bayar. Enggak usah kasih kembalian,” tutur Friska hendak pergi lagi.

Ia sempat melirik Franz yang sedang duduk berdua dengan Jessi. Franz juga menatap Friska. Mereka saling bertatapan untuk beberapa saat.

Wajah Friska semakin memerah menggambarkan perasaan marah dan malu yang bercampur. Jika saja ia tidak ingin punya utang apa pun, ia tidak akan kembali membayar pesanannya, biar Franz yang mengurus. Namun, karena harga diri, ia tidak ingin berutang apa pun padanya. Bahkan, ia berpikir akan mengembalikan semua barang pemberian Franz.

Friska melangkah cepat meninggalkan kafe, hingga akhirnya sampai di halte bus. Ia berdiri di pinggir jalan, mengeluarkan ponsel hendak memesan ojek online. Ia ingin cepat-cepat sampai ke rumah dan menangis sepuasnya di kamar.

Langit sore itu cukup cerah, matahari tidak terlalu menyengat. Angin bertiup sejuk. Friska mendongak, menatap angkasa biru berbalut awan putih. Meski sebisa mungkin ia menahan air matanya untuk tidak menetes, tetapi rasa sakit dalam dadanya bukan main-main.

Seharusnya ini menjadi sore yang indah. Saat ia berbaikan dengan Franz. Saat ia bisa bercengkerama kembali dengan kekasihnya itu. Jalan-jalan keliling kota, atau menghabiskan waktu dengan menonton film. Namun, semua itu hanya ada dalam angannya.

“Mbak Angeline Friska?”

Friska menoleh ke samping kiri, dilihatnya ojek online yang dipesannya sudah sampai. Ia mengangguk pelan.

“Kenapa, Mbak? Kok nangis?” tanya tukang ojek itu heran, tangannya mengulurkan helm.

Friska mengambil helm itu tanpa menjawab pertanyaan, lalu memakainya. Ia segera naik ke motor sembari bertitah, “Yang ngebut, ya, Mas.”

Tukang ojek itu hanya mengangguk, mulai melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang.

Sepanjang perjalanan, pikiran Friska tidak karuan. Bayangan tentang Franz bergelayut dalam kepalanya. Ia benar-benar tidak paham kenapa Franz tega melakukan itu terhadapnya. Sungguh, ia sangat tidak terima seolah-olah hubungan mereka selama ini tidak berarti apa-apa.

Tak sadar air mata Friska semakin mengalir deras. Ia sesenggukan. Perasaannya terasa amat perih hingga membuatnya tak mampu lagi menahan diri. Ia meraih bagian sisi jaket tukang ojek itu dan meremasnya kuat-kuat.

“Aduh sakit, Mbak.” Tukang ojek itu meringis, rupanya remasan Friska sampai mengenai kulit.

Beberapa saat kemudian akhirnya sampai di tujuan. Driver itu menghentikan kendaraan di depan rumah berwarna biru. Friska turun dari motor, melepas helm dan memberikannya lagi, lalu membayar ongkos. Setelahnya, ia buru-buru berjalan memasuki rumah dengan kepala yang mulai terasa pusing.

Ia sampai tidak menyadari kehadiran Dito, teman baiknya yang sedang duduk di teras rumah.

Melihat kedatangan Friska, Dito gegas berdiri menyambut teman masa kecilnya itu dengan senyuman. Namun, senyumnya seketika memudar ketika dilihatnya Friska menangis. Ia segera menghampiri Friska dengan wajah heran.

“Kamu kenapa, Fris?”

Suara Dito tidak terdengar di telinga Friska. Ia tetap berjalan cepat sampai melewati Dito, seolah-olah ia tidak merasakan kehadiran cowok itu.

“Fris!” Dito meraih tangan mungil Friska, menggenggamnya erat. “Ada sesuatu yang nyakitin kamu?”

Friska menyibakkan tangan Dito kasar, sampai tidak menyadari buku diary miliknya terjatuh dari tas yang tidak tertutup rapat. Setelah itu, Friska langsung memasuki rumah dan menutup pintu cukup keras sampai membuat Dito kaget.

Dito mengembuskan napas pelan, menatap nanar pintu rumah yang kini tertutup. Pandangannya lalu tertuju pada buku yang tergeletak di tanah. Ia mengambil buku bersampul merah muda itu dan membukanya, melihat-lihat apa isinya.

Senyumnya mengembang begitu menyadari itu buku diary milik Friska.

Sementara itu Friska yang sudah berada di kamar langsung menjatuhkan tubuh ke ranjang. Ia membenamkan wajah ke bantal, kedua tangannya memukul-mukul tidak tertahan. Sambil menangis, ia terus meracau tentang Franz.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status